Diberdayakan oleh Blogger.

Terserah

“Jadi, apa maumu? Sekarang terserah kamu, keputusan ada di tanganmu”. Pertanyaannya sontak membuatku bahagia namun ada pula rasa takut, rasa takut yang selama ini menghantui. Karena pacarku itu selalu nekad. Jika ia merasa kecewa dan sakit hati, ia bisa saja menyakiti dirinya sendiri dengan benda tajam, bahkan bunuh diri pun tidak menjadi mustahil. Ngeri memang.
“Devi, jawab aku!” beberapa pesan yang sama tertera pada layar elektronik yang selama beberapa jam kupegang, namun tak kubalas. Semua ini berawal ketika ia menginginkan suatu hal yang besar.
Pada hari itu hari Sabtu. Selepas pulang sekolah, aku biasa berkumpul dengan anak-anak PASKIBRA. “Nisa, ayo kita kumpul anak-anak sudah menunggu, sebentar lagi latihan dimulai”. Dengan penuh semangat, ia segera menghampiriku dan berjalan menuju sanggar PASKIBRA yang hanya berukuran 2 x 3 meter, tapi menurut kami walaupun sanggar kami kecil kami anggap sebagai rumah kedua kami, tempat berkumpul yang sangat menyenangkan.
“Dev, siapkan anak-anak ke lapangan!”
“Siap laksanakan!”. Dengan tegas aku mematuhi perintah pelatihku. Dengan beranggotakan dua puluh orang aku siapkan pasukan. “Latihan hari ini akan ditingkatkan, karena kita akan mengikuti lomba PASKIBRA antar SMA dan SMP se-Jawa Barat yang dilaksanakan di Majalaya tanggal 25 Desember, persiapan kita hanya satu bulan, jadi akang harap kalian serius dan sungguh-sungguh dalam latihan, mengerti?”, “Siap mengerti!!”. Mendengar pengumuman dari pelatihku membuat aku malas latihan, karena waktu latihan akan semakin lama dan bisa saja sampai sore. Tapi beda lagi dengan Nisa, dia tampak bersemangat dengan senyum simetris di bibirnya. Setelah satu jam kami latihan tiada henti di atas terik matahari yang menyengat dan alas beton lapangan basket yang sangat panas, akhirnya waktu istirahat telah tiba. Kerongkonganku yang kering karena menahan haus, akhirnya tersegarkan oleh sebotol air.
Saat sedang istirahat, aku melihat seorang perempuan yang berjalan dengan temannya, ternyata dia adalah orang yang pernah mengisi hatiku, Astri. Hubungan kami cukup singkat, hanya satu bulan. Aku kaget karena Astri melihatku dengan senyuman manisnya, kubalas dengan senyuman juga, senyuman yang terbaik tentunya. Jantungku berdegup kencang, Astri melambai-lambai padaku, aku hanya diam terpaku, ada apa denganku? Apa yang salah denganku? Ia terus melambai-lambai, aku hanya tersenyum, dan … dan… ah rasa berbunga-bunga dalam hatiku menjadi hancur seketika, ternyata ia melambai dan tersenyum kepada temannya. Haaaah… untungnya aku tidak membalas dengan lambaian, jika aku melakukannya mungkin aku akan meminjam muka orang lain agar orang mengira bukan aku yang melambai.
“Baik anak-anak, istirahat selesai! Buat barisan tiga shaf, dalam hitungan lima harus sudah rapi!”. Dengan gesa-gesa kami merapikan barisan, tentunya sebelum hitungan lima. Kalau lebih, mungkin kami akan di-banding (baca: bending), lari mengelilngi lapangan atau push-up. Latihan berlanjut kembali, kali ini dengan materi baru, gerakan haluan dan melintang. Gerakan ini memang sangat sulit, butuh kekompakkan yang kuat.
Setengah lima sore akhirnya latihan usai, “akang lihat latihan kedua ada peningkatan namun ada juga yang melakukan kesalahan”. Evaluasi memang diperlukan guna mengukur seberapa bagus gerakan kami. “Besok hari Minggu kita latihan kembali, karena jumlah kalian banyak maka akang adakan seleksi, akang akan memilih lima belas orang terbaik di antara kalian dan satu orang sebagai danton, jadi tunjukkanlah yang terbaik!”. Mendengar itu, aku menjadi senakin malas, tapi apa boleh buat. Tapi teman-temanku yang lain tampak bersemangat apalagi perempuan.
Waktu pulang akhirnya tiba, sekitar jam lima sore aku mengantarkan pacarku ke rumahnya dengan motor CS one, tentunya bukan motor milikku, tapi milik Nisa. Ya, memang setiap hari aku melakukan ini. Awalnya tidak keberatan, tapi lama-lama memberatkanku, setiap hari aku harus antar jemput. Rumahnya tidak terlalu dekat, mungkin 20 km atau 30 km, tepatnya di Pasanggrahan kecamatan Ibun, Paseh.
“Tadi latihan yang melelahkan”.
“Iya, sampai-sampai keringatku tidak keluar-keluar”.
“Apa? Kau tidak merasa cape, Ca?”.
“Secara fisik, aku lelah. Tapi dengan rasa semangat rasa cape jadi hilang”. Aku diam sesaat.
“Dev, aku ingin membahagiakan orangtuaku, ini kesempatanku. Jika aku lolos seleksi dan menang dalam lomba, mamahku pasti akan bangga”.
“Aku mendukungmu”.
“Terima kasih Dev”. Niatnya memang baik, membahagiakan orangtua, aku sangat mendukungnya.
Hujan turun dengan deras ketika kami baru sampai di Lampegan. Angin kencang membuatku menggigil kedinginan.
Ca, mau berteduh?”
“Terus saja, tanggung sebentar lagi sampai”. Mendengar ucapan itu, aku langsung tancap gas sekencang-kencangnya, ia memegang pinggangku dengan erat. Meski dingin tapi apa boleh buat, kami harus segera berteduh agar kesehatan kami tidak terganggu.
“Ca, kita sudah sampai”. Akhirnya kami sampai setelah selesai kumandang adzan maghrib. Aku disuruh ke rumahnya untuk mengeringkan diri karena kami berdua basah kuyup. “Jangan dulu pulang, kita shalat dulu”. Setelah shalat berjamaah, aku disuguhi secangkir teh hangat. “Eh, gak usah mah, jangan repot-repot”. Ibunya Nisa memang baik padaku, kata Nisa aku sudah dianggap anggota keluarga. Tapi, aku merasa malu kepada ibunya. “Srrruuup” aaaah… rasanya nikmat sekali meminum teh hangat saat kedinginan sambil menonton TV.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh, aku segera pamitan kepada orang tua Nisa, dan tentunya aku pulang naik motor CS one, ayahnya mengizinkanku, tapi besok aku harus menjemput Nisa.
“Hati dua ya Dev”. Aku mengangguk tersenyum. Dengan kecepatan pelan aku mulai pulang. Aku memilih jalan pintas, karena di Majalaya pasti banjir. Aku terpaksa memilih jalan pintas, karena aku takut dengan jalannya yang gelap dan sepi. “Bismillahirahmanirrahim”. Aku mulai memasuki jalannya semoga tidak terjadi apa-apa. Tapi perasaanku tidak enak, aku merasakan sesuatu yang aneh ketika melewati kebun bambu. Ketika menoleh ke samping aku melihat orang yang memakai baju berwarna putih. “Astaghfirullah!!!” dengan refleks aku memutar tuas gas penuh sampai-sampai hampir ‘jemping’. Aku semakin takut. Aku berusaha melupakan apa yang terjadi. Akhirnya aku sampai di jalan raya. Lega rasanya.
Dengan waktu setengah jam aku sudah sampai di rumah, setelah shalat aku merebahkan badanku di atas kasur yang tidak terlalu empuk. Hari yang melelahkan.
“Eh, hai Astri ada apa?” Astri hanya tersenyum dan ia berjalan ke belekang, mungkin aku harus mengikutinya. Lalu ia menunjuk ke suatu tempat. Aku menoleh. “Astaghfirullah! Siapa itu?” Astri hanya tersenyum manis. Aku kaget dengan pemandangan yang mengerikan ini. “Astri, mau ke mana? Astri tunggu! Astri…!!!”
“Assolatukhairum minannauuum…” ah, itu ternyata hanya mimpi. Mimpi yang aneh. Aku segera bangkit dan mengambil air wudlu.
Pukul setengah tujuh aku berangkat menjempt Nisa, pukul delapan aku sudah sampai. Lalu kami berangkat ke sekolah untuk latihan. Pukul sembilan kami sudah sampai.
“Kenapa Ca? Kamu tidak apa-apa?” geleng kepala. Nampaknya ia sakit dan asmanya kambuh lagi.
“Pusing?”. “Sedikit”.
“jangan memaksakan diri”.
“tidak apa-apa”. Memang pacarku itu keras kepala, kalau bilang A ya harus A.
“Siap gerak!! oke, hari ini adalah penentu kalian. Yang ditepuk bahunya, segera memisahkan diri, mengerti?”, “siap mengerti!!”.
Seleksi pun dimulai, satu demi satu temanku memisahkan diri dan kulihat sudah empat belas orang, tinggal satu orang lagi. Kulirik ternyata Nisa belum terpilih, dan kulihat wajahnya bercucuran keringat menahan rasa pusing. Aku tidak percaya ternyata aku terpilih dalam pasukan. Kulihat bibir Nisa mulai turun.
“Istirahat di tempat gerak! Lemaskan!!”
“Terima kasih!” akhirnya latihan usai.
“Akang sudah tentukan orang-orangnya, bagi yang belum terpilih jangan berkecil hati, masih ada event-event lomba yang lain”. Kulihat Nisa sedang menundukkan kepala, ia merasa sedih. Sampai latihan usai, ia tidak berbicara sedikitpun. Dalam perjalanan pulang pun ia hanya diam. “Sudahlah Ca, mungkin belum saatnya, lain waktu kamu pasti bisa”. Ia menangis, sepanjang jalan pulang ia terus menangis. Berusaha menghiburnya, ia tetap menangis. Jam dua belas kami sampai di rumahnya, masih menangis.
“Ca..”, “pergilah!!” , “Ke.. kenapa?”
“Cepat pergi, kau penghianat!!” aku kaget dan mengkerutkan keningku.
“Mengapa kau terpilih, sedang aku tidak. Aku sudah berusaha sekuat tenaga, tapi kau merebutnya”
“Bukan seperti i..”
“Pergi! Semuanya kacau, kesempatanku hilang”, “bukan maksudku seperti itu”
“Pergi! Aku muak melihatmu!” dengan terpaksa aku pergi. “Kau dan aku jauh berbeda, aku rendahan yang patut dicaci maki”. Ia terus menghina dirinya sendiri ketika aku berjalan keluar. Ada apa ini? Mengapa ia tega menuduhku? Ia mungkin sedang sedih. Aku pulang naik angkot.
Sesampainya di rumah aku sangat letih sekali dan tanpa kusadar aku tertidur sampai jam empat sore. Malamnya ia menelponku. “Hai Dev, kini kau berhasil, aku sudah gagal, memang aku sangat bodoh” aku hanya diam. “Semua harapanku usai sudah, kesempatanku tidak ada lagi”.
“Jangan berkata seperti itu Ca”.
“Benar, kan?” tiba-tiba sambungannya putus. Tapi ia mengirim pesan SMS. “Sekarang aku sudah tidak punya apa-apa, hidupku sudah tidak berguna lagi, buat apa aku hidup. Aku tidak kuat lagi, lebih baik aku mati sekalian. Aku menelpon balik, tapi nomornya tidak aktif. Aku mulai panik. Ada apa dengannya? Tiap menit aku menelponnya tapi apa daya, semuanya sia-sia, sampai aku lelah dan tertidur sekitar jam satu malam.
Esoknya aku tidak tahu apakah Nisa sekolah atau tidak. Saat waktu istirahat aku tidak sempat menemuinya, karena tugas yang menumpuk. Tapi saat aku belajar Matematika, Nisa mengirimkan pesan. “Aku di sanggar, mencari pisau. Aku sudah tidak berguna lagi”. Kali ini ia benar-benar nekad, aku panik, sangat panik. Terpaksa aku izin ke guruku. Aku beerlari cepat ke sanggar dengan rasa takut dan panik. Kubuka pintu, ternyata susah, dengan sekuat tenaga kudobrak pintu itu. Aku kaget di hadapanku terlihat Nisa sedang memegang pisau tajam. Kejadian ini sama persis dengan mimpiku kemarin malam yang ditunjukkan oleh Astri.
“Apa yang kau lakukan?” aku segera menghalangnya dan berusaha mengambil pisau itu.
“Lepaskan! Biarkan aku mati!” akhirnya aku berhasil melepasnya dan melempar pisau itu ke sudut ruangan. Aku menahan kedua tangannnya karena pasti ia akan melukai dirinya sendiri dengan kuku tajam itu.
“Lepaskan dasar bodoh!”
“Mengapa kau lakukan ini?”
“Semuanya sudah hancur, buat apa aku hidup jika tidak ada yang mengerti dan mempedulikanku”
“Aku peduli padamu”
“Omong kosong! Jika kau peduli padaku, kau mengerti perasaanku”
“Aku mengerti kamu, kamu kecewa terhadap semuanya, kan?”
“Sudah kuduga kau tidak mengerti kepadaku. Lepaskan! Aku mau mati!!” aku semakin panik, rasa takut, sedih, dan kesal semuanya campur aduk. Apa yang harus kulakukan? Ya Allah aku mohon pertolongan-Mu
“Ada apa ini? Dev, kenapa Nisa?” seseorang masuk.
“Tuh, pacaran saja dengan Windi, kalau denganku hidupmu tidak akan bahagia, aku sangat berbeda denganmu bagai air dan minyak yang tak mungkin bersatu. Kamu peernah suka pada Windi, kan?”
“Apa yang kau bicarakan Ca?” Windi bingung.
“Kau sama saja dengan dia! Kau adalah sahabatku, mengapa kau menghianatiku?”
“Apa yang…”
“kau tidak memberi kesempatan untuk mengikuti lomba itu, gara-gara kalian semua harapanku hancur!”. Nisa semakin meronta-ronta, aku sudah lemas manahan tangannya. Selama di ruanagan itu, ia terus menyalahkan orang lain dan terus berusaha melukai dirinya sendiri. Setelah ia lelah, dia tertidur. Aku dan Windi menemaninya. Saat bel pulang berbunyi ia terbangun
“Kau tidak apa-apa Ca?”
“Ayo kita pulang” tanpa basa-basi aku langung persiapan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang, tak sepatah kata pun ia ucapkan. Sesampainya di rumah, ia langsung mengurung diri di kamar dan mengunci pintu. “kau boleh pergi sekarang”. Tanpa menjawab aku langsung pulang. Entah akan terjadi apa selanjutnya. Tiba-tiba ada SMS dari Windi, “besok kumpul, latihan kembali”.
Esoknya setelah bel pulang kami kumpul kembali. Kulihat Nisa masih menampakkan wajahnya dengan raut muka yang sedih, mungkin rasa sakitnya belum hilang.
“Ada perubahan rencana. Dikarenakan jumlah putra lebih sedikit, maka akang putuskan semua yang mengikuti lomba adalah putri semua.” Mendengar itu, hatiku senang dan lega, Nisa pun juga ikut senang.
Hari demi hari ia senang dan bersemangat untuk latihan. Tapi, Nisa tidak lupa dengan kekecewaannya. Ia terus mengungkit-ngungkit kembali dan terus menyalahkanku, beberapa kali minta maaf ia tidak merespon. Demi menebus kesalahanku, aku menuruti apa yang diinginkannya. Mulai dari jajan, antar jemput, nonton bioskop, dan lain-lain. Hari demi hari keegoisannya semakin tinggi. Aku sudah tidak tahan dengan semua ini.
Saat kelas XII, komunikasi di antara kami sangat jarang, bertemu pun tidak sempat, sampai pada suatu saat,
“kau akan mengantarkanku?”
“Maaf Ca aku tidak bisa, aku dilarang pulang malam”
“Aku sedang tidak enak badan”
“Maaf Ca bukannya aku…”
“ya sudahlah, kalau kau mau aku celaka”. Lagi-lagi kata-kata itu, tapi aku sudah tak pedulli, sekarang aku tahu triknya, ia hanya mengancam saja. Toh bila kubiarkan, ia tidak akan terjadi apa-apa. Apakah aku bodoh? Atau aku dibodohi?
Mulai sejak itu, ia marah padaku. Ia seperti tidak kenal padaku. Biarlah. Hubungan kami semakin memburuk. Suatu hari aku membuka akun Facebook-ku, karena aku sudah lama tidak membuka. Kulihat status Nisa:
“Aku yang dulu bukan yang sekarang, aku rindu kamu.. dari dulu aku mencarimu, aku sudah tak sabar bertemu denganmu, S_nd_”
Snd? Sandy maksudnya? Oh, ternyata ia mau balikan dengan mantan yang dulu, tak apalah mungkin dia sudah tidak mencintaiku lagi.
“Putuskan saja dia, Dev. Buat apa menjalani hubungan seperti ini” teman sebangkuku itu memberi saran ketika dia mendengar semua curhatku.
“Tapi aku takut, Fad, dia selalu nekad, bahkan kalau dia sakit hati dia akan…”
“Bunuh diri?”
“Kenapa kau tahu?”
“Dulu, aku tak sengaja membaca SMS Nisa”
“oh, tidak apa-apa”. Saran yang sama dari setiap teman dekatku, terbesit untuk memutuskan hubunganku dengan Nisa.
Setiap malam aku memohon petunjuk-Nya.
“Eh hai Astri”
“Kemarilah”. Aku menurutinya, ia membawaku ke suatu tempat. Astri mengajakku duduk, duduk bersama di bawah pohon yang rindang yang di depannya terdapat alirann sungai yang tenang, membentuk sebuah simfoni, lalu ia berkata, “Yakinilah apa kata hatimu, percayalah kesusahan itu tidak akan selamanya, seperti selepas malam datangnya siang. Kebahagiaan pasti akan datang Dev”
“Apa maksudmu?”
“Percayalah”. Ia lalu bangkit dari duduknya.
“Astri, tunggu aku… kau mau ke mana?”
BRAG!!! Aduh, sakit rasanya jatuh dari keranjangku, rupanya mimpi kembali. Apa maksud mimpiku itu? Entahlah.
Di sekolah, perasaanku mulai berubah. Perasaanku mulai tertuju pada Astri, walaupun hanya mimpi, tapi aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda ketika aku bertemu dengannya. Mungkinkah ini Cinta? Ah aku semakin ngaco.
“Devi, jawab aku!! Mengapa kau tak jawab”. Ah, aku kaget dengan getaran HP-ku. Huh, aku baru tersadar, aku melamun sampai dua puluh menit.
“Jadi, bagaimana Dev?” dengan memberanikan diri ku kirim SMS :
Terserah kali ini, sungguh aku takkan peduli..
Ku tak sanggup lagi jalani cinta denganmu..
Biarkan ku sendiri, tanpa bayang-bayangmu lagi..
Ku tak sanggup lagi.. mulai kini semua.. TERSERAH.
Lalu Nisa membalas, “YA!!!”



TAMAT

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar