Malam ini,
adalah malam Minggu. Malam dimana semua pemuda dan pemudi bertumpah
ruah memenuhi jalanan kota Malang. Tujuannya pun beragam. Mulai dari
yang ingin pergi ke tempat-tempat romantis, hingga yang cuma jalan-jalan
ke mall
dengan kekasihnya pun ada. Sementara aku, Muhammad Awan Bimantara.
Orang yang biasa-biasa saja, hanya bisa berdiam diri sambil terus
menulis cerita pendek ini. Dan berharap, di esok hari ada bidadari yang
menemaniku di malam-malam Minggu berikutnya.
“Ya Tuhan, malang nian nasibku” gumamku menyesali nasib.
Jarum jam telah membentuk sudut
90 derajat, artinya waktu menunjukkan pukul 9 malam. Belum terlalu larut
malam bagiku, namun kali ini kuputuskan untuk berangkat ke alam mimpi
lebih awal dari biasanya. Sebenarnya masih ada tanggungan cerpen yang
harusnya kuselesaikan, namun sepertinya jiwa ini sudah terlalu lama
menulis. Jemari ini sudah tak mau lagi menggenggam pensil. Ingin sekali
rasanya, sesekali tangan ini menggenggam erat lembutnya tangan
perempuan. Ingin rasanya, jemari ini berpautan dengan jari-jari mungil
milik kekasihku nanti. Entah kapankah itu, aku yakin bahwa saat itu
pasti datang. Hingga akhirnya kuterpejam.
“Tok… tok.. tok” suara pintu kamarku diketuk oleh seseorang dari luar.
“Kakak? Cepat bangun! Ayo shalat subuh, sudah ditunggu mama tuh!” suara adikku yang lantang terdengar dari luar kamar.
“Loh, sudah pagi toh?” kataku tak percaya.
Rasanya, baru sekejap aku tertidur. Sambil mengusap-usap mata, kuseret tubuh ini menuju kamar mandi. Segarnya air
wudzhu yang mengalir membasahi muka, telah mengembalikan jiwa ini. Di
ruang ibadah, rupanya anggota keluarga yang lain telah menungguku. Di
rumah mungil ini, aku tinggal bersama anggota keluarga yang lain. Yaitu
Tanti, adikku yang tahun ini menginjak kelas 6 sekolah dasar. Ibuku,
yang telah membesarkan aku dan adikku. Juga ada Ayahku yang bekerja
sebagai pengusaha ternak ayam potong. 17 tahun sudah aku dibesarkan dari
keluarga yang kecil nan sederhana ini. Namun meski begitu,
kesederhanaan ini tak pernah sedikitpun mengurangi kebahagiaan kami.
Ketika sholat subuh telah usai,
semua kembali pada rutinitas serta kesibukannya masing-masing. Adikku
sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya, Ibu sibuk memilih belanjaan di
warung sebelah, serta Ayah yang telah direpotkan dengan mencuci
motornya. Sementara aku, masih terduduk merenung di depan meja belajar.
Tempat dimana karya-karyaku selama ini dilahirkan. Namun sepertinya,
karyaku yang satu ini masih menolak untuk dilahirkan. Entah kenapa,
terasa sangat sulit bagiku menemukan cerita penutup yang tepat. Otakku
senantiasa berputar, namun tetap saja belum menemukan jawaban. Bagaikan
jalan yang tertimbun oleh reruntuhan batu, berulang kali kucoba
menggalinya namun tetap saja otak ini masih buntu.
“lari-lari pagi ah…” seketika fikiranku berubah, ketika melihat tetanggaku Mbak Lila sedang berlari menghirup udara pagi.
“iya, benar juga. Sesekali lari pagi kan tidak ada salahnya. Siapa tahu udara pagi dapat menyegarkan otakku.” Fikirku lagi.
Akhirnya, lari pagi menjadi
pilihanku untuk mengisi minggu pagi yang luang ini. Celana olahraga
panjang serta kaos bola lengkap dengan sepatu jogging warna putih telah siap sedia untuk menemaniku menembus dinginnya kabut pagi.
“Aku berangkat dulu, Assalamualaikum!” ucapku setengah berteriak.
Ditemani suara sepatu yang bergerak lincah membalut telapak kaki,
kumulai dengan langkah kaki kecil dan santai. Lalu sedikit demi
sedikit, bertahap ke lari yang lebih kencang dan langkah kaki yang lebih
lebar.
Tujuanku hari ini tidak lain adalah CFD alias Car Free
Day. Hari bebas kendaraan ini dilaksanakan oleh warga Malang setiap
minggu pagi, dan terletak di kawasan Ijen yang berjarak kurang lebih 5
km dari rumah. Untuk menuju kekawasan Ijen, kali ini aku memilih untuk
berjalan kaki. Kusengaja untuk tidak membawa kendaraan, karena ingin
mengukur kekuatan tubuh ini. Masih layakkah tubuh ini berlari, setelah
sekian lama hanya terduduk di depan meja belajar.
“Huuhhh, huuhhh, huuuhhh…” deru nafasku semakin kencang, keringat sudah tak malu lagi untuk menampakkan wujudnya.
15 menit kemudian, nampaklah
kawasan Ijen yang besar dan lengang. Terlihat beberapa orang berlari,
bersepeda, ataupun berjalan santai. Sungguh pemandangan yang menyejukkan
mata. Jauh dari kesan polusi dan udara kotor.
“Fiuuhhh…” sedikit suara muncul dari mulut ketika kuusap keringat di
wajah. Rasa capek dan malas rupanya telah bersekutu, membuat kaki ini
serasa berat untuk melangkah. Namun tekadku sudah terlanjur bulat. Aku
ingin tahu seberapa jauhkah kekuatan tubuh ini, meskipun separuh tenaga
telah tersedot dalam perjalanan.
Kira-kira baru 5 menit tubuh ini
melonjak-lonjak, kebosanan sudah mulai muncul. Dan sifat iseng-isengku
pun mulai muncul untuk menghibur diri.
“Wah, ada olahragawati tuh. Kutantang balap lari ah…” keisenganku muncul
ketika melihat cewek berbadan ramping sedang berlari-lari kecil di
dalam kerumunan.
Secara diam-diam,
aku terus mengikuti langkah kaki perempuan tersebut. Rambutnya yang
panjang terikat, mengayun pelan bagaikan melambai padaku untuk terus
mengikutinya.
“Ah, perempuan cantik seperti ini biasanya kan jarang olah raga. Palingan nanti juga gak bakal kuat 2 putaran” kataku sombong.
Lomba lari iseng-isengan ini pun
dimulai. Pesertanya hanyalah kami berdua. Dan sepertinya hanya aku yang
mengetahui peraturannya. Bisa dibilang aku cukup curang. Hehehe, curang
sedikit kan tidak apa-apa. Hanya ada satu peraturan di dalam lomba lari
ini. Yaitu, kecepatan berlari tidak terlalu diperhitungkan. Yang menjadi
nilai hitung adalah jarak lari yang ditempuh. Dan siapa yang sudah
tidak kuat untuk melanjutkan lari lagi, maka dialah yang kalah. Dan
untungnya, perempuan yang satu ini memilih rute yang tepat. Berlari
mengelilingi kawasan Ijen dari ujung ke ujung.
Satu kali putaran? masih oke. Dua
putaran? masih wajarlah. Hingga akhirnya putaran ketiga, aku sudah
mulai kehabisan nafas. Tapi ladies yang satu ini masih tetap saja bugar tanpa mengurangi kecepatan lari sedikitpun.
“Hosshhh, hosshhh, hosshhh..” deru nafasku terasa sudah di ambang batas.
“Gila, kuat juga ya ini cewek” kataku tak menyangka.
“Memang dia yang kuat, atau aku yang lemah?” fikirku.
Namun rupanya gengsiku masih
cukup tinggi. Aku tak mau dikalahkan oleh seorang cewek. Ingin sekali
rasanya kaki ini terus melangkah mengejar sosok yang tak kukenal ini.
Tapi apa mau dikata, jantung sudah tak lagi mau memompa. Komponen
penting yang satu ini rasanya sudah mulai aus.
Langkah kaki perlahan berubah semakin pelan dan akhirnya berhenti. Rasa
gengsi yang tadi masih membludak, kini telah hilang terkalahkan oleh
deru nafas. Sementara sosok yang berparas cantik itu, segera menghilang
di balik kerumunan. Aku masih menunduk tak menyangka akan dikalahkan
oleh cewek.
“Mimpi apa aku semalam? Mau
ditaruh mana mukaku, kalau teman-teman tahu bahwa aku kalah lari dengan
cewek?” kataku masih tak percaya dengan kenyataan.
Tak jauh dari tempatku berdiri, kulihat bakul seorang penjual jamu berada di pinggiran jalan kawasan Ijen.
“Wah, minum jamu pasti seger kali ya?” fikirku mulai tergiur.
Tanpa berfikir panjang, kuulurkan selembar uang sepuluh ribuan pada si penjual jamu.
“Bu, jamu beras kencurnya satu ya?”
Tak lama, satu gelas berukuran besar berisi beras kencur telah berada di
tangan. Namun karena tempat duduk yang terbatas, duduk di pinggir
trotoar pun menjadi pilihan. Belum lama aku terduduk, sebuah suara yang
asing di telinga tiba-tiba mengejutkanku.
“Wah, pasti segar tuh minum jamu habis lari-lari pagi” ucapnya.
“Uhuuk, uhukk..” Aku tersedak ketika menoleh ke arah datangnya suara.
Ternyata, suara itu berasal dari wanita yang sedari tadi kuikuti.
“Loh, kenapa mas?” tanyanya.
“Enggak, kok mbaknya disini? Bukannya tadi lari ke arah sana ya?” kataku
seraya menunjuk ke arah cewek tadi menghilang di balik kerumunan.
“Kok tahu kalau aku tadi lari ke arah sana? Berarti yang dari tadi ngikutin aku pasti kamu ya?”
“Hehehehe, ketahuan deh.” Kataku tersipu malu.
“Tapi lumayan lo mas larinya, bisa lari sejauh itu.” Pujinya.
“Udah deh, jangan meledek. Aku tahu kok siapa yang menang” kataku seraya memasang wajah masam.
“Halah, gak perlu merendah deh. Aku tahu kok, kalau kamu tadi lari dari
soekarno hatta sampai kemari sebelum lomba lari denganku. Kalau aku yang
jadi kamu, pastilah sudah tepar duluan.” Katanya coba menghiburku.
Aku hanya bisa tersenyum. Tak percaya bahwa ternyata dia lebih tahu dariku sejauh itu.
“Namaku Nada Jelita, mas bisa panggil aku Nada” tukasnya sambil mengulurkan tangan putihnya.
“Oh iya, dari tadi kita belum kenalan. Namaku Muhammad Awan Bimantara. Panggil saja Awan.” Jawabku seraya menjabat tangannya.
“Akhirnya Ya Tuhan, aku bisa merasakan lembutnya genggaman tangan
seorang perempuan” kataku kegirangan di dalam hati. Apalagi wajahnya
yang manis, dilengkapi dengan tubuh yang indah. Membuatku tak dapat
memalingkan pandangan darinya.
“Wan! Kok bengong?” tanyanya keheranan ketika melihat tingkahku yang anehku.
“Ah, enggak kok. Kamu udah pesan minuman?” tanyaku menawarkan.
Belum sempat mulut ini mengatup, ternyata minuman milik Nada telah diantarkan.
“Udah kok, ini dia sudah datang” jawabnya sambil menunjuk minuman yang diantarkan oleh penjual jamu.
“Wah, suka minum jamu juga? Pantesan badan kamu langsing” godaku.
“Ah bisa aja kamu” jawabnya dengan wajah yang tersipu malu.
Obrolan pun tak berhenti sampai
disitu, berlanjut kesana kemari. Mulai dari hobby, cita-cita, kesukaan,
hingga keluarga. Dan dari obrolan tersebutlah, akhirnya kutahu alamat
rumahnya yang hanya berbeda beberapa blok dari rumahku.
Tak terasa, jam sudah menunjukkan
pukul 9 pagi. Cukup lama sudah kami bercengkrama menebar tawa. Dan kini
waktunya bagi kami untuk kembali melangkahkan kaki. Menuju istana
masing-masing, sebelum matahari kian meninggi.
“Pulang yuk!” ajak Nada.
“Ayo, lagi pula sudah mulai siang nih” kataku setuju.
Belum lama kaki kami melangkah, tiba-tiba tangan Nada menarik tanganku yang membuatku berubah haluan.
“Ada apa Nad?” tanyaku penuh keheranan.
“Kamu mau kemana Wan?”
“Ya, pulanglah. Emang mau kemana lagi?” tanyaku keheranan dengan pertanyaannya.
“Yakin mau pulang jalan kaki?”
“Ya, habis. Mau naik apa?”
“Bareng sama aku aja, aku bawa motor kok. Tuh dia” ia menunjuk ke arah motornya.
“Ah enggak deh, lain kali aja” jawabku masih agak ragu.
“Eh Wan, kamu tega apa lihat cewek nyetir sendirian?” katanya membujukku.
“Waduh-waduh, mulai keluar deh manjanya. Iya deh. Aku bareng kamu” kataku pura-pura terpaksa.
Kebetulan juga rasa pegal dikaki
masih belum pulih seutuhnya. Mungkin karena ini pertama kalinya bagiku,
dan aku cukup memaksakan diri hingga sedikit kecapean. Jadi, kuterima
saja tawarannya.
“Wan, kamu bisa bawa motor kan?”
“Bisa emang kenapa?”
“Jadi kamu yang boncengin aku ya?”
“Loh kok gitu? Kenapa aku?”
“Ya kan emang gitu. Dimana-mana itu, cowok yang boncengin cewek. Bukan
sebaliknya. Lagian kakiku masih capek nih. Mau ya?” ia kembali
memunculkan rayuannya.
“Iya deh, Tuan putri” candaku.
“Bisa aja kamu” balasnya sambil mencubit pelan pipiku.
Matahari yang mulai meninggi,
membuat kami harus bergegas untuk pulang. Motor matic mio milik Nada
segera kupacu melewati jalanan minggu pagi yang lengang. Nada yang duduk
diboncengan belakang, terasa sangat menikmati perjalanan singkat ini.
Tangannya masih menempel erat di pinggangku.
Sesampainya di rumah, aku segera turun. Mengucapkan terima kasih serta sedikit berbasa-basi.
“Ini nih, rumahku. Mau mampir dulu?”
“Enggak deh, terima kasih”
“Loh kenapa? Lagian, harusnya yang berterima kasih itu aku. Udah dianterin pulang.”
“Terima kasih ya Nad” terusku.
“Iya enggak papa.”
Setelah kurasa cukup, aku pun pamit dan segera melangkahkan kaki masuk
ke dalam rumah. Namun baru satu meter kaki ini melangkah, Nada
menghentikanku.
“Eh, Wan” dengan nada agak tertahan.
“Iya?” jawabku sambil menoleh kearahnya.
Namun ia hanya tertunduk dan terdiam seribu bahasa. Angin pagi yang
sepoi-sepoi sempat meniup rambutnya hingga terlihat wajahnya yang penuh
akan keragu-raguan. Perlahan, kulangkah kan kaki mendekati tubuhnya yang
masih menunggangi kuda besi miliknya. Kutadahkan tanganku dan
kuletakkan tepat di bawah dagunya. Sedikit demi sedikit, kuangkat
wajahnya. Hingga aku dapat menatap jelas kedua matanya.
“Hayo ada apa? Ngomong aja lagi. Gak usah takut.” Bujukku agar ia mau mengatakan apa yang sebenarnya ingin diucapkannya.
Wajah manis miliknya yang sedari tadi menunjukkan raut keragu-raguan, kini berubah menjadi senyuman lebar ke arahku.
“Enggak kok, aku cuma mau tanya sesuatu. Bisa kan kalau minggu depan kita ke CFD lagi?”
“Hmm… Bagaimana ya? Habisnya jadwalku sibuk sih” jawabku ragu-ragu sambil memasang wajah bingung.
Disaat itu, kuberanikan diriku untuk melirik wajahnya. Raut wajah yang kecewa cukup jelas nampak padanya.
“Memangnya, kalau aku datang ke Car Free Day lagi. Kamu mau ngasih apa ke aku?” candaku sambil sedikit melemparkan senyuman.
Bagaikan melihat matahari yang terbit kembali, wajah Nada seketika berubah menjadi bahagia ketika aku menyetujui permintaannya.
“Aku traktir jamu deh” jawabnya singkat.
“Ah masak jauh-jauh ke Ijen cuma ditraktir jamu? Es krim atau apa gitu kek” ejekku.
“Udah, minum jamu aja biar kuat larinya” balasnya mengejekku.
“Wah, rupanya mulai mengarah ke kekalahanku di lomba lari tadi pagi nih.
Ya udah, cepetan pulang sana. Udah siang, ntar dicariin ama tante lo.”
“Uh, sok tau! Tapi janji ya? Minggu depan harus datang?” tanyanya meyakinkan.
“Iya, putriii…” kataku seraya membungkuk layaknya seorang prajurit menghormati ratunya.
Entah apa yang terjadi, seketika suasana hening. Dalam posisiku yang
masih membungkuk, aku tidak dapat melihat apa yang dilakukan oleh Nada.
Namun, sepertinya ia hanya berdiam diri. Tak merespon apapun. Rasa
penasaran mulai muncul di fikiranku. Kuputar sedikit leher ini hingga
kepalaku mendongak ke atas. Dan tiba-tiba.
“Iiiihhh… paling bisa deh bikin aku seneng” puji Nada dengan melayangkan cubitan gemas tepat di hidungku.
“Loohh, hidungku kok dibawa?”
“Kalau mau hidungmu kembali, minggu besok harus datang ya. Sampai jumpa minggu depan”
Seketika, tuas gas ditarik kencang oleh Nada. Kupandangi sosoknya hingga
akhirnya menghilang di kejauhan. Tingkahnya yang berbeda dari cewek
lain, cukup membuatku tersenyum-senyum sendiri hari ini.
“Terima kasih Tuhan, Engkau telah kabulkan doaku” gumamku dalam hati.
Betapa senangnya diriku hari ini.
Dengan bayangan wajahnya yang masih melekat di ingatanku, kumulai
melangkah menuju dalam rumah.
“Assaalamualaikum!!!” kataku setengah berteriak.
“Waalaikumsalam” suara adikku terdengar dari arah dapur.
“Wah, Tanti pasti lagi bantuin Ibu masak. Icip-icip dulu ah.”
Karena bau semerbak makanan yang memenuhi ruangan, ditambah lagi dengan
perut yang sudah mulai keroncongan. Membuat kebiasaan lamaku yang satu
ini tak bisa kuhindari. Dari kecil, hoby icip-icipku ini memang sudah
muncul. Apalagi ketika tercium masakan Ibu yang sangat sedap ini.
“Hari ini masak apa mbak?” kataku coba menggoda Tanti yang sedang asyik masak.
Namun bukannya jawaban atau respon yang lainnya, aku justru mendapatkan
sebuah keheningan. Hanya kicauan burung gereja yang berdengung di
kepalaku.
“Wah, Ibu ama adik mulai bersekutu nih” godaku lagi.
Kulihat mereka berdua sengaja tidak merespon candaanku. Mereka bersikap
seolah-olah tak mendengar perkataanku. Bahkan mungkin, mereka
menganggapku tidak ada. Entah kenapa, aku sendiri terheran-heran dengan
sikap mereka.
“Eh bu, rupanya ada yang spesial nih hari ini. Ada yang dianterin sampai
depan rumah loh.” Sindiran Tanti yang masih bersekongkol dengan Ibu.
Rupanya mereka sudah menyadarinya, bahwa aku tidak pulang seorang diri.
“Iya tuh, tadi pagi katanya sih pamit mau lari pagi. Tapi kok pulangnya malah naik motor ya?” jawab Ibuku menanggapi.
“Hayooo, pagi-pagi kok udah ngomongin orang. Dosa loh!!” kataku seraya merangkul tubuh keduanya.
“Halaahhhh, gak usah ngalihin pembicaraan deh” kata Ibu yang masih saja menggodaku.
Kami bertiga pun tertawa bahagia bersama-sama. Tawa mereka berdua
membuat hariku terasa semakin sempurna. Hari ini terasa begitu spesial,
dan itu semua karena kehadiran Nada.
Namun dihari-hari berikutnya,
komunikasi aku dan Nada berkurang drastis. Bahkan bisa disebut tanpa
komunikasi sama sekali. Apalagi jadwal sekolahku yang sangat sibuk,
sangat menyita waktuku hingga nyaris tak ada waktu kosong untuk sekedar
hanya menghubunginya. Seiring dengan keadaan itu, hari-hariku juga
menjadi seperti semula. Tak lagi ada sesuatu yang spesial. Dan yang
lebih parahnya lagi, karena kesibukanku yang begitu mengurung. Hingga
cerpenku yang harusnya kukirim minggu ini, belum juga terselesaikan.
Dan kini, tepat satu minggu sejak
aku mengerjakan cerpenku. Malam ini adalah malam minggu, saat yang
tepat bagiku untuk melanjutkan cerita pendek tentang kisah seorang
jomblo tersebut. Belum terlalu lama pensil ini kugenggam, tiba-tiba.
“Ceting!!!” suara hpku berdering.
Dan betapa bahagianya aku, ternyata itu adalah sms dari Nada.
“Malem wan, lagi ngapain?” tanyanya.
“Lagi nyantai aja nih. Ngelanjutin cerpen. Kamu sendiri?” jawabku cepat.
“Sama kok, lagi nyantai aja. Eh, kamu mau gak ikut aku cari makan? Hari ini Mama lagi gak masak nih”
Mendengar ajakan tersebut, hatiku tiba-tiba tersentak bahagia. Tak
menyangka akan ada kesempatan bagiku menghabiskan malam minggu dengan
Nada. Tanpa pikir panjang, kusetujui ajakan tersebut.
“Boleh deh.” Jawabku singkat.
“Oke deh, aku tunggu di rumah ya?”
“Siap tuan putri”
Segera kuhempaskan baju yang
sedari tadi masih melekat di tubuhku. Tanganku segera mengobok-obok
lemari, mencari baju ganti yang cocok untuk malam ini. Tanpa tunggu
lama, hem warna hitam dan celana jeans pun menjadi pilihan.
“Duk, duk, duk..” suara tangga kayu yang berbunyi keras ketika harus beradu dengan sepatuku.
“Loh, mau kemana kamu Ahmad? Kok tumben, rapi sekali?” tanya Ayah yang
kaget melihatku keluar dengan pakaian yang rapi serta wangi.
“Eemmmm, anu yah. Ahmad mau cari makan di luar sambil cari udara segar” jawabku ragu. Takut jika Ayah akan naik darah padaku.
“Tahu sendiri lah yah, Jam segini kan
udara paling segar untuk pasangan anak muda. Apalagi ini kan malam
minggu.” Goda Ibuku yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar yang terletak
di sebelah bagian bawah tangga.
“Iya, apalagi kalau perginya bareng sama temennya yang kemaren kesini” sambung adikku.
“Wah-wah. Sudah gede rupanya anak Ayah. Ya sudah sana berangkat.” Kata Ayah mengizinkan.
Setelah kiranya mendapat izin dari Ayah dan Ibu, segera kucium tangan keduanya dan segera pamit.
“Aku berangkat ya. Assalamualaikum” kataku dengan lambaian oleh tangan kiri dan tangan kanan yang menarik tuas gas.
“Waalaikumsalam” suara keluargaku yang masih sempat terdengar.
Motor
matik milik Ayah seketika melaju. Deru mesin yang cukup kencang,
bagaikan sirine yang menandakan bahwa aku sedang terburu-buru. Karena
jalanan yang cukup macet oleh para pemuda dan pemudi, perjalanan pun
menjadi sedikit terhambat. Tak jarang aku harus tarik ulur tuas gas dan
beberapa kali rem mendadak. Setelah 15 menit perjalanan yang cukup
melelahkan, akhirnya nampaklah istana mewah tempat kediaman Nada.
“Tiinnn.. Tiiinnn..” suara klakson seakan memanggil pemilik rumah yang hendak kuajak pergi ini.
“Hay!!!” sapa Nada dengan gembira ketika melihatku berada di depan rumahnya.
“Sebentar ya, aku ganti baju dulu.” Lanjutnya.
Karena keadaan rumah yang sepi,
jadi aku memilih untuk menunggunya di luar. Aku baru tahu, ternyata
Ibunya sedang pergi ke luar kota. Tak sampai 5 menit, munculah sosok
cantik milik Nada. Dengan celana jeans warna biru serta baju trend masa
kini yang dibalut jaket lembut semakin membuatnya terlihat anggun.
Hingga aku serasa terbius oleh penampilannya.
“Sekarang mau kemana nih? Ke cafe, tempat makan, atau…”
“Atau apa?”
“A.. Atau jalan-jalan dulu? Tapi, tapi itu terserah kamu sih. Kalau kamu gak mau gak papa kok.” Lanjutku sedikit gugup.
“Emmm, bagaimana ya? Habisnya aku sibuk sih”
“Ya udah, kalau sibuk langsung cari makan aja” kataku sambil sedikit
murung. Karena aku merasa tak akan bisa berlama-lama lagi dengan Nada.
“Jangan, kita nonton yuk?” ajaknya spontan.
“Loh, katanya sibuk? Kok malah ngajak nonton?” tanyaku keheranan.
“Iya, habisnya malam ini sibuk jalan sama kamu sih” godanya.
“Wah, sialan. Kena lagi deh gua. Emang paling pinter deh, kalau ngeboong” kataku seraya mencubit hidungnya yang mancung.
“Loh, hidungku?”
“Makanya, besok jangan lupa datang ke CFD ya?” candaku.
Ia hanya membalas senyuman dan langsung naik ke dalam boncenganku. Tak
menunggu waktu lama, motor Ayah kembali kupacu santai menuju salah satu mall tujuan kami.
“Pritt, pritt, pritt…” suara
peluit yang ditiup oleh tukang parkir terdengar merdu memandu kami untuk
segera memarkir kendaraanku. Setelah kurasa mendapatkan tempat yang
tepat bagi si matik, kami berdua segera menuju ke dalam mall seluas 400
meter persegi ini. Setelah memasuki kawasan mall, terasa sekali suasana
yang sangat berbeda. Hawa segar hembusan AC, serta lantunan musik
yang terdengar. Menciptakan suasana yang sangat nyaman bagi kami,
terutama Nada. Ia nampak sangat nyaman berada di sisiku. Aku juga turut
bahagia melihatnya. Entah sampai kapan kebahagiaan ini akan berlangsung,
yang jelas aku tak menginginkannya pergi.
Setibanya di depan pintu masuk
bioskop, puluhan judul film beserta waktu diputar telah berbaris rapi
menunggu kami. Berbagai jenis dan genre film tersedia disini. Mulai dari
yang drama mengharukan, hingga film action
menantang. Seakan sengaja untuk membingungkan kami memilih film mana
yang akan kami tonton kali ini. Hingga akhirnya, pilihan jatuh pada film
ber-genre drama dari indonesia. Yaitu, perahu kertas. Film yang
disutradarai oleh sutradara terkenal Hanung Bramantyo ini sukses menarik
perhatian kami di antara deretan film populer luar negeri.
“Wan, kalau gitu aku pesen tiket dulu ya?” kata Nada seraya melangkahkan kakinya menuju antrian loket.
“Iya,” jawabku pelan.
Aku masih terdiam tepat di depan
dinding dimana berbagai judul film terjajar rapi. Aku tak tahu harus
melakukan apa dan menuju kemana. Tapi tiba-tiba sebuah ide muncul di benakku.
“Aku beli popcorn dulu aja kali ya. Siapa tahu Nada suka.” fikirku.
Segera kurubah pandangan menuju
tempat untuk membeli popcorn. Rupanya tempat itu tidak terlalu ramai.
Terlihat hanya beberapa orang yang antri untuk membeli camilan yang satu
ini. Dan aku adalah orang keempat dalam antrian tersebut.
Sambil menunggu antrian,
iseng-iseng kulihat barisan antrian menuju loket yang mengular cukup
panjang. Pengunjungnya rata-rata anak muda yang sedang menghabiskan
waktu di malam minggu. Tak sengaja, nampaklah wajah riang milik Nada.
Kulihat ia berada di tengah-tengah antrian yang cukup jauh dari loket.
Namun nampaknya ia begitu sabar. Tak nampak sedikitpun ekspresi murung
ataupun kesal padanya. Ia hanya menunjukkan wajah anggunnya dan sesekali
memainkan HP miliknya. Terlalu asyik kupandangi wajahnya, hingga aku
tak sadar bahwa sebenarnya aku juga di dalam antrian.
“Mas, Mas!!” panggil seseorang dari arah penjual popcorn.
“Mas mau beli popcorn apa enggak? Kok diem disitu aja?” lanjut pedagang itu.
“Oh iya mbak, beli popcorn dua sama minuman yang itu dua ya” jawabku
dengan telunjuk yang mengarah pada salah satu produk minuman dekat
penjual tersebut.
Di dalam hatiku, sebenarnya ada rasa malu yang amat besar. Terlalu asyik
untuk memandangi sekitar, hingga aku tak sadar bahwa ternyata antrian
di depanku telah habis. Dan juga, menahan malu karena sempat menjadi
pusat perhatian ketika pedagang popcorn harus berteriak-teriak
memanggilku yang menghentikan antrian. Tapi semua rasa malu itu coba
kutepis. Hingga akhirnya popcorn dan minuman yang kupesan, kini sudah
berada di tangan. Kulihat Nada masih dalam antrian. Masih ada 2 orang
lagi di depan Nada sebelum loket. Dan kuputuskan untuk singgah di tempat
duduk terlebih dahulu, dan melanjutkan kembali keisenganku yang tadi
sempat terganggu.
Belum lama aku memandangi sekitar, bahuku dikagetkan oleh tepukan yang cukup keras dari Nada.
“Hey!!! Dicariin dari tadi, ternyata bengong disini” kata Nada setelah mengagetkanku.
“Ah, siapa yang bengong! Cuma lihat-lihat aja kok” jawabku.
“Hayyooo, lihatin siapa? Pasti liatin cewek orang ya?” tanyanya menggoda.
Aku hanya dapat memasang muka masam ketika mendengar ledekan Nada. Aku
tak dapat mengelak ketika aku ketahuan sedang memandangi cewek dan
kekasihnya yang sedang berada di tengah-tengah antrian. Aku tertarik
bukan karena kecantikan cewek tersebut, namun lebih kepada betapa
bahagianya mereka.
“Andai aku bisa seperti mereka. Pasti dunia akan terasa jauh lebih indah daripada sekarang” khayalanku coba menebak.
“Wooyyy!!! Malah dikacangin gua. Udah ayo masuk, jangan duduk disini kayak orang gila” kata Nada membuyarkan lamunanku.
Segera tanganku ditarik oleh Nada untuk memasuki ruang bioskop. Aku
hanya bisa menuruti kemauannya dengan fikiran masih terbayang oleh
sepasang kekasih yang baru saja kulihat.
Dan rupanya, kami datang terlalu
cepat. Masih ada waktu sekitar 15 menit sebelum film perahu kertas
diputar. Namun kami telah terduduk manis di kursi empuk nan ber AC ini.
Hawa dingin dari pendingin udara terus menerpa, membuat dekapan Nada di
lenganku semakin erat tak terlepaskan. Sambil menunggu waktu, kami
mengobrol sana-sini. Namun rasa aneh tiba-tiba terbayang di benakku.
“Nad, aneh gak sih kalau kita berduduk berdua disini?” aku mulai merasa
tidak enak karena sedari tadi hanya kami berdua yang terduduk bercanda
tawa di dalam ruangan yang cukup luas ini. Sementara pengunjung yang
lain hanya memilih untuk menunggu di pintu masuk.
“Aneh gimana?” tanyanya singkat.
“Ya, aku merasa aneh aja. Yang lain belum masuk, eh kita malah nyelonong duluan” ujarku menjelaskan.
“Ah, nyantai aja lagi” jawab Nada tenang.
“Emang kamu gak malu apa? Dilihatin orang dari luar tuh” kataku seraya menunjuk ke arah pintu masuk.
“Selama sama kamu, aku rileks aja kok.” Godanya.
“Oh iya, aku lupa kalau kamu kan gak punya malu.” candaku pada Nada.
“Huuuhh, enak aja. Tau ah, sebel!” kata Nada dengan mukanya yang menunjukkan ekspresi cemberut.
“Wah, aku baru tahu. Ternyata cewek cantik kalau cemberut jadi jelek juga ya.” candaku lagi.
Dan ternyata candaanku yang satu ini dapat membuatnya sedikit tersenyum kembali.
“Ehhh, udahlah. Kalau mau katawa, ketawa aja lagi. Nggak perlu ditahan.” Tambahku.
“Ahhh, dasar ya..” jawab Nada dengan senyum kecil mulai menghiasi wajahnya.
Kami pun kembali tertawa lepas ditemani popcorn dan soda yang telah
kubeli tadi. Namun suasana tiba-tiba mencekam sekaligus membuat jantung
nyaris copot. Yaitu ketika semua lampu yang ada di dalam ruang bioskop
seketika dimatikan dan suasana menjadi gelap gulita. Dan tak lama
kemudian, beberapa lampu kecil di pinggir kursi menyala. Menciptakan
suasana yang romantis sekaligus pertanda bahwa film yang kami
tunggu-tunggu akan segera diputar.
Mungkin karena fikiranku yang
masih dikagetkan oleh kondisi lampu mati, hingga aku tak menyadari bahwa
sedari tadi Nada menggenggam erat lengan kananku. Tangan milik Nada
menggenggamnya cukup kuat, hingga lenganku terasa sedikit sakit. Betapa
kagetnya aku, disaat kulihat tubuh Nada yang sudah berkeringat dingin
dan wajah yang ketakutan. Genggamannya di lenganku masih saja terasa
kuat, bahkan semakin waktu terasa semakin kuat. Dan baru kuketahui bahwa
Nada memiliki phobia terhadap tempat gelap.
Perlahan, kugenggam jemari mungil
tangan kanannya dengan tangan kiriku. Tangannya yang tak berhenti
kejang-kejang semakin memperkuat tanda bahwa ia sangat ketakutan. Kuelus
perlahan tangannya yang lembut, hingga ia merasa sedikit tenang. Secara
perlahan, ia mulai melemahkan cengkramannya di lengan kananku. Setelah
itu, kulepaskan tangan kananku dan kuletakkan di atas kepalanya. Kuelus
perlahan rambutnya dan kuletakkan kepalanya di pundakku.
“Kenapa? Kaget ya?” tanyaku.
Ia tetap terdiam tak menjawab. Dengan suara tangis yang sedikit tersengal-sengal.
“Sudahlah, kan ada aku disini” hiburku.
Cukup sulit bagiku untuk
menenangkan seorang perempuan. Karena aku belum berpengalaman
sebelumnya. Yang kutahu saat ini, hanyalah terus menghiburnya hingga ia
melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Hingga akhirnya layar bioskop
mulai bersinar terang, menerangi ruangan yang cukup gelap. Dan kutahu,
kini Nada sudah dapat tenang kembali. Dan kamipun dapat menikmati film
Perahu Kertas ini.
Nyaris 2 jam telah berlalu,
berbagai nama pemain film telah muncul di layar. Pertanda bahwa film
yang kami tonton telah usai. Salah satu cafe yang berada di kawasan
Sukarno Hatta adalah tujuan kami selanjutnya. Di kawasan Sukarno Hatta
terutama malam hari memang terkenal sebagai tempat wisata kuliner
sekaligus tempat bagi anak muda untuk menghabiskan malam minggu.
Tak sampai 15 menit, Vario milik
ayah telah berpindah ke tempat parkir cafe. 2 porsi nasi goreng spesial
ditambah dengan es jus melon menjadi pilihan untuk mengisi perut yang
sedari tadi sudah keroncongan ini. Setelah makanan dan minuman terpesan,
kini bagianku untuk memilih tempat yang cocok untuk kami berdua. Sebuah
meja yang berada di lantai 2 menghadap ke arah sepinya jalan Sukarno
Hatta serta pegunungan arah kota Batu yang disinari cahaya-cahaya kecil
menjadi pilihanku. Dan nampaknya, Nada juga setuju dengan pilihanku.
“Kamu hebat juga ya milih tempat” pujinya.
“Ah, enggak kok. Aku Cuma sering lihat di TV aja kalau katanya tempat ini bagus” kataku merendah.
“Bisa aja kamu” canda Nada.
“Oh iya Wan, aku mau ngucapin terima kasih sama kamu” lanjutnya dengan nada agak malu-malu.
“Terima kasih buat?” tanyaku heran sekaligus bingung.
“Terima kasih karena kamu tadi udah nenangin aku” jelasnya.
“Ah, santai aja lagi. Apasih yang enggak buat kamu” jawabku.
“Mulai lagi deh, gombalnya” balas Nada dengan tersenyum lebar.
“Tapi aku serius Nad” kataku seraya meraih tangan Nada.
Suasana berubah menjadi hening. Keceriaan yang sedari tadi terpancar
dari kami berdua, kini lenyap entah kemana. Kuberanikan diri untuk
menatap kedua matanya.
“Aku, aku merasa hidupku berubah. Hidupku jadi lebih berwarna, jadi
lebih ceria. Dan itu semua karena kamu Nad! Semenjak kenal kamu, aku
merasa ada sesuatu yang berubah. Semua perubahan itu terasa aneh bagiku,
dan semuanya juga baik menurutku. Jadi aku fikir, aku tidak bisa hidup
jauh darimu Nad. Kamu mau gak, jadi pacarku?” lanjutku.
Nampak Nada mengernyitkan dahi, sepertinya ia ragu-ragu.
“Hilang sudah harapanku” kataku menyerah dalam hati.
“He’em” jawab Nada.
Seraya kusambut dengan senyum bahagia yang begitu lebar, selebar senyum milik Nada.
“Beneran Nad?” kataku seakan tak percaya.
“Iya, aku juga merasa kalau kamu yang paling cocok buat aku. Mulai dari
yang bikin aku ketawa, sebel, dan juga kamu yang paling bisa nenangin
aku. Makasih ya sayang”
Aku merasa seperti terbang mendengar perkataan Nada yang mulai kini
telah resmi menjadi pacarku. Dan semenjak hari itu, malam mingguku
menjadi lebih cerah. Secerah langit yang dihiasi bintang-bintang terang.
Tak terasa 1 bulan sudah kami
menjalin hubungan. Layaknya hubungan yang lainnya, perjalanan kami pun
tak semulus yang kami dambakan. Hari ini,
tepat 3 hari dimana Nada tidak memberikanku kabar sama sekali.
Jangankan untuk telepon ataupun sms, untuk sekedar misscall saja tak
pernah. Diriku sendiri juga tidak tahu dengan jelas apa alasan Nada
untuk membenciku. Yang kutahu, ia begitu marah besar padaku sebelum aku
sempat mengerti apa yang terjadi.
3 hari kemudian, di hari Sabtu.
Hari dimana telah 6 hari sudah kami tak berkomunikasi sedikitpun. Dan di
hari ini pula, aku putuskan untuk pergi ke rumahnya. Harapanku saat ini
hanyalah agar Nada sudah tak marah lagi padaku. Namun rasanya harapanku
belum terkabul.
“Ting…Tong..!!!” suara bel rumah Nada.
Tak lama, nampaklah sosok Nada dari balik pintu.
“Ngapain kamu kesini?” tanyanya sinis.
“Ada apa sih yang? Kok cemberut begitu? Nanti cantiknya hilang lo”
usahaku untuk menghiburnya. Meskipun kutahu, itu hanya berpeluang kecil
untuk dapat membuatnya tersenyum kembali saat ini.
“Halah, udah deh. Gak usah pura-pura gak tahu” jawabnya dengan ketus.
“Kamu kenapa sih yang? Emang aku salah apa?” tanyaku penasaran dengan kesalahanku.
Kucoba dekati tubuhnya dan kugenggam tangannya.
“Halaaahhh!!!” ia melepaskan tangannya dari genggamanku.
“Aku baru tahu ya, kalau ternyata kamu itu lemah. Gak sekuat yang aku bayangin selama ini. Kamu lebih suka menulis cerpen di dalam kamar kayak
anak cewek daripada harus olah raga futsal / basket seperti cowok lain
seusiamu. A, Aku kecewa sama kamu Wan, kamu udah rusak kepercayaanku.”
Tangis Nada pun tak terbendung lagi.
Coba
kukejar dirinya, namun ia begitu cepat menghilang masuk ke dalam rumah.
Kini, hanya penyesalan yang dapat kulakukan. Baru kali ini kulihat Nada
sesedih dan semarah ini, dan itu semua gara-gara aku. Entah apa hukuman
yang cocok bagiku. Aku merasa telah menyakiti hati seorang wanita yang
aku cintai. Memang benar kata Nada, Aku telah membuatnya kecewa.
Kepulanganku diiringi dengan
penyesalan yang amat besar, semua kata-kata Nada begitu menancap dalam
fikiranku. Membuatku terfokus hanya pada kesalahanku, hingga nyaris saja
aku menabrak pengguna jalan yang lain.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar tidurku. Kurebahkan tubuhku, mencoba untuk menenangkan fikiran.
“Ya sudahlah, wajar kalau dalam hubungan pasti ada keretakan.” Kata hatiku coba menghibur.
Tak lama berselang, tiba-tiba suara yang tak asing mengagetkanku.
“Tingg!!!” suara nyaring HP ku berbunyi tanda bahwa ada sms masuk.
Dengan sedikit rasa penasaran, kutengok Hpku yang tadi juga berbaring di
atas kasur. Dan ternyata itu adalah sms dari Nada. Seketika jantungku
dibuat berhenti berdetak, ketika kulihat sms dari Nada yang berisikan
bahwa ia ingin mengakhiri hubungan ini. Betapa hancurnya hatiku, membaca
sms darinya. Hati yang baru saja sedikit terhibur, kini harus kembali
merasakan pahitnya cinta.
Dan entah kenapa, tiba-tiba kepalaku mendadak pusing. Seakan
langit-langit berguncang tak tentu arah. Jantung terasa berhenti untuk
berdetak. Aku tak tahu, harus bagaimana. Aku merasa sangat lemah.
Dan akhirnya, final
sudah bagiku. Perlahan demi perlahan, pandanganku kabur dan semakin
gelap. Segalanya jadi semakin buruk, ketika nafasku mulai
tersengal-sengal. Aku telah pasrah. Jika memang ini adalah takdirku, aku
akan menerimanya. Hingga akhirnya, aku pingsan dengan tubuh terbujur di
lantai kamar.
Ketika terbangun, aku sudah
berada di rumah sakit. Tubuhku dipenuhi oleh alat medis. Berbagai selang
dan alat-alat yang tak kuketahui namanya telah berserakan di samping
dan di atas tubuhku. Dengan kepala yang masih sedikit pusing, kucoba
menengok sebelah kanan dan kiri mencari kedua orangtuaku. Dan saat
itulah kutahu, bahwa aku masuk ruang ICU.
Aku tak tahu seberapa parah penyakitku, hingga aku masuk ke ruangan
ini. Yang kutahu, kedua orangtuaku hanya bisa berharap-harap cemas di
balik kaca jendela.
Tiga hari telah berlalu, badanku
masih terbaring di tempat yang sama. Berbagai macam pengobatan serta
pemeriksaan, telah berulang kali kujalani. Dan akhirnya, dokter
menyatakan kondisiku sudah membaik dan dapat dirawat di kamar biasa.
“Akhirnya Ya Allah, Engkau telah datangkan kabar baik bagiku” kataku dalam hati.
Ruang Bougenville 3. Itulah
tempat peristirahatanku selanjutnya. Tentunya hatiku sangat senang.
Karena tak harus dipenuhi berbagai alat medis yang membuatku sangat tak
nyaman. Apalagi, sekitar setengah jam lagi jam besuk telah berlaku.
Kedatangan Ayah dan Ibu beserta adikku tercinta nyaris menyempurnakan
kebahagiaanku pada hari ini. Namun sayang,
orang tercintaku tak ada disini. Seandainya saja Nada juga berada di
sisiku saat ini, mungkin itu akan membuat kebahagiaanku sempurna. Tapi
apalah mau dikata, rasanya hal itu sangat mustahil bagiku. Hanya
bersyukur dan merasa cukup yang bisa kulakukan saat ini.
“Bagaimana kabarmu Nak?” tanya Ibu ramah.
“Baik bu” jawabku sambil menyodorkan senyum.
“Syukurlah kalau kamu sudah baikan” tambah Ayah.
“Memangnya aku sakit apa sih yah?”
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Wajah Ayah dan Ibu yang tadi mulai
ceria kini kembali menunjukkan raut kesedihan. Aku tak tahu, apa yang
sedang mereka cemaskan. Atau mungkin ada yang salah dari perkataanku?
Aku menjadi bingung melihat sikap mereka. Terutama Tanti, raut kesedihan
sudah tak dapat ditutupi lagi. Mata Adik dan Ibu dibanjiri oleh air mata. Sosok Ayah yang biasanya tegas dan tegar, kini sudah lenyap ditelan bumi.
“Begini Mad. Jadi, jadi sebenarnya…” kata Ayah dengan tebata-bata.
“…sebenarnya sejak kecil kamu” Ayah tak mampu lagi melanjutkan
penjelasannya. Air mata yang mulai tadi tertahan, menetes terlalu cepat.
Aku sangat sedih melihat mereka, namun di sisi lain aku juga sangat penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Sejak kecil aku kenapa yah? Jawab yah! Jawaab!!!” tanyaku dengan mata berkaca-kaca.
“Sejak kecil kamu, kamu memiliki jantung yang lemah Mad” jawab Ayah.
“Jadi selama ini aku tidak bisa bermain bola, tak hebat dalam basket, dan tak bisa sekuat teman-temanku yang lain, karena aku memiliki jantung yang lemah? Iya yah?” tanyaku tak percaya.
Beliau hanya tertunduk, tak dapat lagi berucap. Suara tangis seketika
terdengar semakin kencang. Kami berempat terlarut dalam kesedihan yang
mendalam. Perasaanku begitu hancur mendengarnya. Seakan tak percaya,
hati ini coba mengelak. Namun tetap saja terasa amat menyakitkan.
“Ya Allah, rupanya Engkau berikan hambamu cobaan yang cukup berat. Kuatkanlah hati ini Ya Allah” doaku dalam hati.
Masih dalam tangis yang kuat, Ibu
memelukku erat. Dengan nafas yang terdengar berat, pelukan beliau
terasa semakin waktu semakin kuat. Sebuah pelukan yang mengisyaratkan
bahwa Ibu belum rela melihatku seperti ini. Apalagi jika aku harus
meninggalkannya dari dunia ini. Tak terbayang, betapa besarnya beban
yang harus ditopang hati Ibu. Pasti terasa teriris bila harus kehilangan
diriku.
“Maafkan Ibu ya nak. Ibu tidak memberitahumu selama ini. Ibu takut, jika
kamu belum bisa menerima kenyataan pahit ini.” Suara Ibu terdengar
menyesal.
“Maafkan Ayah juga ya nak. Seharusnya, sejak kecil kamu harus melakukan
cangkok jantung. Namun karena Ayah tak punya uang untuk operasi, hingga
kini kondisi jantungmu semakin parah” suara Ayah terdengar tak kalah
sedih.
“Jadi, selama ini Ayah dan Ibu tidak pernah melarangku dan selalu
memanjakanku karena Ibu dan Ayah sudah tahu? Jika umurku sudah tak lama
lagi?” tanyaku yang masih belum bisa menerima kenyataan. Aku ingin
dokter segera memberitahuku bahwa aku sudah sembuh, meskipun aku tahu
itu hanya kebohongan.
Semuanya tertunduk mendengar pertanyaanku. Mereka diam seribu bahasa karena sudah tak dapat menghibur kesedihanku lagi.
“Iya Nak. Kata dokter jika semuanya terus seperti ini, waktumu tinggal…”
“Kenapa dengan diriku Bu? Kenapa!? Ayo jawab Bu!!” air mataku terus
berlinang, mencoba menerka kemungkinan apa yang akan terjadi
selanjutnya. Keadaan terasa semakin buruk dan tak henti-hentinya
memburuk.
“…waktumu tinggal satu minggu lagi Nak” lanjut Ibu.
“Enggak Bu, Ibu gak mau kan kehilangan aku? Ibu cuma bohong kan? Ayo bu!
Jawab aku, jawab!” hatiku terasa tertusuk semakin dalam. Tak kuat lagi
rasanya aku merasakan semua ini. Ingin rasanya diriku segera pergi
dengan tenang di alam sana tanpa harus mengetahui kematianku seperti
saat ini.
Tak terasa, satu jam waktu telah
berlalu. Jam jenguk yang terbatas, ditambah dengan matahari yang semakin
condong ke ufuk barat. Pertanda bahwa sudah saatnya bagi orangtua serta
adikku untuk kembali pulang ke rumah. Kata pepatah, ada pertemuan
pastilah ada perpisahan. Dan mungkin inilah yang dinamakan perpisahan
untuk terakhir kalinya. Perpisahan dimana mungkin esok aku tak dapat
melihat mereka lagi. Meskipun vonis dokter masih seminggu lagi, namun
aku yakin segala kemungkinan masih bisa terjadi. Bahkan kemungkinan
terburuk sekalipun, aku sudah pasrah akan semuanya.
“Ibu pulang dulu ya nak, istirahat yang banyak ya” kata Ibu ketika semuanya telah siap untuk meninggalkanku.
“Tunggu Bu! Sebelum Ibu pergi, bisakan aku minta sesuatu? Aku ingin Ibu
bawakan handphone dan buku cerpenku lengkap dengan alat tulisnya.
Bisakan Bu?”
Beliau hanya bisa mengangguk perlahan.
Tak lama, semua permintaanku
dikabulkan. Tapi semuanya tetap harus pergi. Hingga akhirnya aku
sendiri, bertemankan sebuah ponsel, buku, serta pena kesayanganku.
Terdengar agak konyol memang, seorang remaja justru memilih ditemani
oleh buku karangan sementara waktu hidupnya hanya tersisa satu minggu
lagi. Namun permintaanku bukannya tanpa alasan, aku hanya tak ingin di
sisa hidupku ini masih saja merasa bersalah pada Nada. Aku ingin meminta
maaf padanya yang telah kubuat kecewa. Aku sadar, aku takkan bisa mati
tenang jika Nada masih belum memaafkanku.
Berkali-kali sudah kucoba untuk
menghubungi ponselnya, berkali-kali juga kukirimkan sms untuknya. Namun
tetap saja, tak ada jawaban sedikitpun. Untunglah aku meminta kepada Ibu
buku serta pena. Jadi aku bisa menulis surat untuknya.
Jarum jam terus berputar. Detik
demi detik, menit demi menit, kulewati hanya dengan menulis dan menulis.
Hingga akhirnya surat ini pun terlahir. Betapa senangnya hatiku,
mendapatkan sedikit harapan kepada Nada untuk membaca suratku. Dengan
semangat yang bangkit oleh secercah harapan, segera kutelpon handphone
milik Tanti. Aku ingin menyuruhnya untuk mengantarkan Ibu ke rumah Nada
esok hari.
“Halo, ada apa kak?” suara adikku membuka percakapan.
“Dik, kakak mau minta tolong besok kamu antar Ibu kerumah kak Nada ya? Kakak mau nitip surat nih. Tahu kan?”
“Iya kak, aku tahu kok”
“Mana Ibu? Aku mau ngomong sebentar”
“Iya, halo ada apa nak?” terdengar suara Ibu yang lembut nan ramah menjawab telpon dariku.
Belum sempat kusampaikan maksudku yang sebenarnya, mataku dibuat
terbelalak ketika melihat 2 sosok yang cukup asing bagiku. Mereka
berpenampilan cukup aneh. Dengan pakaian serba putih, serta wajah yang
bersinar cukup menyilaukan. Dengan posturnya yang tinggi besar, aku
yakin bahwa sosok itu bukanlah manusia. Apalagi manusia Indonesia, yang umumnya memiliki postur badan pendek dan kulit sawo matang.
“Ya Allah, Inikah utusan-Mu yang akan mengambil nyawaku?” gumamku dalam hati.
Belum lama aku terkejut, tiba-tiba terdengar suara Ibu dari telepon yang sedari tadi masih tersambung.
“Halo, nak? Kok diam saja?” tanya Ibu.
“Aaarrrggghhh!!!” jeritku ketika merasakan rasa sakit yang amat sangat.
Tiba-tiba rasa sakit yang
kurasakan ketika pingsan beberapa hari yang lalu, kini terasa kembali.
Namun kali ini terasa ada yang berbeda. Selain rasa sakit yang lebih
hebat, mati rasa yang kualami dibagian kaki membuatku semakin takut.
Ditambah dengan 2 sosok misterius yang terus menatapku dari balik pintu,
membuatku yakin bahwa memang sampai disinilah ajalku.
“Haa, loo! I..buu? Ibb, bbu ma, ssih di, ssana kan?” suaraku terbata-bata.
“Iya nak ada apa?” suara Ibu terdengar cemas.
“A, a, aakkkuu ttii, tiipp suu, raattku untuk Nad, ddaa ya. Sam, pa,
ikan ma, affkkuu padanya ka, rreennaa tellah memm, buat, dii, a kec,
kecc, eewaa.” Suaraku semakin terbata-bata.
“Iya Nak. Pasti, pasti akan Ibu sampaikan.” Suara Ibu terdengar bercampur tangis.
“Ibb, uu jagg, ggaa Tan, tti y, aa? Se, sel, lammatt ting, ggaa, ll”
“Kamu ngomong apa sih nak? Jangan bikin Ibu semakin cemas” kata Ibu sedih.
“Assala, muuk, aa,laai, kumm” suaraku sudah terputus. Mata yang terasa
amat berat serta nafas yang tersisa hitungan detik, menjadi detik-detik
terakhir bagiku untuk menatap dunia ini. Masih dalam posisi terpejam,
kurasakan tubuhku menjadi sangat ringan hingga bisa terbang. Baru
beberapa detik mata ini terpejam, kini kulihat tubuhku telah terbujur
kaku terbalut selimut. Mungkin ini yang dinamakan berbeda alam.
Kulihat beberapa sanak saudara
telah bermandikan air mata di sekeliling jasadku. Termasuk Ayah dan Ibu.
Derasnya cucuran air mata yang mengalir seakan belum merelakan
kepergianku. Namun anehnya, sedari tadi belum kudapati sosok adikku. Aku
tak mengerti kemana perginya ia. Tiba-tiba sesosok wanita memasuki
rumah dan memeluk erat tubuhku. Aku tak tahu siapakah sebenarnya dia.
Kerudung yang membungkus kepalanya, membuatku tak dapat melihat
wajahnya. Yang kutahu, ia terlihat sangat kehilangan. Berulang kali ia
memeluk dan menangis di atas jazadku. Lalu diikuti oleh satu perempuan
lagi yang segera duduk di samping jazadku. Dan baru kuketahui bahwa
mereka adalah Nada serta adikku.
Dengan perintah dari adikku, Nada
membuka secarik kertas serta sebuah buku yang masih terlipat rapi di
samping tubuhku. Digenggamnya tanganku yang mulai mendingin, dan
diciumnya beberapa kali. Wajah Nada nampak amat sedih. Tak bisa ia
tutupi lagi kesedihan yang amat mendalam tersebut. Dengan perlahan,
dibukanya surat dariku. Dengan nafas yang sedikit tersengal tangis, ia
baca perlahan surat serta ucapan terakhirku untuknya.
Untuk mantan kekasihku,
Nada
Nad, maafkan aku ya. Karena selama aku menjadi kekasihmu, aku tak bisa
menjadi sosok yang kau inginkan. Aku tidak bisa menjadi kuat, bahkan
hanya untuk melindungimu saja aku tak mampu. Maafkan aku, karena aku
hanya bisa menjadi seorang penulis. Tapi hanya lewat tulisan inilah aku
mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya. Bahwa, aku masih mencintaimu.
Meskipun kutahu, kau terlalu istimewa bagiku. Dan kutahu juga bahwa saat
kau membaca suratku ini, semuanya telah terlambat. Hari ini mungkin
menjadi hari-hari terakhir dalam hidupku. Atau bahkan ini akan menjadi
perpisahan terakhir kita. Meskipun kini kita bukanlah seorang kekasih
lagi, tapi aku ingin kau menyimpan buku ini. Buku yang akan
mengingatkanmu tentang perjalanan cinta kita yang terukir indah di
dalamnya.
Cerpen yang mengisahkan perjalanan cinta kita mulai saat kita pertama
bertemu, saat-saat kita menebar canda tawa, duduk berdua di cafe, bahkan
sampai saat kita menikah dan hidup bahagia bersama kelak. Meskipun
hidup bahagia bersamamu kini hanya bisa menjadi impian, namun aku tetap
bahagia bisa bertemu dengan bidadariku. Aku ucapkan terima kasihku
karena kamu telah menemaniku hingga di akhir hayatku ini. Dan aku juga
berterima kasih karena kamu telah memaafkan kesalahanku. Kini aku dapat
beristirahat dengan tenang. Selamat tinggal cintaku. I miss you.
Tertanda
M. Awan Bimantara
“Tidaaakkk!!!.. Bangun Awan!,
bangun! Aku sudah disini, sekarang kamu bangun!!! Ini aku, Nada.
Kekasihmu” suara Nada diiringi tangis terdengar sangat keras.
“Percuma Nad, ini sudah terlambat. Semoga Tuhan mempertemukan kita di alam yang lebih kekal.”
–END–
Maafkan Aku
Rindu Tapi Malu
Rintik-rintik hujan menerjang atap rumah, mengalir di sela atap, jatuh menghujam ke tanah kering mereking. Mengalir ke tanah terdalam. Tanaman anggrek dan melati gembira-ria menyambutnya, namun Rahma sangat sedih. Hatinya tertusuk sembilu, jantungnya sendat, aliran darahnya terasa mengalir lambat. Rahma mengingat kekasihnya, Aris. Ingin sekali Rahma memeluknya, mendekapnya, dan bercanda dengannya. Tapi kini terlambat sudah, Aris sudah pergi jauh. Memang penyesalan tidak akan berada di depan kejadian, dan begitulah teorinya. Rumah Rahma tampak sepi, hanya ada kucing kuning yang menemaninya hari itu, dibunyikannya musik pada komputernya, lagu mellow. Ya, seperti suasana hati Rahma. Sangat mellow. Biasanya, selalu ada saja kenangan Rahma bersama Aris setiap harinya. Saling mengirim pesan pendek, menelpon atau bahkan Aris berkunjung ke rumah Rahma, namun kini semuanya sudah berakhir. Waktu tak akan bisa diputar ulang.
Awal pertemuan mereka. Rahma mengikuti Orentasi Studi Pengenalan Kampus (OSPEK), di awal masa kuliahnya. Aris sebagai pengelola kegiatan kala itu. Pepatah lama, “Dari mata turun ke hati” telah menghipnotis mereka berdua. Rahma suka sekali curi pandang kepada Aris, di sela-sela kegiatan. Ketika Aris sedang sibuk mengurusi junior-juniornya, termasuk Rahma. Aris juga sudah merasakan kimistri saat memandang Rahma, ada perasaan yang kuat dalam dirinya, sulit untuk didefinisikannya ke dalam tulisan ataupun kata-kata. Di pantai, tempat dimana upacara penutupan OSPEK dilaksanakan. Aris menghampiri Rahma, disaat yang tepat. Rahma sedang duduk sendiri menunggu temannya mengambil makanan. Aris mendekat perlahan memulai obrolan ringan. Untuk mengakrabkan diri kepada sang pujaan hatinya.
“Rahma,” ucap Aris memulai. Perasaan gugup menyerang tubuhnya. Rahma juga, ia tak mengerti maksud Aris kali ini. Ada apa tiba-tiba Aris begitu serius.
“Ya, Kak.” Jawab Rahma.
“Dalam hidup ini, apa yang kamu takutkan menghilang darimu?” Tanya Aris mencoba serius. Aris dikenal dengan selera humornya yang tinggi, jarang sekali ia serius. Kecuali saat ia bermain catur saja. Walau ia suka Humor, namun ia sangat tegas, berani dan cerdas. Ia juga dipercaya sebagai Ketua Pengelola kegiatan OSPEK saat itu.
“Kasih sayang seorang Ibu,” jawab Rahma pelan.
“Kenapa?” Tanya Aris lagi.
“Ibu sangat berarti bagi semua anak di dunia, tanpa ibu tentu tidak ada yang namanya anak. Dan surga itu di telapak kaki Ibu, bukan?. Ketika hilang kasih sayang seorang Ibu, maka menjauhlah ridho Allah kepada kita.” Jelas Rahma. Aris diam sejenak sambil mengangguk membenarkan kata-kata Rahma. Ia merenung, otaknya berputas cepat, membangun strategi bagaimana untuk mengarahkan obrolan sesuai dengan yang direncanakannya.
“Kalau kakak? Apa yang diharapkan tidak boleh hilang.” Rahma balik bertanya.
“Cinta,” jawab Aris singkat. Rahma terkejut dalam hatinya, bertanya-tanya apakah alasan yang diberikan Aris akan jawaban itu.
“Cinta?”
“Ya, Cinta.”
“Dapatkan beri Rahma alasannya, Kak?”
“Karena aku cinta kepadamu, Rahma.”
“({})” Rahma terpaku, tidak berkata apa-apa, mukanya merah malu. Hatinya berbunga, musim semi menghibur dalam sanubarinya.
“Apakah sebuah kesalahan jika aku mencintaimu, Rahma?” Rahma menggeleng sambil membenarkan posisi simpuhnya yang sedikit salah. Bukan posisi duduknya yang salah, tapi dirinyalah yang salah tingkah.
“Rahma, Aku mencintaimu.” Aris mengulang kata-katanya. Rahma menggangguk pelan. Tersungging senyum di bibirnya, senyum simpul yang termanis sengaja dipajang demi Aris di hadapannya.
Rahma selalu bahagia bersama Aris, mereka sepertinya sudah dipertemukan oleh tuhan untuk bersama. Rencana kedepan, mereka melanjutkan kepelaminan setelah selepas kuliah Aris nanti. Rahma kini belajar di semester awal, sedangkan Aris menginjak semester delapan. Hanya menunggu penulisan skiripsinya selesai, dan kemudian diujiankan lalu diwisudakan. Hari-hari mereka menyenangkan, tidak pernah putus komunikasi. Walau jarak rumah mereka sangat jauh, namun hati mereka dekat. “Jauh di mata dekat di hati” begitulah pribahasa kala jatuh cinta.
Aris tinggal bersama Ibunya, ditemani dua orang adik perempuannya. Ira, duduk di bangku kelas empat SD dan Mia, sudah kelas satu SMP. Demi penghidupan mereka, Aris membatu ibunya menjajakan kue tiap paginya. Malam hari, Ibu dan Aris tidak tidur lebih cepat. Karena harus mengaduk adonan kue untuk di masak kala subuh, jika dimasak sebelum pukul sepuluh atau sebelas malam, Kue yang dijual pada pagi harinya kurang enak. Karena sudah dingin. Dengan hidup mandiri, Aris belajar menempuh hari dengan ketabahan dan kesabaran, walau keluarga mereka sederhana. Mereka tetap bersyukur, sebab masih banyak orang di luar sana yang lebih buruk keadaanya dari pada mereka.
Berkenalan dengan Rahma, telah menambah warna dalam hidup Aris. Rahma dengan latar belakang keluarga berkecukupan tidak pernah sedikitpun merendahkan Aris di hadapannya. Rahma selalu bergaul dengan semua orang tanpa pilih kasih. Ia senang sekali membatu teman-temannya. Rahma hidup lengkap dengan Ayah dan Ibunya, sedangkan kakak-kakaknya sudah menikah dan meninggalkan rumah untuk hidup bersama suami-suami mereka. Rahma dengan karakter pemalu, dan sopan santun yang tinggi. Ia menjadi anak yang disenangi orang-orang yang memandangnya, jilbab panjang kembang selalu menutupi paras ayunya dan memancarkan aura wanita muslimah. Hubungan Rahma bersama Aris sudah sangat dekat, baik keluarga Rahma maupun keluarga Aris sudah saling suka dan menyetujui hubungan mereka.
Akhir-akhir ini, Aris sering sakit kepala. Sepertinya Ia kurang sehat. Ibunya terpaksa menjajakan Kue ditemani adik bungsunya, Ira. Entah apa yang menyerang kesehatan Aris, mereka tidak begitu mengerti akan hal itu. Mungkin Ia terlalu giat bekerja hingga tidak memperhatikan keadaannya. Ibunya, Ny Tati, sangat khawatir akan keadaan Aris, sering Ia membujuk anaknya untuk berkunjung ke Puskesmas terdekat demi mengecek kondisi kesehatannya. Menurut pak Mantri, Aris tidak apa-apa hanya saja kelelahan dan kurang istirahat. Aris memang tidak pernah berlama-lama terbaring di kasur, memanjakan penyakitnya. Ia terus berusaha untuk kuat, meski Ia terlihat sangat rapuh.
Aris kembali dengan aktivitasnya, menjual kue bersama Ibu, kuliah dan membantu adik-adiknya mengerjakan tugas. Pagi itu, Aris kambuh lagi, kini dadanya terasa sesak, napasnya sendat, perutnya terasa penuh. Ny Tati sangat terkejut melihat kejadian yang menimpa anak sulungnya itu.
“Aris, Aris, kamu kenapa” Tanya Ny Tati tergesa-gesa dan memandang anaknya dengan tatapan sendu. Raut mukanya mengerut, garis-garis tua itu mengalir di belahan parasnya.
Aris tidak bisa berkata-kata, suaranya tersangkut di kerongkongan. Ia hanya memegang dadanya, mengatur napas dengan sendirinya, namun itu sangat sulit baginya. Ny Tati menyuruh Mia untuk memanggil Pak Ali; tetangnga sebelah yang merupakan tabib di wilayah kediaman mereka. Bergegas Pak Ali menghampiri Ny Tati dan Aris yang masih terbaring depan ibunya. Segera Pak Ali, memberikan bacaan mantra kepada sebuah botol berisi air. Kemudian ia menyodorkannya kepada Ny Tati untuk diminumkan pada Aris. Bukan sulap bukan sihir, bukan pula mengada-ngada, beberapa menit selepas meminum air dari Pak Ali, Aris sedikit membaik, Ia sudah dapat memulai kata-kata penjelasan keadaannya kepada Ibunya.
“Aris sudah tidak apa-apa bu” ucap aris pelan.
“Syukurlah, Nak” tanggap Ny Tati.
Setelah Aris bangkit dari sakit mendadaknya pagi itu, Ibunya mengajak Aris menuju Rumah Sakit, demi mengetahui jelas penyakit Aris. Dengan bantuan tenaga medis dan peralatan yang lengkap pada rumah sakit, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Aris di diagnosis mengidap mag yang sudah parah, lambungnya telah menipis dan dipenuhi luka. Aris seseorang yang sangat disiplin namun dibalik itu Ia memiliki kebiasaan jelek, yaitu menunda makannya hingga pekerjaannya selesai.
Rahma merupakan teman, sahabat sekaligus kekasih buat Aris. Mereka sangat akur nan bahagia. Dengan sikap malu-malu Rahma, Ia tampak sebagai sosok wanita anggun di mata Aris. Wanita memang harus banyak malunya, jika terlalu agresif, tentu mengurangi keanggunannya. Aris seorang humoris, Ia mampu membuat Rahma selalu tersenyum dan tertawa, walau sering juga Rahma mengeluh, kapan pacarnya itu serius. Untuk melihat wajah masing-masing, Aris harus menuju ke rumah Rahma atau bertemu Rahma di kampus. Pacaran mereka tidak seperti masa kini; mingguan berdua, shopping berdua, ngampus berdua. Tidak ada hari mingguan bersama kekasih bagi Aris. Namun dibalik itu, Rahma sangat memahami keadaan Aris. Komunikasi terus mereka lakukan walau jarak mereka jauh. Bertukar pesan singkat atau telpon-telponan sudah menjadi obat mujarab bagi pertahanan hubungan mereka.
“Rahma, Aku rindu padamu.” Ungkap Aris di balik ponselnya. Ia benar-benar rindu kekasihnya. Seminggu ini Ia tidak dapat ke kampus atau ke rumah Rahma untuk melihat dan berjumpa dengannya. Ia berharap ungkapan yang sama juga keluar dari bibir tipis Rahma. Namun, Rahma tidak pernah mengucapkan kalimat itu. Ia sangat menjaga kata-katanya, Ia juga sangat malu mengungkap perasaannya. Mungkin beberapa wanita memang seperti Rahma, malu mengungkapkan, padahal mereka ingin mengatakannya.
“Iya, kak. Bagaimana keadaanmu?” jawab Rahma. Ia tidak mengungkapkan perasaan rindunya. Ia ingin Aris mengetahui tanpa Ia mengungkapkannya. Ya, Aris memang sangat paham akan perasaan itu, namun Ia ingin lidah lentik itu yang mengucapkannya, untuknya.
“Kini Aku sedikit membaik” singkat Aris. Menjawab pertanyaan Rahma, yang mengalihkan dari tema awal pembicaraannya. Aris tidak ambil pusing, Ia ikut saja alur yang dibuat Rahma, karena Ia sangat mencintai kekasihnya, Ia ingin Rahma merasa aman jika berada dekat dengannya.
“Kabarmu, bagaimana. Rahma?” sambung Aris.
“Alhamdulillah juga sangat baik, kak.”
Obrolan mereka sangat lugas dan menyenangkan, walaupun jarang sekali membahas tentang perasaan masing-masing. Mereka tidak mengalami gangguan yang serius dalam hubungan asmara. Mereka saling memahami keadaan masing-masing, saling percaya, itulah pondasi yang kokoh, yang mereka bangun demi berdirinya istana cinta mereka.
Sebulan lagi Aris akan melaksanakan ujian skiripsi. Di rumahnya, Saat Ia sedang menilik ulang hasil penelitiannya, Aris tiba-tiba pingsan. Ibunya yang sibuk di dapur baru mengetahuinya setengah jam kemudian saat memasuki kamar Aris, wajah tuanya terkaget melihat tubuh anaknya tergeletak di lantai dekat kursi belajarnya. Adik-adiknya sedang tidak di rumah, masih di sekolah. Pikiran Ny Tati meronta, apa yang akan dilakukannya, otaknya menempuh jalan buntu, raut khawatir jelas terpampang di mukanya. Seketika Ia mengangkat pelan tubuh Aris, menggesernya mendekati kasur tempat tidur. Cukup lama Aris pingsan. Ny Tati terpaku, duduk di sebelah Aris menunggunya tersadar. Karena Ia yakin anaknya belum meninggal, sebab terasa masih sangat hangat tubuhnya ketika Ia menyentuhya tadi.
“Ya Allah, apa gerangan yang terjadi pada anakku?” batinnya.
Satu jam Ny Tati ditemani suasana hening, pikirannya melayang jauh, meloncat luar pintu, mencari-cari jawaban, kapan anaknya terbangun. Aris mulai mendapatkan kembali ingatanya, matanya terbuka, suara paraunya menyapa ibunya, Ny Tati.
“Aris tidak apa-apa, Bu.” Nada rendah keluar dari bibirnya yang masih kelihatan bergetir.
“Sudahlah, Nak. Istirahat saja dulu,” jawab Ny Tati sambil menyodorkan segelas air putih kepada Aris.
Sepulang adik-adiknya dari sekolah, Ny Tati mengajak Aris dan yang lainnya menuju RSUD, untuk mengecek kembali kesehatan Aris. Aris masih belum bisa bangkit, perlu dibopong untuk berdiri ataupun berjalan. Ira dan Mia disuruh ibunya mencari bantuan tetangga untuk mengantarkan Aris ke Rumah sakit. Setelah didiagnosa dokter, Aris diputuskan untuk dirawat inapkan hingga kesehatannya kembali normal.
Rahma mendapat kabar melalui pesan singkat dari Ira, adik Aris. Bergegas Ia menuju rumah sakit. Dalam perjalannan, suasana hatinya gundah gulana, ingatannya terbang ke angan mencari kabar tentang sakitnya sang pujaan hati. Ia tidak pernah membayangkan penyakit Aris begitu parah. Ia teringat akan pamannya yang meninggal satu tahun silam, karena lambungnya bocor. Namun pikiran itu segera Ia tepis. Ia berharap Tuhan memberikan kesembuhan kepada kekasihnya itu. Pintu ruang inap melati terbuka, Rahma melihat Ny Tati, Ira, dan Mia duduk menemani Aris yang terbaring tanpa daya, hanya senyum ketegaran yang tersungging di bibirnya ketika melihat Rahma mendekat kepadanya.
Satu hari setelah diianapkan, Rahma mendapat kembali kabar bahwa kesehatan Aris menurun drastis, padahal kemarin terlihat Ia sudah membaik. Rahma bersama ayah dan ibunya bergegas menuju rumah sakit.
Di ruang perawatan tampak Ny Tati dengan wajah kusut, raut kekhawatiran jelas tergaris di wajahnya. Keluarga Rahma dan Aris mengelilingi tempat tidurnya. Aris tersenyum kepada semuanya, senyum demi menyenangi hati yang melihatnya. Jelas senyum itu terlukis bahwa Ia ingin tampak kuat dan akan sembuh, namun terlihat Aris begitu memaksakannya.
Ny Tati menggenggam tangan Aris, kesedihan tidak dapat ditutupinya. Air matanya tumpah perlahan mengalir di pipinya. Aris berusaha mengangkat tangannya, namun Ia tidak kuasa dan tangannya kembali terjatuh ke tempat tidur.
“Maafkan Aris, Bu. Aris sudah menyusahkan ibu, seharusnya hari ini kita masih bisa menjajakan kue, Mia dan Ira juga masih bersekolah. Maafkan Aris, Bu.” Suaranya begitu lemah, Air mata Ny Tati mengalir deras. Tidak berkata apa-apa, Ia hanya mencium kening anaknya itu, dan terus terisak-isak dalam tangis.
Ayah Rahma bersandar di tembok, Ibunya memengang bahu Ny Tati, mengisyaratkan agar selalu tegar menghapi keadaan ini. Mia dan Ira yang berdiri di hadapan abangnya juga mundur bersandar di tembok. Nampak mereka begitu galau melihat keadaan Aris.
Aris menatap Rahma, kembali Ia mencoba tersenyum. Namun tidak sempurna. Rahma mendekatinya dan membalas senyuman Aris. Mata Rahma terasa memanas menahan tangis. “Rahma, maafkan aku yang telah membuatmu khawatir. Sungguh aku sangat merindukanmu.” Nada suara Aris nyaris tidak terdengar. Rahma hanya mengangguk, tidak sanggup berkata walau sepatah pun. Aliran air matanya mulai deras. Aris kembali mencoba menghapusnya, namun gagal. Tangannya tidak bisa menuju wajah Rahma dan terjatuh kembali di tempat tidur. Rahma tidak mengerti maksud Aris, Ia hanya diam. Ayahnya mengangguk. Kemudian Rahma mencium kening Aris.
Aris menatap semuanya satu persatu yang mengelilinya. Saat menatap Rahma, Ia berhenti lama. Matanya seakan menjelaskan sesuatu, namun Rahma tidak dapat meraba maksudnya. Kemudian Aris menutup matanya dan senyum menghiasi bibirnya. Rahma mengira Aris kelelahan setelah berbicara banyak dan tidur. Namun ternyata Aris menutup matanya untuk selama-lamanya. Rahma mengetahuinya setelah Ny Tati histeris dan pingsan.
“Innalilahi wainnalillahi rojiun” lafaz itu keluar dari mulut semua yang berada di ruangan itu. Terlihat sebuah tarikan napas terakhir Aris dan senyum tetap terpajang di bibir keringnya.
Ibu Rahma, Mia dan Ira sibuk mengurusi Ny Tati yang pingsan. Ayah Rahma keluar ruangan, mengabari kepada staf Rumah sakit akan berita duka itu. Rahma tertunduk menangis. Tangis semuanya pecah menyaksikan Aris kembali kepada-Nya. Kelihatannya Tuhan lebih sayang kepadanya dibanding dengan yang lainnya. Tuhan tidak ingin melihat Aris menderita lebih lama lagi menanggung sakit yang dideritanya.
Kerinduan dan kesepian kini menjadi sahabat Rahma di hari-harinya. Kadang Ia mengenang kisahnya bersama Aris, saat memandang senyumnya di kegiatan OSPEK, saat Ia menyapa Rahma, ketika Aris menatapnya di ruang perawatan. Rahma sangat merindukan kekasihnya itu, “Aku sangat merindukanmu Rahma,” ucapan itu masih sangat melekat pada pikiran Rahma. Ingin sekali Ia membalas ucapan itu. Namun waktu tidak akan pernah kembali, Ia menyesal tidak pernah mengunggapkan perasaan sesungguhnya kepada Aris, Ia egois. Ingin selalu di pahami oleh Aris, namun Ia tidak mengerti perasaan Aris. Kini Rahma hanya bisa berdoa. Semoga Aris berada disini-Nya dengan damai. Semoga dosa-dosanya diampuni.
“Kak Aris, Rahma juga merindukanmu.” Rahma membatin, air matanya mengalir membasahi pipinya.
“Kenapa Aku harus malu megungkapkan perasaanku padanya, padahal aku sangat mencintainya. Kak Aris, maafkan Rahma. Ya, Robb… Ampunilah dosa-dosaku”.
Cinta Yang Tak Terbalas
Siang itu siswa kelas XI dan XII sibuk mendaftar untuk study tour
lokal. Dan kebetulan aku pendaftar paling terakhir. Aku kira aku siswa
kelas XI sendiri yang berada di bis kelas XII, ternyata tidak, ada
Nuliadi, Mardi dan Prastyo. Ya aku cewek sendiri untuk yang kelas XI di
dalam bis itu. Awalnya aku sama sekali tidak mengenal dia (Nuliadi).
Untuk bicara pun kami tidak pernah, padahal kelas kami berdampingan.
Setelah selesai study tour
aku melihat daftar nama pembimbing di mading, sama sekali tak ku sangka
aku satu pembimbing dengannya. Tapi aku bersikap biasa saja karena aku
tidak begitu dekat dengannya. Berjalannya waktu aku pun diam-diam
memperhatikannya. Dan ternyata ada yang berbeda di dalam hatiku. Tapi
aku selalu memendam apa yang ku rasakan, hingga aku mulai dekat
dengannya karena urusan karya tulis. Waktu demi waktu kita lalui, aku
selalu memberinya semangat untuk menyelesaikan karya tulis tersebut
walaupun dia agak malas mengerjakannya. Tiada hari aku selalu
mengingatkannya, sampai-sampai satu kelasnya pun hafal jika aku pergi ke
kelas nya “pasti bahas karya tulis”. Setiap saat aku membantunya untuk
mengerjakan karya tulis tersebut sampai-sampai aku membuatkannya Latar
belakang. Iya aku lakukan itu tulus karena aku sayang
dengannya. Tapi apa setelah aku rela-rela membantunya dia sama sekali
tidak memperdulikan karya tulisnya malah mementingkan futsal. Hingga
akhirnya aku marah dan kesal terhadapnya. aku diamkan dia aku tidak
perduli mau selesai atau tidak karya tulisnya, tapi sebenernya itu
bohong besar semarah apapun aku, aku masih tetap memperdulikannya.
Hingga karya tulisnya selesai sampai bab pembahasan.
Pagi itu aku sengaja main
ke kelasnya untuk menemui sahabat ku yang bernama puspita, ya
sebenarnya alasan untuk melihat dia hehehe. Tapi apa yang ku dapat
ternyata dia sedang duduk berdua dengan teman sekelasnya yang bernama
wulan. Hatiku sempat hancur saat itu tapi aku mau berfikir positif saja,
mungkin hanya ngobrol biasa. Sampai ku cari tau semuanya lewat sahabat
aku, dan ternyata mereka sedang dalam proses pendekatan, hatiku
benar-benar hancur aku benar-benar merasa sakit hati, tak bisakah
sedikitpun dia peka terhadap perasaan ku .
Waktu semakin berlalu, seminggu aku tak mendapat kabar darinya dan aku pun sengaja tidak mau mencari kabar tentangnya.
Ujian Nasional
pun berlangsung, aku dan teman-temanku duduk di depan mushola sambil
belajar, saat mataku menatap ke depan tempat wudhu ketemui wajah yang
tak asing. iya dialah nuliadi yang sedang bersama wulan, hatiku
benar-benar hancur aku hanya bisa mengungkapkan semuanya kepada sahabat
ku andita, dia satu-satu nya orang yang mengetahui bahwa aku menyayangi
nuliadi. dia memberiku semangat “udah ma, kita masih ujian, fikirin
ujian dulu jangan fikirin dia, semangat ya” aku cuma membalasnya dengan
senyuman.
Ujian nasional pun telah berakhir
dan seluruh kelas XII dipersilahkan untuk kumpul dulu di lapangan
upacara. Aku berdiri di sebelah andita sahabatku sambil mataku melihat
ke kanan dan ke kiri untuk mencari nuliadi tapi apa yang ku dapat
kehancuran dia berdiri di samping wulan dengan mesra berdua. Mataku tak mampu menahan rasa sakit itu hingga air mata pun menetes. lalu aku pindah ke tempat yang tak dapat melihatnya.
Berminggu-minggu aku tidak kesekolah, ya
karena sudah tidak ada yang perlu ku selesaikan jadi aku tidak ke
sekolah. Selama itu aku tidak bertemu dengannya, hingga saat ada acara
di sekolah aku dan tiga sahabatku ke sekolah untuk refreshing.
Sesampai disana kami malah jenuh, acaranya tidak begitu meriah dan
biasa saja. Sahabat-sahabatku mengajakku pergi untuk melihat pameran, ya
sudah aku ikut saja, Tapi disana aku malah melihat nuliadi sedang
bermesraan dengan wulan tanpa pikir panjang aku langsung berlari dan
menangis dan sahabatku andita mengikutiku , Dia berkata “Jangan begitu
ma, nanti mereka curiga sama kamu”, aku hanya bisa menangis dan
mengatakan “sakit ngeliat mereka berdua seperti itu an”. Dan kemudian
aku memutuskan untuk pulang daripada aku harus merasakan kekecewaan.
Hari demi hari ku lewati sendiri
di rumah dan tibalah waktunya pengumuman. Tepat pada waktu itu seluruh
siswa kelas XII masuk ke dalam kelas masing-masing untuk dibagikan
amplop kelulusan. Setelah kami buka bersama amplop itu ternyata kami
lulus semua rasa bahagia sangat ku rasakan hari itu, akhirnya aku bisa
menyelesaikan sekolah ku di SMA. Saat di perjalanan pulang aku
melihatnya duduk di depan TU bersama wulan, ternyata dia belum diberi
amplop kelulusan karena karya tulisnya belum selesai, saat aku
melewatinya dia tersenyum manis kepada ku, tapi aku membalasnya dengan
senyuman sinis padahal dalam hati aku sangat mengharapkannya.
Setelah kelulusan itu tak lagi ku dengar kabar dari dirinya, ku kirim message pun tak di balas
olehnya. Dari sini ku berusaha untuk melupakannya, mungkin memang dia
tercipta bukan untuk aku. Aku bahagia pernah menyayanginya walaupun
harus sesakit ini aku menyayanginya.
Seharusnya Tuhanku, Bukan Kamu!
Jemari tangan Aisyah masih menari
di atas tuts-tuts piano tua itu. Menebarkan jutaan nada yang berdenting
halus memukau jiwa. Dia masih asyik memanjakan hasratnya, terbelenggu
dalam lantunan melody yang terangkai merdu. Dia masih sibuk disana,
menghabiskan waktu untuk bermain alat musik kegemarannya.
Nampaknya lantunan melody piano
berhasil memenangkan pendengarannya. Aisyah kini tak menyadari handphone
nya telah ribut berkicau cukup lama.
Setelah cukup puas bermain, Aisyah lalu memilih untuk menyudahi konser
kecilnya. Betapa lelah otot-otot serta jemari mungil itu. Sambil
berelaksasi, dia memalingkan wajah dan seketika menyadari bahwa dirinya
baru saja mendapatkan mini heart attack.
Dengan segera dia beranjak dari kursi kecil itu. Diraihnya sebuah handphone yang sedari tadi terkapar dan teracuhkan di atas sofa. Dengan hati penuh kecemasan, Aisyah membuka gadget mungilnya dan mendapati beberapa unread messages serta missed calls dari Nanda sang kekasih. Kini perasaannya semakin tak tenang.
Benar saja, semua pesan yang
dibaca dengan perasaan was-was dan takut itu kini menjelaskan secara
terang benderang. Seperti biasanya, Nanda mulai berkicau panjang lebar,
marah-marah dan banyak meletakkan tanda seru di setiap kalimat yang dituliskannya.
Ya, Aisyah tak begitu terkejut
mendapati dirinya dibantai habis-habisan dengan kalimat yang tidak enak.
Dia tau betul sifat pacarnya itu, yang selalu marah-marah jika smsya
lambat dibalas, telponnya tak kunjung diangkat, mention twitter
tenggelam, atau jika Aisyah sedang sibuk melakukan sesuatu sehingga
dianggap tidak perhatian dan melupakannya. Memang ini terlihat sangat
complicated, tetapi gadis ini masih bersabar. Telapak tangannya lalu
diusapkan lembut di dada. Dia tidak mau ikut-ikutan tersulut emosi. Ya,
setidaknya hanya untuk mendinginkan suasana kala itu. Tidak ada guna
berkelahi, pikirnya.
Jalan raya
itu kini semakin ramai. Berisikan insan yang hendak kembali ke rumah
setelah lelah beraktivitas seharian. Tergambar jelas pergulatan antara mobil dan motor kala itu. Saling bersaing menebarkan polusi udara dimana-mana.
Nanda mulai mengerutkan dahinya. Berulang kali menerobos pandang ke arah luar dari balik kaca jendela sebuah café.
Dia memang sengaja memilih tempat di pojokan, tepat menghadap kaca
jendela berukuran sekitar 3×2 meter yang berornamen kupu-kupu.
Satu-satunya alasan yaitu karena tempat itu dirasa sangat strategis
untuk segera menangkap bayangan orang yang ditunggunya jika telah tiba
nanti. Berulang kali Nanda mengganti posisi duduk sembari meremas-remas
jemarinya dengan gelisah. Memang hal menyebalkan apalagi yang sedang
dilakukannya selain menunggu Aisyah?
Tak berapa lama kemudian sang
gadis yang ditunggupun akhirnya datang. Tersirat jelas raut wajah Aisyah
yang gelisah, jauh lebih gelisah daripada sosok di hadapannya itu. Dia
tau pasti Nanda akan marah dan ngomel-ngomel lagi.
“Kenapa lama sekali sih!” Nanda
memulai pembicaraan dengan nada ketus. Tentu saja itu bukan cara memulai
pembicaraan yang baik, apalagi kepada seorang wanita.
“A-aku baru pulang kuliah” Dengan gugup Aisyah lalu mengambil tempat tepat di depannya.
“Bukannya kamu sudah keluar dari setengah jam yang lalu? Naik taksi
kesini butuh waktu selama itu ya?” Nanda berbicara seolah menyudutkan
posisi gadis yang sedang duduk tepat di hadapannya.
“Ya kamu sabar dong. Kan aku pulang juga gak langsung buru-buru naik taksi” Aisyah berusaha menjelaskan dengan tenang.
“Iya, kan masih asyik cerita dengan teman-teman cowok kamu hahaha” Nanda
mulai menyindir lagi. “Tega banget ya, sudah tau kita udah janjian
ketemu, eh kamu malah sengaja biarin aku nunggu lama”
“Ya ampun Nanda, bukan begitu. Ah mau dijelasin kayak
apa juga pasti kamu tetap bakal marah dan gak percaya kan. Ya udah
maaf” Gadis itu tertunduk, mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Dia
sungguh kecewa dengan sikap pacarnya barusan.
Aisyah kini menjadi serba salah.
Dia kebingungan merangkai kata untuk menjelaskan semuanya. Karena dia
tau apapun dan bagaimanapun penjelasan yang diberikan, ujung-ujungnya
dia tetap akan menjadi kambing hitam yang selalu terpojokkan dan tidak
memiliki hak untuk membela diri. Mengapa semua menjadi serumit ini?
“Ya udahlah kita lupain aja
masalah itu. Yang penting sekarang kamu sudah datang” Seperti ada
sedikit cahaya di mata Aisyah ketika mendengarnya. Akhirnya Nanda sudah
tidak mempermasalahkan hal tadi lagi. Gadis bermata cokelat itu kini
bisa sedikit bernapas lega.
“sekarang ini aku mau certain ke kamu tentang temen kerja aku di kantor.
Dia itu sangat menyebalkan!” Nanda seperti robot yang sudah disetting
untuk selalu marah. Baru saja satu masalah terselesaikan kini ada saja
masalah baru yang muncul. Aisyah tau hal apa yang harus dilakukannya
sehabis ini. Seperti biasa dia hanya harus ‘mematung’. Ya, layaknya
boneka yang hanya disuruh diam mendengarkan keluh kesah si pemilik tanpa
berucap apapun. Seperti mainan pelampiasan emosi.
Tentu saja mood
Aisyah jadi berubah total. Dia capek-capek pulang kuliah hanya untuk
mendengarkan cerita gak penting cowok itu? Aisyah tertunduk lagi,
matanya sayu. Sabar Aisyah, sabar saja dulu. Batin Aisyah
menjerit-jerit. Nanda ternyata cukup peka dalam melihat perubahan mimik
wajah kekasihnya. Tetapi bukan hanya itu, perhatiannya kini lebih
tertuju pada kedua kelopak mata Aisyah.
“Hey tunggu dulu, apa itu di mata kamu?” Nanda mulai memicingkan kedua bola matanya.
“Apa? Oh ini eye liner. Memangnya kenapa?”
“Kamu kok tumben pakai kayak gituan? Aku gak suka, gak natural! Gak usah
ikut-ikutan teman-teman kamu yang dandanannya menor! Jangan-jangan kamu
mau memikat hati cowok lain!” Nanda melipat kedua tangannya, melotot
hingga kedua bola matanya hampir melompat keluar beserta saraf-saraf
yang timbul di dahinya. Wajahnya nampak sangat merah seperti tomat yang
sudah matang.
“Ya Ampun, apa-apaan sih kamu ini. Aku pakai ginian aja kamu sampai
mikirnya negative kayak gitu? Kamu tega sekali ngomong seperti itu. Kamu
gak pernah mikir perasaanku Nanda!” Seketika Aisyah shock. Seperti ada
papan kayu besar yang menumbuk dadanya. Lagi-lagi dia salah, selalu
salah.
“Sudahlah Nanda. Jika kita lanjutkan perbincangan ini, akan ada ratusan
lagi topik perkelahian baru yang kita mulai. Lebih baik aku pulang saja
sekarang”
Aisyah langsung berpaling tanpa menunggu jawaban dari lelaki yang nampak
geram di belakangnya. Dia memilih untuk tidak menggubris setiap
pandangan mata orang-orang sekitar yang melihat ke arah mereka berdua.
Apalagi menggubris cerocosan penuh amarah sang kekasih. Sungguh tak
penting lagi. Saat itu pikirannya hanya satu, pulang.
Aisyah kini mendapati dirinya sedang duduk di kursi belakang sebuah angkot tua yang penuh sesak. Irama lagu rock
anak muda jaman sekarang sedang ramai bersenandung memekan telinga.
Namun jauh di dalam sana, di hati Aisyah, dia sedang kesepian.
Pikirannya campur aduk. Dia masih tidak habis pikir dengan sikap orang
yang disebutnya sebagai kekasih itu. Yang seharusnya mendukungnya dalam
berbagai hal, termasuk kuliah. Tetapi kenyataannya tidak. Dia kini
menjadi lebih risau ketika teringat akan ujian blok yang harus
dihadapinya besok. Namun karena pertemuan tak berarti tadi, waktu
belajar dan pikirannya harus tersita. Otaknya kini sudah lelah. Batinnya
terselimuti oleh gundah.
Sore itu awan mulai bergeser merebut posisi matahari. Menutupi bola api
raksasa sehingga menaburkan eksotika warna jingga di langit. Ah, efek
tyndal memang selalu cantik. Tergambar jelas lukisan Tuhan yang mampu
mempesona setiap pasang bola mata. Subhanallah, Sunggu indah ciptaanMu
ya Rabb, Tuhan semesta alam.
Terdengar pelan suara langkah
kaki Aisyah yang menginjak kerikil-kerikil kecil sepanjang menelusuri
sebuah jalan setapak menuju tempat untuk pulang, rumah. Dia sedang
galau. Seperti sesuatu yang teramat berat sedang ditopang batinnya.
Beribu kali segala pikiran-pikiran buruk coba dihempaskan, tetapi
nyatanya tak bisa. Segala hal buruk yang terjadi telah sukses
menggerogoti semua memorinya hingga habis sudah segala yang baik di
sana.
Dia menjadi lebih sakit hati
ketika mengingat saat dirinya dituduh selingkuh dengan teman sekelasnya
hanya karena terpaksa menerima ajakan temannya untuk diantar pulang.
Menerima tawaran itu bukan tanpa alasan. Saat itu semua tugas kelompok
baru saja terselesaikan di saat hari telah cukup larut dan akan bahaya
jika dia naik taksi sendiri malam-malam. Sekalian juga rumah mereka
searah. Tetapi Nanda dengan segala keegoisannya tetap tak mau mengerti.
Selalu saja begini.
Aisyah lalu tersadar dari lamunan
masa lalu itu. Dia secara refleks menggoreskan lekukan tipis di pipi
yang disebut senyum. Senyuman itu palsu, tercurah dari dalam hati yang
lebam dan membiru. Ini untuk kesekian kali dia pulang dari bertemu
kekasih dalam keadaan berkelahi.
Baru saja dia sampai di depan
rumah dan hendak memegang daun pintu yang berlapis logam alumunium,
tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara adzan dari arah barat. Seketika
cairan hangat berwarna bening di pelupuk matanya tumpah, tak mampu
terbendung. Tidak, kali ini Aisyah tak kuat lagi.
“Ya Allah, aku lelah dengan semua ini. Aku ingin pulang. Aku ingin
kembali kepadaMu. Aku telah pergi terlalu jauh, semakin jauh dariMu” dia
kini menjerit dalam hati yang merana. Namun hanya isak tangis yang
mampu terdengar pelan karena berusaha ditahan.
Sejujur tubuhnya terasa lemas. Kepalanya pusing, telapak tangannya
terasa dingin. Dia lalu mengambil beberapa langkah gontai menuju kamar
mandi.
Gemericik air mulai terdengar.
Air wudhu itu kini mengalir membasahi tubuh Aisyah. Kening yang lama tak
mencium sajadah kini mulai sujud menyembah Allah. Di saat seperti ini
tubuhnya terasa kaku. Dirinya terasa bagaikan debu.
Ya Tuhanku, aku bukan siapa-siapa di mataMu. Bisikan itu terdengar jauh
dari dalam hatinya. Ya, suara hati yang sekian lama tak pernah berucap.
Dia kini bercerita, mengadu, berkeluh kesah kepada Tuhan-nya, Allah.
Sajadah itu kini mulai basah karena air mata Aisyah yang tumpah. Dia
kini terisak, menangis, tersedu-sedu.
Segala memori silam seperti
terputar kembali. Flashback tentang semua hal yang terjadi dalam
hidupnya. Dia kembali teringat di masa saat Nanda belum membubuhkan
benih-benih yang disebut cinta. Dia teringat saat dirinya bebas bergaul
dengan siapa saja. Dia teringat saat warna merah muda dan film Barbie
menjadi kesukaannya. Walaupun itu terlalu kekanak-kanakan. Bukan seperti
dirinya saat ini yang ‘terpaksa’ menyukai warna biru dan segala jenis
film action yang menurutnya sama sekali tak ada bagus-bagusnya. Dia juga
teringat saat IPK di atas 3 selalu menjadi nilai akhir di setiap
semesternya. Tetapi sekarang? Nilainya sungguh merosot tajam. Semua hal
baik dimasa lalu harus dibiarkan padam hanya demi sesosok lelaki tampan.
Aisyah kini menangis
sejadi-jadinya ketika mengingat semua hal buruk yang menimpa hidupnya.
Jadi ini salah siapa? Dia kini menyadari bahwa kehadiran Nanda hanya
akan memperburuk keadaan, hanya akan menghambat masa depan. Bahkan
dialah tersangka dari semua ini. Aisyah menyadari ini tak sebanding.
Antara apa yang dia berikan dan yang justru dia dapatkan.
Tiba-tiba suara hatinya
terdengar. Berontak, menjerit dalam diam. “Aku harus berubah! Aku harus
kembali seperti Aisyah yang dulu” dan saat itu, di satu waktu, Allah
masih setia mendengarkannya mengadu.
“Apa yang pantas aku pertahankan
dari pacar posesif kayak gitu? Aku merasa bodoh sekali selama ini. Mau
dijadikan manekin yang harus selalu patuh dengan segala perintah.
Padahal dia sama sekali tidak menyumbangkan hal baik dalam hidupku.
Hanya cinta semu yang justru menghanyutkan. Hanya menggantungkan asa
yang kini remuk tak berbentuk”
Aisyah seperti sedang menasehati diri sendiri. Menyadari apa yang selama
ini dilakukannya salah. Menyadari bahwa cinta bukan semata mengikuti
kemauan si dia. bukan juga menjadi orang lain dan rela kehilangan jati
diri.
“Aku harus berubah. Layaknya sebuah ulat yang bermetamorfosis menjadi
kupu-kupu. Kenangan-kenangan masa indahku yang sempat terkubur harus aku
gali kembali. Jati diri yang sempat hilang harus aku raih lagi. Masa
lalu yang kelam bersama lelaki itu harus segera aku tinggalkan. Karena
cinta seharusnya saling
mendukung, bukan semata mengikuti kemauan salah satu pihak dan
mengekang yang lainnya. Sama sekali bukan simbiosis parasitisme
melainkan mutualisme” seperti mendapat semangat baru. Kini Aisyah tau
bahwa dirinya yang dulu telah kembali, bahkan bermetamorfosis menjadi
pribadi yang lebih kuat dan tegar untuk memperbaiki diri dan belajar
dari masa lalu yang kelabu. Tekad Aisyah sudah bulat. Hubungan yang
selama ini telah dijalin bersama Nanda akan segera dia putuskan esok.
Tak perlu lagi membuang waktu untuk lelaki yang tak bisa menghargai
perempuan yang mencintainya. Jangan biarkan cinta membodohimu.
Ketika kamu merasa tak ada seorangpun yang mau mendengarkanmu
Sesungguhnya Allah adalah tempat terbaik untuk mengadu
Ketika kamu merasa tak ada lagi tempat untuk pulang
Sesungguhnya Allah akan selalu senang menerima dirimu untuk kembali datang
Ketika kamu merasa masalah sangat menyiksa
Sesungguhnya Allah akan selalu menjamah setiap doa hambaNya
Bagi mereka yang mau menengadahkan tangan, mengikhlaskan jiwa, untuk mendekatkan diri pada sang Pencipta.
Kedua telapak tangan Aisyah yang
sedari tadi menengadah ke langit tuk memohon kepada sang Khaliq, mulai
diusapkan ke wajah sambil berkata ‘amin’.
Dia tau, kini pemikirannya telah kembali jernih. Perempuan itu lalu
tersenyum bahagia dan berterima kasih kepada Tuhan-nya, Allah SWT, sang
maha penyayang atas segalanya. Dia sekarang merasa jauh lebih tenang.
Seharusnya pinta Tuhanmu-lah yang selalu kamu turuti. Bukan malah
kekasih duniawi yang diijinkanNya untuk mengisi hidupmu saat ini.
Ingatlah ungkapan klise yang mengatakan ‘Pacarmu belum tentu Jodohmu’