Diberdayakan oleh Blogger.

Satu Hati di Titik Terakhir

“tak pernah aku membuka hatiku untuk satu orang yang benar-benar tulus untukku, dapatkah aku mendapatkan satu hati itu di hari-hariku yang kusam dan tak berwarna ini. Satu hati saja yang dapat menbuka rasaku di titik terakhir ini.”
“sebaiknya kita sampai disini saja.” Ujar Nada dengan nada bicara yang pasrah dengan keadaan.
“baiklah, jika itu yang kamu inginkan aku akan turuti hal itu. Kita putus!” sahut Damar dengan santainya.
“satu hal lagi, bisakah kita melupakan dan mulai hari yang baru?” ucap Nada
“dengan senang hati, kenangan selama 6 tahun bagiku hanya hamparan debu yang akan hilang dari benakku.” Ujar Damar.
Saat itu Nada hanya bisa terdiam menutup matanya, air matanya berlinang dalam hatinya dan pipinya. Ia tak sanggup menahan apa yang seharusnya ia alami, harus berada jauh dengan orang yang begitu menghangatkan hatinya selama 6 tahun.
Namun bayangan masa lalu itu membuat Nada menjadi pribadi yang tertutup dengan orang lain. Tak ada teman yang selalu bersamanya kecuali sebuah buku yang menemaninya dimanapun ia berada. Jarang sekali teman-teman kampus Nada yang melihat sekali saja sejak masuk kampus Nada tersenyum atau bergaul dengan orang lain, ia selalu bersama buku dan bolak-balik ke kelas jika ia ada kelas hari itu.
“Nad, kamu hari ini sibuk?” ujar seorang cowok yang berusaha mendekati Nada.
“maaf, jika kamu ingin mengajakku kencan, urungkan niatmu itu. Aku bukan seorang wanita yang kamu butuhkan.” Sahut Nada dengan nada yang lembut
“tapi mengapa? Salah kalau aku menyukaimu?” ucap cowok itu.
“suka? Bagaimana kamu bisa menentukan bahwa itu rasa suka?”
“puisi dan cerpenmu yang membawaku ingin masuk untuk mengenalmu.”
“itu bukan rasa suka padaku tapi pada karyaku.” Ucap Nada
Tanpa meneruskan kata-katanya, Nada langsung saja pergi meninggalkan cowok itu.
“tolong jangan kau jatuh pada hal sekecil ini.” ujar hati Nada
“Nada…, aku akan buktikan kalau aku bener suka sama kamu.” Teriak cowok itu.
Di lain sisi seorang cowok yang tampak menyaksikan adegan antara Nada dan cowok itu, namanya Raffi.
“jadi dia yang namanya Nada.” Ucap hati Raffi.
Dalam jalannya, Nada tak sengaja bertabrakan dengan Raffi, buku Nada semuanya terjatuh ke lantai. Dengan sigapnya Raffi segera membereskan dan merapikan buku-buku itu.
“maaf ya, aku nggak sengaja. Ini buku kamu.” Ucap Raffi meminta maaf
“setiap orang bertabrakan itu nggak ada yang sengaja kan.” Ujar ketus Nada
Raffi menatap Nada dengan pandangan aneh. Mata mereka seakan saling bertemu dan saling pandang satu sama lain, namun mata Nada menghindari pandangan itu, dan ia langsung menghindari diri Raffi. Berbeda dengan Raffi, ia merasakan hal aneh saat menatap Nada, ia merasakan tatapan saat bertemu pandangan pertama.
Perpustakaan adalah tempat dimana banyak mahasiswa-mahasiswi membaca atau mencari buku yang mereka inginkan. Disana terlihat Nada sibuk mencari buku, saat Nada tak sampai untuk mengambil buku yang berada jauh dari tingginya, tiba-tiba Raffi datang membantu mengambilkan buku tersebut. Nada terkejut dengan bantuan Raffi, ia hanya mengucapkan terima kasih dengan sikapnya yang kurang lembut terhadap seseorang.
“bisakah kamu bersikap lembut terhadap orang? Sebelum kamu pergi tataplah mata orang yang sedang kamu ajak bicara.”
“siapa kamu?” membalikkan badannya mendekati diri Raffi. “terima kasih atas kata-kata yang kamu lontarkan, tapi satu hal untuk kamu ketahui, tidak sopan mengomentari orang yang jelas belum kamu kenal.” Ujar Nada dengan santainya.
“memang kita belum saling kenal, kalau gitu gimana kalau kita saling kenal. Namaku Raffi, anak fakultas teknik.” Lontar Raffi dengan menuai senyuman pada Nada.
“maaf tapi aku tak berminat untuk berkenalan denganmu.” Sahut Nada dengan ketusnya.
“kenapa?” tanya Raffi terus mengorek Nada.
“bukan urusanmu.” Sahut Nada dengan berjalan menuju petugas perpustakaan.
Usai mencatat buku perpus, Nada segera keluar. Ia tak lagi memperdulikan Raffi yang ada di dalam perpustakaan. Namun di lain sisi Raffi terus saja memandang langkah kaki Nada keluar dari pintu perpustakaan tanpa berkedip sekalipun.
“aku jadi penasaran dengan dengannya. Ia berbeda dengan yang lainnya.” Ujar hati Raffi yang penasaran dengan pribadi Nada.
Keluar dari perpustakaan, ia beranjak ke parkiran untuk mengambil sepedanya. Dengan mengendarai sepeda ia menyusuri luasnya kampus, hari itu aktivitasnya di kamus telah selesai. keluar dari arena kampus, Nada menyempatkan untuk mampir ke toko bunga dekat kampus. Di sana ia membeli seikat bunga lili, usai itu ia pergi. Bersama dengan sepedanya Nada berhenti di tempat pemakaman umum, ia memarkir sepedanya di tempat parkir. Makam demi makam, Nada lewati mencari makam yang ia tuju. Sambil membawa ikat bunga lili, Nada memberhentikan langkahnya dan duduk berhadapan dengan makam itu. Menatap makam itu, tetes demi tetes air mata Nada mengalir deras membasahi pipinya.
“maaf aku tidak bisa seperti yang kamu inginkan, maaf… Aku tidak bisa sekuat itu. Aku manusia biasa, aku begitu lemah. Aku tidak bisa sekuat dirimu, seandainya kamu masih hidup, kamulah orang yang berarti untukku. Kamu tahu, mawar duri sudah mencabik-cabik hatiku. Hatiku penuh dengan kebohongan. Hati ini mencoba untuk bahagia tapi rasa tidak mampu melakukannya. Thanks atas semua yang kamu lakukan untukku dek. Aku rindu kamu, aku rindu keluarga sepertimu.” Ucap Nada menangisi makam itu.
“Nada… itu kamu?” terdengar suara mendekat, itu suara Damar mantan pacar Nada.
Perlahan Nada membalikkan badannya, sekejap mata Nada bertemu kembali dengan mata yang sudah lama ia tak menatapnya.
“kamu masih sering kesini, Nad?” tanya Damar dengan sikap mengharapkan sesuatu.
“nggak juga, aku hanya inget aja kalau hari ini ulang tahunnya. Oh ya aku harus pergi. Permisi.” Ujar Nada mencoba menghindar.
“tunggu…” ucap Damar dengan menahan tangan Nada.
Tanpa bicara atau mengeluarkan kata apapun, Damar langsung saja menarik tangan Nada dan memeluk Nada. Nada mencoba menolak tapi Damar tak mau melepaskannya.
“jujur Nad, aku rindu kamu. Sejak kita putus, aku ngerasa kehilangan, aku merasa orang yang selalu tersenyum untukku sudah tidak ada lagi.” Ujar Damar dengan suara isak tangisnya
Mendengar ucapan Damar, Nada kembali meneteskan air matanya.
“duka, suka dan penderitaan, jauh lebih sakit daripada harus mempertahankan cinta, yang tak bisa untuk dipertahankan. Damar, itu akan menyakiti hati kita sendiri jika ini terus dipertahankan. Jalan terbaik untuk kita menempuh jalan ini.” jelas Nada mencoba melepaskan pelukan Damar.
“kita masih bisa jadi teman kan?” tanya Damar.
“tentu.” Ujar Nada
“boleh aku mencium keningmu sebagai tanda awal kita?” pinta Damar.
Nada mengganggukkan kepalanya dan Damar mencium kening Nada dengan penuh perasaan.

“akhirnya harus ku relakan segalanya yang telah ku berikan juga semua kekuranganku, jujur, aku tak kuasa, saat terakhirku genggam tanganmu dan aku tak bisa melihatmu lagi. Untuk kali ini izinkan aku bisa bersamamu demi cinta yang telah bersemayam di dalam hatiku.”
“aku berjalan di dalam kesendirian karena cintaku, begitu dalam aku terjatuh karena kesalahan rasa ini. aku tak sanggup, aku tak bisa, aku tertatih tentang semua yang kita lewati selama ini.”
Nada menatap dalam tulisannya, ia mencoba membaca ulang dan rasanya kebingungan melanda dirinya dengan apa yang ia tulis barusan.
“wah, pahit juga kata-kata itu, Nad.” Terdengar suara Raffi yang tiba-tiba datang mengganggu Nada.
“kamu? Tunggu… tunggu… kamu tahu darimana namaku?” bingung Nada.
“siapa sih yang kenal seorang penyair dan penulis sepertimu, Nada Prawita Asmara.”
Nada merasa sangat kesal, ia membereskan barang-barangnya yang berserakan di atas meja dan pergi begitu saja. Raffi sempat menghentikan langkah kaki Nada.
“sebenarnya salah ya ada laki-laki yang mencoba mendekatimu?” tanya Raffi dengan seriusnya.
Nada tak berkata apapun, ia mencoba melepas pegangan tangan Raffi. Namun Raffi tetap kekeh tak mau melepaskan tangan malah ia menarik tangan Nada sehingga mata mereka sangat dekat untuk saling menatap. Jantung yang berdegup sangat kencang dan rasa gugup melanda diri Nada dan Raffi.
“lepaskan aku, aku bilang lepaskan!!!”
“ok aku tidak akan melukaimu, aku hanya ingin dekat denganmu itu saja. Salahkah?” sahut Raffi mencoba menjelaskan
“salah, aku tidak ingin dekat denganmu atau kenal denganmu. Itu jawabanku!” jawab Nada dengan tegas.
“kenapa? kamu takut, apa kamu pernah mengalami masalah cinta?”
“diam, apa kamu suka mencampuri urusan orang lain? Itu masalahku bukan masalahmu.” Jelas Nada.
“dengan atau tanpa persetujuanmu, aku tidak akan menyerah, Nada.” Ujar Raffi dengan tampang menunjukkan keseriusan.
Nada tetap saja menatap Raffi dengan tatapan ketidak sukaannya pada Raffi, ia melepas paksa tangannya dari genggaman Raffi dan langsung pergi dari hadapan Raffi.
“dengarkan aku Nad, aku akan terus mengejarmu!” teriak Raffi.
Nada tak ingin mendengar apapun, ia menutupi telinganya sambil berlari sekencang mungkin menghindar dari hadapan Raffi. Sekencang Nada berlari, perlahan ia terhenti, matanya seakan berkaca-kaca dan dadanya terasa sesak. Setetes air mata mulai menetesi pipi Nada.
“jangan… Jangan melangkah terlalu jauh, kamu akan menyesal!”
(di lain sisi)
“Nada, ini waktunya aku ingin buktikan ketulusnku untukmu.” Ujar Raffi

Kelap kelip lampu menyala di suasana malam, tampak Nada berjalan-jalan sendiri di troroar dengan raut wajah tak mengindahkan suasana malam itu. Malam itu, Nada terlihat sangat murung, setiap jalan yang ia telusuri terus saja ada lamunan mengiringi diri Nada sampai-sampai ia tak menyadari bahwa ia bertabrakan dengan pejalan kaki lainnya. Tiba-tiba pusing dan badan terasa lemas Nada rasakan di tengah-tengah jalannya, dan seketika Nada jatuh tak sadarkan diri. Waktu itu, Raffi juga berada di sekitar Nada berjalan, melihat Nada jatuh tak sadarkan diri ia segera membopong tubuh Nada menuju ke rumah sakit terdekat dengan rasa khawatir melanda dirinya.
“Nad, bertahanlah, aku akan membawamu ke rumah sakit.” Ujar Raffi penuh kegelisahan.
Sesampai di rumah sakit, pihak rumah sakit segera menangani Nada. Sedangkan Raffi menunggu di luar dengan rasa khawatir dan kegelisahan, ia terus mondar-mandir di depan ruang UGD tak sedetik pun ia selalu mencoba untuk mengintip. Tak lama dokter keluar dari ruang UGD dan menjelaskan semua pada Raffi, terlihat Raffi sangat shock dengan penjelasan dokter, ia merasakan tubuhnya serasa lemas.
Nada yang telah dipindahkan ke ruang perawatan, Raffi dengan setia berada di samping untuk menuggu Nada sadar.
“Nad, bertahun-tahun aku selalu berharap bisa bertatap muka denganmu, berbicara denganmu, bercanda gurau. Itu semua sudah menjadi nyata untukku, tapi melihatmu seperti ini mengacuhkanku, tak peduli padaku. Aku Raffi Nad, Raffi yang selalu ada menunggu hadirmu, aku disini.” Ujar Raffi dengan menggenggam erat tangan Nada.
“dimanapun kau berada disana aku tetap ada, aku janji.” Sambil menyentuh wajah Nada dan mencium kening Nada.
Keesokan harinya, Nada sudah sadar. Ia menyadari bahwa dirinya berada di rumah sakit dan ia melihat Raffi berada di dalam ruangannya sedang menyiapkan makanan untuk Nada.
“apa yang kamu lakukan disini?” tanya Nada
“kamu sudah sadar, ini… makanlah setelah itu kamu bisa minum obat.” Sahut Raffi sambil menyodorkan makanan untuk Nada.
“aku tidak butuh itu, aku tanya kenapa kamu ada disini?” tanya Nada dengan nada sedikit amarah.
“aku yang membawamu kemari, kemarin kamu pingsan di jalan.” Jelas Raffi.
“sekarang tugasmu sudah selesai, terima kasih atas bantuanmu. Sekarang kamu boleh pergi! Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Nada mencoba bangun dari tempatnya dan berjalan keluar, tapi di tengah itu ia jatuh, untung Raffi dengan sigapnya membantu Nada berjalan.
“kali ini saja, hilangkan egomu Nada.” Ujar Raffi
“aku bisa sendiri.” Sahut Nada berusaha berdiri sendiri.
Tanpa ada persetujuan Nada, Raffi menggendong Nada ke tempat tidurnya.
“kamu sedang tak sehat, istirahatlah.” Tutur Raffi.
Raffi mengurus Nada dengan penuh ketulusan sampai Nada sembuh dari sakitnya, tapi itu tak membuat Nada luluh ia tetap saja bersikap cuek dan tak mau tahu apa yang dilakukan Raffi. Setiap hari Raffi selalu mengunjungi Nada ke rumah sakit dan membawa makanan yang Nada sukai. Hari itu, saat Raffi akan masuk ke ruang rawat Nada, ia mendengar isak tangis Nada di dalam, Raffi mengintip dari balik pintu dan melihat kondisi Nada. Raffi melihat tangisan yang tidak biasa ia lihat dari Nada, tubuh Nada gemetar bersamaan air mata yang terus mengalir dari matanya.
“aku akan selalu mendoakanmu, semoga kamu bahagia.” Ujar Nada bersama rasa kecewa dan hati yang hancur.
Saat itu juga Nada beranjak dari tempat tidurnya, bergegas keluar dari ruangan tersebut dengan berpakaian sangat rapi. Nada berlari sekencangnya tanpa ia menyadari ada Raffi di balik pintu. Raffi tetap setia, ia mengikuti perginya langkah Nada tanpa mengalihkan pandangannya untuk Nada. Cinta Raffi benar-benar tulus untuk Nada.
Langkah Nada terhenti di depan gedung yang berhias sangat indah, di dalam gedung itu sedang terlaksana acara pertunangan. Perlahan-lahan Nada masuk ke dalam gedung itu, bersamaan kondisi tubuhnya yang belum begitu sehat, Nada berusaha menguatkan hati dan perasaannya saat ia menatap sosok Damar bersama seorang wanita yang saling menyematkan cincin pertunangan saat itu.
“kamu pantas mendapatkan wanita yang lebih baik Damar, dia cantik dan sempurna untuk hidup bersamamu.” Ujar Nada dengan perasaan hancur. Air mata Nada terus saja mengalir tanpa henti, ia merasa lega mendapati senyuman indah terpancar dari wajah Damar.
Raffi yang berada di belakang Nada menyaksikan sendiri luka yang di alami Nada, raut wajahnya mengisyaratkan kesedihan untuk Nada. Raffi perlahan mendekati diri Nada, ia menarik tangan Nada keluar dari gedung itu. Air mata tak hentinya keluar, luka Nada begitu dalam menyaksikan pertunangan Damar dengan perempuan lain. Raffi tak tahan melihat Nada, ia memeluk erat Nada.
“tenangkan dirimu, aku disini untukmu.” Ujar Raffi
Dengan kondisi yang lemah membuat Nada tak bisa menahan berat tubuhnya dan tak sadarkan diri lagi. Khawatir dengan kondisi Nada, segera ia menggendong Nada kembali ke rumah sakit. Seharian itu Raffi sedetik pun tak beranjak dari tempatnya, ia selalu berada di dekat Nada. Raffi sudah mengetahui penyakit yang diderita Nada, tumor ganas yang bersarang di usus besar, hal itu yang membuat Raffi tak akan mengulang kesalahannya meninggalkan cintanya untuk Nada. Raffi yang terus berada di samping Nada tanpa melepaskan genggaman tangannya dari Nada.
“sekalipun ada badai, aku tidak akan meninggalkanmu sendiri, aku akan selalu berada di sampingmu Nada. Aku janji!” ujar Raffi dengan mencium telapak tangan Nada.
Berhari-hari sehabis pulang kuliah, Raffi selalu menyempatkan diri mengunjungi Nada di rumah sakit. Raffi selalu mengecek kondisi, apa yang diinginkan dan diperlukan untuk kesembuhan Nada, Raffi selalu memenuhinya. Hari itu, Raffi melihat Nada duduk terdiam di taman rumah sakit sambil memandangi pemandangan disana. Nada terdiam, muncul bayangan masa lalunya di pikirannya, melihat kembali apa yang ia alami di masa lalu. Kenangan bersama Raffi, kenangan bersama Damar yang takkan pernah hilang dari mata hatinya.
“Nada, sedang apa kamu disini?” tanya Raffi menyanding Nada.
Perlahan Nada membuka matanya, “menikmati sejuknya udara disini yang murni.”
“sebaiknya kamu istirahat, besok operasimu kan?’
“sekian lama kamu pergi, untuk apa kamu kembali?” tanya serius Nada pada Raffi.
“mencari kembali hati yang dulu sempat kutinggalkan.” Sahut Raffi.
“hati? Apa yang kamu tahu tentang hati? Bukankah hatimu terbuat dari batu.” Sahut Nada.
Raffi seakan tersentak mendengar ucapan Nada yang begitu menusuk rasanya, ia perlahan berdiri dari duduknya berlutut di hadapan Nada dengan raut wajah penuh penyesalan.
“apa kesalahan itu bisa termaafkan?” ujar Raffi dengan menggenggam tangan Nada.
“memang kesalahan apa yang kamu perbuat, aku tak pernah merasa kesalahan itu ada pada dirimu. Mungkin aku yang salah percaya pada orang seperti dirimu.” Ucap Nada
Waktu itu, seakan Raffi terdiam, menatap tajam Nada. Hal itu berbalik pada Nada, tetes demi tetes Hal itu berbalik pada Nada, tetes demi tetes air mata mengalir di pipi Nada.
“hati ku sakit dengan berjalannya waktu, menanti, mengharapkanmu, itu yang bisa kulakukan setiap hari.” Ujar Raffi
“aku sudah melupakannya dan tak ingin mengingat kembali hal itu.” Berdiri dari duduknya, seakan ingin meninggalkan Raffi disana.
Raffi segera menarik tangan Nada menghentikan kepergiannya, “apa yang kamu inginkan?” tanya Raffi dengan serius.
“hilang dari pandanganku untuk selamanya, jangan pernah lagi berusaha masuk kembali ke dalam hatiku. Satu hati yang sangat ku inginkan hanyalah hati yang bisa membuatku tersenyum lepas, bukan hati yang ingin membawaku kembali ke dalam masa lalu yang ingin kulupakan.” Jelas Nada dengan melepas genggaman tangan Raffi.
Suasana seakan senyap dan sunyi mendengar perkataan Nada yang membuat hati Raffi tak dapat berkata-kata lagi.
“sedetik pun?” tanya Raffi
Nada tak menjawab apapun, ia tetap fokus pada jalannya meninggalkan diri Raffi disana.

“aku tak bermaksud mengulang kembali kesalahan di mana aku seperti orang jahat. Hanya saja ada kalimat yang ingin kusampaikan padamu yang kusimpan selama 6 tahun. penuh rasa bersalah meninggalkanmu disaat kamu dalam kekelaman hati. Seakan hatiku tak bisa lagi menahannya, “aku menyukaimu”, hanya itu aku selalu ingin berada di sampingmu. Aku tak peduli kamu ingin aku hilang dari hadapanmu, aku akan tetap mendampingimu sampai titik akhirmu.
Be loved with you
Nada membaca sepucuk surat yang ia temukan di atas kasur Nada, surat itu milik Raffi untuk Nada. Air mata menetes mengiringi pucatnya raut wajah Nada yang menampakkan tak sehat. Terdengar suara pintu terbuka, Nada saat itu merasa terkejut dengan berdirinya Damar tepat di depannya. Hatinya tak menyangka sosok Damar sekarang berdiri di hadapannya. Mereka saling melemparkan pandangan satu sama lain dengan pandangan rindu. Tatapan itu menuntun mereka menyatukan isi hati yang kini mereka rasakan dan hati mulai berbicara.
“apa kabar Nada?” isi hati Damar seakan menyampaikannya pada Nada.
“baik, kamu?”
“baik, aku merindukan dirimu Nada. “
“aku juga. Melihat wajahmu hari ini membuat hatiku bahagia.”
“seharusnya aku bisa melupakanmu, tapi aku tak bisa, aku tau aku takkan bisa begitu saja pergi dari hadapnmu, hatiku selalu memanggilmu. Aku tak bisa kehilanganmu, walau hanya selangkah.” Ujar hati Damar yang tak bisa menahan air matanya keluar.
“aku hanya bayanganmu yang harus kamu singkirkan, meski itu hanya selangkah kamu tetap harus melupakanku.” Hati Nada berbicara dengan air mata bercucuran.
Kedua tangan Damar menyentuh pipi Nada, ia menatap tajam mata Nada sangat lama dan terus menangis sampai menyesakkan dadanya. Dammar tak kuasa melihat lagi wajah Nada, ia membalikkan tubuhnya perlahan meninggalkan tempat Nada.
“ku katakan untuk pertama kalinya, AKU MENCINTAIMU DAMAR”. Kata itu ku teriakkan sepenuh hatiku untuk hati yang telah memberiku ketenangan dan kepercayaan. Terima kasih Damar. Kau telah pergi dari hatiku. Seiring waktu berjalan kamu harus bisa melupakanmu.”
Seakan tubuh Nada lemas tak berdaya sehingga ia tak mampu menyeimbangkan tubuhnya dan jatuh ke lantai. Tubuh Nada seakan tak bisa lagi kuat untuk menahannya.
“namamu tercantum dalam khayalku dan hidupku, “DAMAR” SATU HATI DI TITIK TERAKHIRKU.”



SELESAI

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar