“Kenapa?” Ia terkejut mendengar
apa yang baru saja aku sampaikan padanya. Matanya menatapku lebih tajam.
Aku bisa menangkap maksud dari guratan wajah yang ditampakkan tepat di
mukaku.
Kuhentikan sejenak kata-kata yang
beberapa saat lalu mengalir deras keluar dari mulutku. Aku terdiam,
memberikan waktu kepadanya untuk mengeluarkan semua yang ia rasakan.
Entah itu marah, muak, benci, takut, atau apalah, yang aku sendiri sudah lupa bagaimana perangai dia saat ini. Apakah masih seperti dulu ketika aku selalu di sisinya, atau telah berubah kepadaku?
Ya,
hanya kepadaku. Aku rasa dia masih menyimpan rasa benci itu di dalam
hatinya. Tatapan yang terus menusuk, menyiratkan kalau ia masih belum
dapat memaafkanku. Sudah ribuan kali aku menjelaskan, dan memohon
kepadanya agar mengerti apa yang aku lakukan. Tapi, sudahlah, mungkin
cara aku dan dirinya berbeda dalam memahami masalah ini.
“Kenapa kamu tidak bilang dari kemarin? Kok mendadak begini. Aku kira kamu main-main kepadaku, tapi…?” Ia tertunduk tanpa menyelesaikan kata-katanya.
Aku tidak berani menatap wajahnya. Bahkan sekedar menegakkan kepala pun, serasa berat.
“Sudah kubilang Nes, kalau ini
bukan kemauanku. Aku udah berusaha menjelaskan kepada mereka, kepada
ayah, kepada ibu, kalau aku sangat mencintaimu. Tapi reaksi mereka tetap
sama. Kita tidak boleh bersama lagi,”
“Kamu ini…!!” ia mengepalkan tangannya. Geram yang tertahan dan hendak dilepaskan kepadaku. Aku yakin dia menahan amarah yang siap meledak. Dan aku siap menerimanya.
“Aku lelah, kalau emang gak ada
jalan lain lagi, lebih baik kita sudahi saja hubungan ini. Toh kamu
sendiri yang telah memutuskan akan dibawa kemana hubungan kita. Kamu
menyerah, aku tidak bisa memaksa. Aku sayang kepadamu, tapi aku sadar, kamu terlalu lemah untuk memperjuangkan apa yang kita cita-citakan,” ucapnya.
Menyerah, lemah, apa yang kamu
pikirkan, Nes, aku berseru dalam hati. Tak kuutarakan dua kata yang
telah menikamku. Ia tega berkata seperti itu tanpa mempedulikan
kondisiku.
Dia baru sekali kuajak menemui
orangtuaku. Aku hanya bisa menghela napas panjang, membiarkan dia
berkeluh kesah tentang keputusanku. Keputusanku? Tunggu dulu, sejak
kapan aku telah memutuskan akan mengakhiri hubungan kita seperti
dipikirannya.
“Terserah kamu saja, mulai
sekarang jangan ganggu aku lagi. Aku cukup tahu kamu dan keluargamu.
Kita memang berbeda. Bahkan hanya sekedar ‘memandang langit’ pun, kamu
membuatku merasa tersudut,” ungkapnya dengan jujur.
Aku cukup paham dengan maksud perkataannya. Ia sengaja tidak berkata langsung tentang apa yang menjadikan kita berbeda.
“Aku minta maaf Nes,” sahutku rendah
“Jangan minta maaf! Maafmu tidak lagi aku butuhkan. Anggap kita tidak pernah saling mengenal. Terakhir aku mohon, jangan mendekatiku lagi.” balasnya.
Tanpa menunggu reaksiku, ia bangkit dari bangku taman, dan pergi meninggalkanku. Aku mengiringi kepergiannya dengan mata sayu. Antara bersalah dan ragu, aku bimbang apakah harus mengejarnya atau tetap terdiam.
Bayangan tubuhnya semakin
mengecil, kemudian menghilang. Dia sudah pergi dari pandangan mataku.
Sementara di sudut taman, aku masih termenung. Kembali memikirkan
kata-kata terakhirnya.
Dia pergi, apakah masih ada harapan? Berulang kali pertanyaan itu terngiang di kepalaku.
Aku masih mengharapkannya. Aku masih mencintainya. Aku harus mengejarnya. Aku harus …
Tapi dia sudah pergi. Dia tidak mencintaiku lagi. Dia bukan lagi untukku, dia bukan …
Hatiku berkecamuk. Bahkan disaat seperti ini, aku masih diliputi
kebimbangan untuk memutuskan. Hanya sekedar beranjak dan berlari untuk
mengejarnya, aku tidak mampu.
Kini ketika aku tidak lagi
melihatnya, keinginan kuat untuk kembali menggenggam tangannya kembali
muncul. Kenapa baru sekarang, apa yang aku lakukan, bodoh, aku bodoh dan
ceroboh.
—
“Ada yang bilang kalau di atas sana terdapat surga, kamu percaya?” tanyaku sambil menunjuk ke atas langit.
Dia hanya mengangguk. Matanya mengekor ujung jariku seolah tahu dengan tepat titik yang kutunjuk di atas sana.
“Kok diem! Jawab dong!” aku gemas dengan anggukan itu.
Dia melirikku sejenak, sebelum
kembali mengekor pandangan searah telunjukku. Hari ini aku bisa melihat
sesuatu yang lain pada dirinya. Bukan wajahnya yang selalu tersenyum
padaku, bukan juga suara lembut yang hari ini sedikit sekali kudengar,
toh itu memang kebiasaannya ketika dekat denganku. Tapi ada yang
tersirat dari waktu yang dipilihnya untuk duduk di bangku ini.
Kenapa dia memilih sore ini?
Lebih tepatnya, kenapa tempat ini? Ada apa denganmu, Nes? Apa yang ada
di pikiranmu hari ini? Kenapa hari ini? Istimewakah saat ini, hingga
kamu mengajakku untuk sekedar memandang langit?
“Gimana kabar ibumu?”
Aku terkejut ketika suara itu
terdengar. Kukira ia masih tenggelam dalam keheningan yang sejak
limabelas menit lalu menggelayut di antara kami. Meskipun aku telah
berulang kali membuyarkannya, namun belum satu patah kata pun terucap
dari bibirnya.
“Ibuku? Dia baik-baik saja.
Minggu kemarin sudah boleh pulang dari rumah sakit. Kata dokter, ibu
hanya kelelahan. Jadi tekanan darahnya naik. Tapi untuk berjaga-jaga,
ibu disarankan berobat jalan,” jawabku panjang lebar.
“Oh, begitu. Syukurlah! Aku tadinya mau nengok, tapi …” timpal Nesha.
Ia mengalihkan pandangannya dan
tidak berusaha melanjutkan kata-katanya. Ada rasa ragu yang menahan
untuk mengungkapkan isi hatinya. Atau ia menyesal karena salah memulai
pembicaraan. Setidaknya, ia telah menanyakan sesuatu.
Dia masih teringat tentang hal itu, kataku dalam hati.
“Terusin Nes!! Aku tahu yang mau kamu omongin. Jangan dipendam,” balasku seraya meraih telapak tangannya.
Sentuhanku mengusik lamunannya. Ia menepis tanganku dengan halus.
“Gak usah. Aku gak apa-apa kok. Oh ya, tumben sekali hari ini cerah, biasanya kan tiap sore hujan,” serunya seketika.
Ia berusaha mengalihkan
pembicaraan singkat yang ia mulai dengan awal yang salah. Beberapa saat
lalu memang terdapat awan hitam, tetapi sekejap berubah cerah, hingga ia
mengajakku ke tempat ini.
—
“Kalau kamu tidak suka, monggo keluar dari rumah ini!” seru ayahku.
Dengan penuh amarah ia tidak peduli kalau aku adalah putranya. Aku duduk tertunduk di sofa dan tidak berani menegakkan badan. Mataku sedikit sembab karena menahan banyak gejolak. Ingin sekali aku membalas seruan itu.
“Kamu dengar tidak, kata-kata
ayah!!! Sekali lagi ayah ingatkan! Kamu boleh berteman dengannya tapi
tidak lebih dari itu. Cukup sebatas teman!!” suaranya mulai melemah,
tapi tidak dengan amarahnya.
“Kamu pasti benci sama ayah. Tapi ini semua untuk kebaikan
keluarga kita. Ini bukan hanya masalah hubungan kamu dengan Nesha. Kita
semua tidak mempermasalahkan kalau kamu hanya berteman, ingat hanya
berteman. Yang membuat ayah marah karena niatan kamu buat menjadikannya
istri,”
“Tapi!” akhirnya kutemukan keberanian untuk menyanggah perkatannya.
“Aku cinta
Nesha. Cuma dia satu-satunya yang kuinginkan untuk menjadi istriku. Gak
ada yang lain! Ayah tega memisahkan kami,” balasku cepat.
“Kamu ini masih belum ngerti
juga! Jangan dibutakan oleh cinta. Hei… bangun. Hidup bukan hanya
sekedar cinta. Kamu pikir sampai saat ini apa yang membuat ayah dan ibu
bertahan. Cinta hanya bagian dari hidup,” sergah ayahku cepat.
“Lihat caramu bersujud kepada
Tuhan! Apakah kamu masih mampu berkata cinta? Kamu dan Nesha berbeda.
Ini bukan kesalahan kalian. Tidak ada yang salah dengan cinta. Hanya
jalan yang mempertemukan kalian, yang membuat kalian tidak diperbolehkan
bersatu, lebih tepatnya dilarang. Itu bukan kemauan ayah, tapi aturan
yang ayah pegang dalam hidup. Kamu diajarkan tentang itu sedari kecil.
Lalu kenapa kamu lupakan? Kamu tinggalkan apa yang telah menjadi panduan
hidup kita hanya demi cinta,” kata ayahku dengan nada sedikit meninggi.
Ia duduk di depanku, sedangkan di
sisinya, ibuku terdiam. Aku tidak mendengar sepatah kata pun kata dari
ibu. Yang kuingat hanya permintaan agar aku tidak keras kepala.
Apa yang salah denganku. Bukankah aku dan Nesha juga manusia. Sama dengan ayah dan ibu. Lalu kenapa kami tidak boleh menikah.
Aku yang salah atau mereka. Sudah
puluhan buku kubaca. Kenapa selalu ada penolakan oleh keinginanku. Aku
tidak bermaksud jahat, lalu kenapa aturan yang mereka genggam membuatku
seolah sebagai terpidana.
Jika bukan orangtuaku, sudah
kuhantam kata-katanya. Seperti yang kulakukan ketika teman, bahkan orang
yang berlagak teman, memperingatkan niatanku. Satu yang tidak pernah
terlepas dari mulut mereka yaitu kalau semuanya udah diatur.
Aku selalu tertawa mengejek
seolah mereka merasa paling benar. Namun aku teringat seseorang yang
mungkin berpikiran sepertiku, hanya saja ia memilih diam. Dia diam
karena sudah terlalu banyak mulut-mulut manis berbicara tentang Tuhan.
“Kalau kamu belum pernah menjauhi
Tuhan, bagaimana kamu bisa berkata mendekati-Nya,” itulah kalimat yang
selalu terngiang di kepalaku dari mulutnya.
Namun bagiku itu sangat ekstrim
dan berbahaya sekali. Aku bisa dicap sesat kalau ikut caranya. Namun
bagaimana dengan Nesha. Bahkan untuk niat yang baik pun, Tuhan masih
belum bisa memberikan restu.
“Aku mengerti ayah!” ucapku pelan.
Bendera putih telah kukibarkan.
Aku harus memilih dua hal yang tidak bisa dipersatukan. Maafkan aku
nesha. Aku berhenti memperjuangkan cinta kita.
“Semua kata-kata ayah akan
kuturuti. Aku lakukan bukan karena apa yang keluarga ini pegang sebagai
panduan hidup. Aku lakukan hanya demi ayah dan ibu sebagai manusia yang
telah melahirkanku, meskipun aku selalu dianggap titipan. Ini antara
perasaan sesama manusia, tidak berkaitan dengan apapun. Aku terhubung
dengan ayah dan ibu sebagai anak. Jika aku dianggap titipan, seharusnya
aku tidak punya kewajiban menuruti kata-kata orang yang ditumpanginya,”
ujarku panjang lebar.
“Aku tidak mau dianggap sebagai
titipan, aku ingin disebut anak. Sebagai anak aku punya kewajiban.
Sebagai manusia yang berakal aku punya tugas menyenangkan manusia
lainnya,”
Ayah terkejut dengan ucapanku.
“Terserah apa yang kamu katakan.
Yang terpenting bagi kami, kamu mengurungkan niatan itu. Lakukan yang
menurutmu benar. Selama kamu masih menganggap ayah dan ibu sebagai
orangtua, jangan lakukan perbuatan yang menyakiti hati kami,”
—
“Apa yang kamu lihat di atas sana?” tanya Nesha membuyarkan lamunanku.
Segera kuperbaiki letak dudukku
agar sejajar dengan dirinya. Kuhembuskan napas perlahan untuk
menenangkan diri dari keterkejutan.
“Emm, awan tapi kalau malam pasti ada bulan sama bintang,” jawabku tenang.
Ia tertawa kecil mendengar
jawaban dariku. Tangannya mengusap ujung hidung lalu menutup mulutnya.
Ia menahan tawa. Aku bisa melihat itu, jelas sekali.
“Kenapa tertawa? Ada yang salah dengan jawabanku?” sahutku cepat.
Aku berpikir keras, apa yang
membuatnya tertawa. Sepertinya jawabanku normal saja tidak ada yang
aneh. Dia kan menanyakan apa yang terlihat di langit.
“Gak ada yang salah,” ia menghentikan tawanya lalu berbalik memandangku.
Tatapan itu selalu menembus
rongga hatiku. Aku sudah lupa kapan pertama kali ia menatapku seperti
itu. Yang kuingat setiap ia hendak mengutarakan sesuatu yang penting,
akan muncul sorot mata itu.
“Kenapa jadi serius, tadi ketawa sekarang kok serius gini,” sergahku heran.
“Jawabanmu yang membedakan aku
dengan dirimu. Mungkin suatu saat cara kita memandang langitlah yang
akan memisahkan hubungan ini,” ucapnya tegas.
Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti ucapannya.
“Maksudmu? Aku gak ngerti! Ngomong yang jelas jangan pake kiasan seperti itu!” timpalku cepat.
“Kamu percaya ada yang lain di atas sana?” tanya Nesha untuk kedua kali.
Aku diam sejenak mencerna
pertanyaan itu. Pertanyaan itu berhubungan dengan ucapan sebelumnya.
Atau ini sesuatu yang baru? Nesha, hal inilah yang mendorongku siap
dengan sebuah keputusan.
“Kata orang hujan itu adalah
pemberian dari Tuhan. Hujan juga dari langit. Angin yang bergerak turun
dari langit untuk menyejukkan bumi. Cahaya matahari yang hangat memancar
dari langit. Aku tidak yakin apa yang disebut langit. Mungkin sesuatu
yang terletak di atas, selalu melindungi, memberi kenyamanan, membuat
ketenangan, meniupkan kebahagian. Itukah yang kamu maksud,” jawabku
“Aku suka jawabanmu. Langit yang
disana memang selalu memberi, bahkan aku tidak tahu kapan bisa
mengembalikan pemberian itu kembali kesana. Ia menuang tanpa takut
kehabisan. Menumpahkan tanpa takut kekurangan,” balas Nesha.
“Tapi suatu saat, kamu dan aku akan terpisah hanya kerena memandang langit dari tempat berbeda,”
“Aku masih sama teduduk disini,
sedangkan kamu memilih caramu yang telah menjadi bagian hidupmu sedari
kecil. Bahkan ketika duduk berdampingan disini, aku dan kamu masih
berbeda,” lanjut Nesha dengan lembut.
—
Bukan aku yang membuat kita tidak
bisa menyatu. Aku tidak bersalah hanya karena memilih duduk di sisimu,
sekadar memandang langit di atas sana. Bahkan untuk menggenggam tanganmu
pun, aku selalu dipersalahkan oleh mereka.
Mereka bagian dariku. Mereka juga
tidak salah. Bukan karena aku dipersalahkan, lalu aku menuduh mereka
salah menilaiku. Bukan itu yang terjadi disini. Aku dan mereka sama
sekali tidak mengerti kenapa bisa disalahkan dan menyalahkan.
Kamu jangan bersedih, Nesha. Air
mata itu tidak akan menghapus apa yang telah menjadi kenyataan pada
diriku dan dirimu. Kamu tidak salah. Kamu berbeda bukan berarti kamu
salah dan aku adalah orang yang membedakanmu.
Nesha, ingat ketika hatimu
berteriak dan orang lain tidak mempedulikan teriakan itu. Kamu marah
karena berbeda dari mereka. Tapi kamu menahan perasaan itu, bahkan hanya
sekedar balas menunjuk kepada mereka, kamu tidak mampu.
Aku akan membantumu. Itu janji
ketika pertama kali kita bertemu. Kuangkat telunjuk lembut itu untuk
berani menunjuk kepada langit yang membuat mereka selalu memandangmu
berbeda. Berbeda yang berarti salah bagi sebagian mereka.
Ingat ketika aku membiarkanmu
kehujanan di bangku itu. Kulakukan hanya untuk memberimu anugerah langit
yang selalu diagungkan mereka. Kamu merasakan setiap tetas hujan
menyentuh kulitmu. Basah, dingin, dan kamu tersenyum.
Mulai saat ini, jangan benci
ketika kamu dipersalahkan oleh mereka. Bahkan oleh diriku yang juga
bagian dari mereka. Tapi aku hanya menganggap kamu berbeda. Rasa salah
telah kubuang jauh. Ada sebagian dari mereka yang hanya menganggapmu
berbeda, dan salah satunya adalah diriku.
Nesha, Memandang Langit
07.06 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar