Aku tak tau ini
harus ku sebut sebagai apa. Aku gundah, aku seperti akan melemah. Tapi
aku tak butuh dia kasihani. Aku ingin tetap merasakan ini, walau rasanya
harus pahit. Berlama-lama pun aku merasakannya, aku akan tetap
tersenyum walau sedikit memaksa. Biarkan aku berjalan di jalanku
sendiri, tak perlu kau paksaan sedemikian kekehnya. Karena aku akan
tetap melangkah sembari menekan lukaku yang semakin berdarah.
“Malaaa…” Godanya dengan genit.
“Emmh… Apa?” aku menyambut sapaannya dengan jutek.
“mengapa wajahmu murung?” tanyanya dengan nada kesal.
Dan aku pun tak menjawab apa-apa.
Sebagian besar hatiku dikuasai
oleh rasa cemburu yang tak bertuan. Aku lelah sesungguhnya namun bukan
ini yang akan menghancurkan seluruh mimpiku. Aku telah terlukai dengan
tanpa sadarnya, tapi hatiku masih tergenggam olehnya. Kerap kali aku
memandanginya dengan sengaja berharap ia juga melihatku, namun di saat
itulah ia mengabaikanku. Luruh, hancur tak berbentuk, begitulah cara ia
memperlakukan hatiku. “Aku masih merasa gelap, lenteraku redup tertiup
badai kemarahanku sendiri” lirihku sembari menahan tangisku.
Aku yang berparas tak cukup
cantik pun merasa tak sanggup memalingkan perhatiannya dari apapun yang
mengancam keberadaanku. Dari sudut pandang teman-temanku, wanita itu
tidak bisa dibandingkan denganku yang ku anggap aku hanya wanita
biasa-biasa saja dibandingkan wanita itu. Cantik, berkulit putih dan
bertutur kata lembut. Sedangkan aku? Aku cuek dan tak pernah
memperdulikan penampilanku. Bahkan banyak yang bilang sifatku keras dan
mudah marah.
Aku tak bisa menyebut wanita itu
sebagai sainganku, wanita yang akrab dipanggil renia itu sering
membuatku merasa iri. Aku iri dengan kemampuan tarinya yang gemulai dan
gerakannya yang indah.
“Apakah tidak apa-apa jika aku terus berharap?” tanyaku pada salah seorang temanku yang akrab ku panggil dengan sebutan mayat.
“Tidak ada yang salah Kumala.. hanya kau harus semakin bersabar menghadapinya dan menjaga perasaanmu” jawab maya dengan lembut.
“Bagaimana dengan wanita itu?”
“Wanita itu bukan penghalang, kau
mampu melewatknnya tanpa harus merasa menang!” aku semakin bingung
dengan jawaban maya yang mengandung teka-teki yang tak ku mengerti.
—
Semua semakin terasa jauh. Aku
pun semakin jauh tersorok dalam relung kasihnya. Berkatnya aku nyaris
melupakan apa yang menjadi tujuanku. ia memang bukan penghalang, namun
dialah benteng yang membatasi waktuku untuk bermimpi lagi.
Suatu ketika, aku pernah menangis
karenanya. Laki-laki berkulit gelap berambut keriting namun bermata
indah itulah yang membuatku kalut. Aku tak ingin menangis, tapi hatiku
terluka.
Ketika seroja kembali layu, harumnya tak lagi ku cium. Indahnya tak lagi ku lihat dan aku pun terkulai sepertinya. Dia
tau yang ku rasakan, dia tau aku cemburu ketika melihatnya selalu
bersama dengan renia. Begitupun bodohnya aku, terlalu mengakui sebab
dari kegalauanku.
Ku renungi sesaat apa yang pernah ia katakan padaku. “Kau Indah, harum mu menyebar bak seroja berkembang. Jangan lagi kau tutupi keindahanmu dengan wajah murung mu Kumala..!”
Benar-benar indah terdengar bukan? Ya, aku pun pasti terbuai oleh kata-katanya.
Aku, semakin dalam terjatuh oleh
pesonanya. Aku, mulai merasakan kenyamanan tinggal dalam relung hatinya.
namun, Kena yang bukan secara kebetulan adalah teman, sahabat, keluarga
ku di sanggar seni tempat kami kuliah. Pria yang menjunjung tinggi profesionalitas, yang tak ingin suatu hal hancur hanya karena kepentingan pribadinya.
Aku bahagia dengan hal itu, namun aku hancur dengan cintaku. Buaian asmara yang melambungkanku, kinilah yang menghempaskanku jauh dari bayanganku untuk bersamanya.
“Bukan. Aku tak pernah membencimu kena” Ucapku halus.
“Lalu, apa yang kau fikirkan?”
“Kau tak mengerti aku”
“Aku takkan pernah mengerti jika kau terus diam dan memusuhiku” Ucapnya tegas namun tetap lembut.
“Aku cemburu kena” Jawabku lirih seraya menundukkan kepalaku.
“Apapun alasannya, cemburu pun kau. kau tak perlu bersikap seperti itu”
“Tapi kau tak mengerti, aku menyayangimu kena. Tapi bukan sebagai sahabat” Keluhku dalam hati.
Lagi-lagi aku terdiam dan tak
mampu lagi menatap wajanya. Dia terus menatap ku dengan tatapan
kebencian atau apapun itu, yang jelas aku merasa sakit melihatnya. “Aku
seperti menemukan keluarga baru di sini, dan aku menyayangi kalian
semua” kata-katanya terpotong sesaat.
Aku masih terdiam, berharap ia melanjutkan kalimatnya.
“Kumala..”
Suara lembutnya berhasil membuatku mengadahkan kepalaku ke arahnya.
“Ku mohon jangan seperti ini lagi” sambungnya dengan nada memelas.
“Maksudmu kena??”
“Ku mohon jangan murung lagi. Ku mohon jangan pernah ungkit masalah ini lagi”
“Tapi menahan perasaan itu sakit?” keluhku penuh kesedihan.
“Aku tau”
“Kau tau apa kena?”
“Aku tau segalanya. Aku hanya tak
ingin semuanya menjadi berantakan, aku tak ingin jika suatu saat nanti
aku akan pergi menghindar dan menjauhimu hanya karena masalah ini mala”
Aku seperti di lempar batu besar.
Sakitnya nyaris tak sanggup membuatku menangis. Terlalu perih dan
menyakitkan. Dengan jawabannya, ku simpulkan bahwa ia telah menolakku
secara tidak langsung. “Terjadi lagi? Tapi mengapa harus dengan kau
kribo?” lirihku dalam hati sambil terus menahan kepedihan yang terpendam
dalam hatiku.
Setelah kejadian itu, meskipun mencoba untuk bersikap biasa terlihat jelas bahwa telah ada dinding pembatas antara
aku dan kena. Canggung, kami selalu terlihat seperti itu setiap kali
bertemu. Meskipun kami berhasil mengelabuhi teman-teman kami, tapi itu
tak berarti di depan maya yang mengetahui apa yang telah terjadi antara
aku dan kena sejak awal.
“Aku harap kau tak jadi putus semangat karena ini kumala” Ucap maya sembari mengusap pundakku.
Dan aku hanya membalas dengan senyum pahitku.
“Jangan pernah putuskan tali silaturami antara kalian berdua mala” Lanjut maya penuh perhatian.
Setiap kali berpapasan dengan kena saat di luar,
aku selalu mencoba untuk bersikap hangat dan biasa saja dengannya.
Namun tetap saja, dinding pembatas itu belum runtuh. Bahkan aku terlihat
seperti terabaikan olenya. Dia seperti menghindariku, dia seperti
menjauh dariku. Dan memang salahku, mengapa harus ku jatuhkan hatiku
padanya.
Biarlah pelangi datang setelah hujan, seroja berkembang setelah layu, mentari
bersinar setelah malam. Dan aku bermimpi setelah terjaga. Berlari
mengejar yang ku ingini. Biar dia tetap menjadi dirinya, dan aku tetap
menunggunya sambil mencoba menyembuhkan luka sayatan yang ku buat
sendiri.
Meski harus berjarak, namun percayalah. Suatu saat aku akan
meruntuhkannya. Kan ku bangun kembali kehangatan di antara kami. Walau
akan lama, tapi hakikatnya kumbang kan menghampiri bunga pilihannya.
Jika diam akan membuatmu bertahan
Maka selamanya aku akan bungkam
Jika dengan tangisku kau tetap tersenyum
Maka selamanya akan ku sayati hatiku
Ini hanyalah sajak terurai
Yang memaknai hadirmu dengan tali kasih yang menjadi tirai
Bukan tentang aku yang senantiasa menggilaimu
Namun ini hatimu yang selalu mengintaiku
Berharap hadirnya pelangi di malam hari
kini ku juga menjadi bunga yang bermimipi
tidak bagimu yang menganggapku kelabu
yang tak terlihat biasnya oleh kasat matamu
Seroja Kumala
06.24 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar