Hari ini rasanya semua mahasiswa dan mahasiswi angkatan 2013 sedang sibuk membicarakan couple party yang diadakan oleh Helen. Ya, Helena
Sesy adalah salah satu kawan kelasku di kelas akuntansi. Kebetulan dia
akan mengadakan pesta ulang tahunnya yang ke 19 tahun. Semua teman-teman
yang lain serasa sibuk dibuatnya. Merencanakan baju, tas, aksesoris
yang akan dipakai nanti. Pestanya memang masih 3 hari lagi tapi sudah
ramai sekali sejak 2 hari belakangan ini.
“Nad, lo dateng kan
ke pesta gue nanti?” Helen menepuk pundakku dan kemudian duduk di kursi
taman tepat di depanku. Aku hanya tersenyum kecut padanya. “Kok lo diem
sih?” sambung Helen.
“Pesta lo harus dateng sama pacar kan? Gue gak mungkin dateng kalau peraturannya kaya gitu.” Aku berdiri meninggalkan Helen.
“Tapi Nad, gak cuma pacar. Maksud gue, lo bisa ajak temen deket atau
temen sekelas mungkin. Iya kan? Ayolah ini satu tahun sekali.” Helen
mengikutiku dari belakang sambil terus mengoceh soal pesta itu. Bla bla bla…
“Oke. Stop. Berhenti ngomongin soal pesta itu. kalau lo emang pengen
banget gue dateng, cariin cowok yang mau ngajak gue ke pesta lo. Bisa?
Dan kalau sampe besok siang belum ada jelas gue gak bakalan dateng ke
pesta lo. Ngerti?!” Aku membentak Helen, dan ku rasa dia terkejut. Aku
meneruskan berjalan. “Lo kan tau, gue paling males kalau ada yang bahas
soal pacar sama gue. Lagian apa sih pentingnya gue di pesta lo? Dan apa
lo lupa
kalau gue sekarang gak punya pacar? Masih banyak kan temen-temen yang
lain yang pasti dateng sama pacar mereka masing-masing. Gak perlu maksa
gue.” Aku melanjutkan pembicaraan dan Helen masih terlihat diam.
“Sorry, gue gak bermaksud nyinggung lo Nad. Lo sahabat gue. Lo temen
terbaik gue. Gue gak mungkin berpesta tanpa lo. Apalagi ini pesta ulang
tahun gue yang ke 19 dan setiap tahun lo ada disitu. Gue pasti
kehilangan Nad, makannya gue maksa. Kita udah sahabatan dari kecil
bahkan dari lahir. Lo penting banget buat gue.” Mata Helen terlihat
berkaca-kaca. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya lalu pergi
dari hadapan Helen.
“Lo bisa dateng sendiri kalau emang lo mau.” Helen kembali menghampiriku.
“Gue bilang kan sama lo tadi, cari cowok yang mau nemenin gue ke pesta
lo. Dan pasti gue bakalan dateng sama cowok itu.” Aku pun sedikit
melangkah berlari meninggalkan Helen. Di dalam hatiku ada sedikit
penyesalan atas kejadian barusan. Sepertinya aku terlalu keras
membentaknya tadi.
“Yud, lo pasti dateng dong ke
pesta gue.” Pagi hari di kampus Helen sudah terlihat sibuk mendata
orang-orang yang akan datang ke pestanya. Tapi dia belum berani nanya
sama aku lagi. Aku hanya melihat dia dari sudut aula kampus.
“Hmm Len, sorry gue kayanya gak bisa dateng.” Yudha menjawab seraya menekukan wajahnya.
Yudha, dia adalah salah satu temanku juga. Dia pintar, dia salah satu
asisten dosen sama sepertiku. Dan banyak yang bilang kalau dia itu
tajir. Mungkin hanya karena dia memakai mobil ke kampus atau gaya berpakaiannya yang fashionable. Tapi jelas aku mengenalnya sebagai mahasiswa yang teladan.
“Why? Ah lo gak asyik.” Helen terlihat menggerutu.
“Ssssttt. Gue kan gak punya pacar. Gue harus dateng sama siapa?” Yudha
sedikit berbisik kepada Helen. Aku tersenyum melihat kelakuan keduanya.
Walaupun hanya dari kejauhan tapi rasanya lucu aja denger jawaban Yudha.
“Hai Yud. Lo mau dateng ke pestanya Helen? Sama gue aja yuk.” Tiba-tiba Stella
menghampiri mereka berdua. Yudha dan Helen saling menatap muka.
Kelihatannya memang aneh. Oh ya, Stella. Adalah salah satu mahasiswi
yang cukup pintar. Dalam segala hal, tak terkecuali dalam hal mencari
sensasi dan masalah. Entah kenapa sejak awal masuk kuliah dia terlihat
tak pernah menyukaiku padahal aku tak pernah mencari masalah dengan
siapapun apalagi dia. But, I don’t care.
“Eh, em… Sorry Stell gue ada kelas dulu ya. Bye.” Yudha meninggalkan
aula dan terlihat Helen dengan Stella disana menatap dengan pandangan
aneh kepada Yudha. Helen terlihat menghampiriku.
“Gue mau minta maaf.” Aku dan Helen berkata secara bersamaan. Sampai kita pun akhirnya tertawa.
“Bener kan gue bilang. Lo sahabat terbaik yang gue punya. Kita udah
sehati.” Helen tersenyum dan memelukku dengan erat. “Eh, gimana kalau lo
pergi ke pesta gue bareng sama Yudha? Just for fun not serious alright.” Helen menatapku seperti menunggu jawaban.
“Ehm… bukannya gue gak mau. Gue gak enak aja sama Stella. Tadi gue lihat
dia ngajak Yudha kan? Gak etis dong kayanya kalau tiba-tiba Yudha
dateng sama gue.” Aku kembali tersenyum kecil.
“Lho, Yudha kan belum jawab ajakan Stella. Oke deh pokoknya ntar gue
ajakin Yudha buat dateng sama lo. Gue sekarang ada kelas dulu. Sampe
nanti ya Nad.” Helen lalu pergi. Tinggal aku sendirian di aula.
Hari ini aku memang tak ada jadwal kuliah, aku hanya ingin main saja ke kampus. Sambil ngerjain tugas juga. Sampai dua jam
kemudian aku melihat Yudha duduk di aula tepat dimana tadi dia
berbincang dengan Helen. Yudha melihat ke arahku dan tersenyum. Aku pun
membalas senyumannya.
Rasanya sudah cukup lama
aku di kampus dan perutku juga sudah bernyanyi minta makan. Aku pun
memutuskan untuk pulang ke rumah. Tak sepatah kata pun aku ucapkan pada
Yudha. Tapi aku tau Yudha melihatku sampai aku hilang dari aula. Begitu
sampai di rumah, aku membuka pesan singkat di hpku.
“Gue tadi sebenernya mau ngomong sama lo tapi lo keburu pulang.”
Itu adalah isi pesan singkat dari Yudha. Aku mengerutkan dahi, kebingungan.
Keesokan harinya di kampus, Yudha
sudah terlihat di depan pintu gerbang seperti sedang menunggu
seseorang. “Hey, lo lagi nunggu siapa? Bukannya sekarang jadwal Pak
Dusa, kuliah pajak. Yuk masuk.” Ajakku kepada Yudha. Yudha lalu
mengikutiku masuk ke kelas. Sepulang kuliah Yudha mengajakku bicara di
taman kampus.
“Ehm, Yud. Sorry ya sms lo kemaren gak dibales.” Aku mencoba memulai percakapan. Sedari tadi Yudha hanya diam tanpa kata.
“Gak apa-apa kok, gak penting juga lo bales sms gue.” Yudha duduk di
rumput seraya membawa sesuatu dari tasnya. “Kan sekarang kita ketemu dan
gue bisa ngomong langsung.” Yudha tersenyum. Terlihat dia mengeluarkan
sebuah kertas pink
berbaur degan warna violet yang begitu amat cantik. Dan rasanya aku tak
asing lagi dengan kertas itu. Iya. Itu kertas undangan ulang tahunnya
Helen. Aku heran dan sedikit mengerutkan dahi.
“Itu kan undangan dari Helen” Aku melihat Yudha sedang membolak-balik undangan.
“Iya, lo mau dateng?” Yudha melihatku menggelengkan kepala. “Kenapa?
Helen kan sahabat lo, masa lo gak dateng ke pesta ulang tahun sahabat lo
sendiri?” Yudha berkata dengan nada penasaran.
“Helen lebih tau alasannya apa. Dan dia pasti ngerti.” Aku tersenyum lesu.
“Gue juga sama kaya lo. Tadinya gue gak akan dateng. Tapi gue dapet
informasi katanya lo gak punya pasangan.” Yudha sedikit tertawa
terkekeh.
“Ih, ngeledek banget deh. Pasti si Helen yang ngomong sama lo.”
“Tapi lo mau dateng gak? kalau mau pergi sama gue aja.” Yudha menepuk pundakku.
“Hah.” Aku terkejut. Yudha, he is cool.
Banyak cewek di kampus yang naksir dia. Dan gue diajak sama dia ke
couple party? Setau gue dia cowok yang cuek. Tapi kok bisa ya dia
tertarik sama ajakan Helen.
“Hah doang?” Yudha membuyarkan gumamanku. “Dijawab dong, mau atau
nggak?” Yudha melanjutkan pertanyaannya dan seolah-olah memaksaku untuk
langsung menjawab.
“Eh, lo serius ngajak gue? Bukannya lo diajak sama Stella?”
“Iya sih gue diajak sama Stella tapi gue gak tertarik sama ajakannya.
Gak tau kenapa. Mungkin karena gue masih ngenes sama presentasinya
kemaren. Banyak banget sanggahan sama gue.” Yudha terkekeh kembali.
“Ah lo, masalah kaya gini jangan disangkut pautin sama urusan di kampus kali. Ini masalah hati, Yud.” Aku sedikit menggodanya.
“Jadi, mau atau nggak? kalau mau gue jemput lo besok jam 7 malem.” Yudha lalu meninggalkanku tanpa menunggu jawabanku lagi.
Tepat pukul 7 di malam minggu.
Mobil Soluna silver terlihat ada di halaman depan rumahku. Yudha
terlihat menuju pintu rumah. Mengetuk dan lalu terlihat sedang mengobrol
dengan ibuku. Aku mengintip dari jendela kamarku. Tak berapa lama ibu
memanggilku dan aku pun keluar dengan kostum pestaku.
“Nadine!” Yudha melihatku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Sambil perlahan dia beranjak dari tempat duduknya.
“Hayu, kita berangkat.” Aku tersenyum lalu berpamitan kepada ibuku. Yudha pun melakukan hal yang sama.
Setengah jam perjalanan akhirnya
kami berdua sampai di rumah Helen. Pesta memang belum dimulai tapi
teman-teman yang lain sudah banyak yang lebih dulu datang. Kebanyakan
mereka datang memang dengan pacar aslinya. Mungkin. Tak lama Helen
menghampiri kami.
“Ini serius kah? Lo dateng sama sahabat gue Yud.” Helena terlihat
memandangi kami dengan tatapan yang aneh sembari tersenyum simpul.
“Finally, I’m coming to your party, alright.” Aku menjawab dengan aga ketus.”
“Jangan kesel gitu lah. Ini kan cuma pesta. Come on.” Helen menarik
tanganku dengan Yudha untuk bergabung dengan teman yang lainnya di
tengah-tengah pesta. Tak sedikit yang terheran-heran denganku. Mereka
memasang pandangan yang aneh.
Pesta kali ini memang seru
dibanding pesta ulang tahun Helen sebelum-sebelumnya. Apa mungkin karena
ini couple party. Aku gak tau. Yang jelas semua bersenang-senang
disini. Tak terkecuali aku dan hmm, Yudha. Sampai tak terasa malam telah
larut. Pesta pun berakhir. Aku dan Yudha beranjak pulang. Aku kembali
diantarkan pulang olehnya.
“Thanks ya Nad buat hari ini.” Yudha menuntunku sampai ke depan pintu rumah.
“Apaan sih Yud, nyantei aja kali. Gue juga makasih sama lo, berkat lo
gue bisa dateng ke pestanya Helen. Sama pasangan. Hehe.” Aku menepuk
dadanya. Kami berdua pun tertawa bersama.
Seminggu setelah pesta itu kian
lama Yudha dan aku semakin akrab. Bukan hanya dalam hal mengerjakan
tugas kuliah tapi kami pun jadi sering mengobrol.
“Tugas kuliah hari ini ribet banget ya. Lo enak punya partner kaya si
Yudha. Dia kan pinter.” Helen duduk menghampiriku di aula kampus.
“Kita kerjasama Len.” Aku sedang mengetik tugas saat itu.
“Eh iya, kelihatannya lo makin akrab sama Yudha. Sejak pesta di rumah
gue ya?” Helen menyikutku sambil berbisik. Aku menatap Helen keheranan.
“Biasa aja. Dari dulu kan deket. Gue sering satu kelompok sama Yudha
kalau dapet tugas kampus. Lo aja mungkin yang ga nyadar.” Mataku tetap
fokus pada tugas di laptopku. Helen hanya tersenyum iseng.
Sepulang kuliah di hari senin
yang mendung ini aku melihat Helen sedang mengobrol dengan Yudha. Mereka
memang sering terlihat mengobrol tapi entah kenapa hari ini rasaya
sangat aneh. Tak seperti biasanya. Yudha dan Helena terlihat sesekali saling melempar canda dan tawa. Rasanya ada sesuatu yang mengusik hatiku tapi entah apa namanya itu.
Dreeettt, dreeettt, dreeettt. Handphone aku berbunyi pertanda ada sms.
“Gue tunggu lo di tempat parkir.” Isi sms dari Yudha. Padahal aku sama
sekali tidak membuat janji dengannya. Tapi memang benar aku lihat dari
lantai 2 di kampus Yudha memang sedang menunggu disana.
“Hey, what happen?” aku datang menghampiri Yudha tepat di tempat parkir sesuai dengan isi dari pesan singkatnya.
“Gue cuma mau nanyain soal tugas. Udah lo print out kan?” Yudha
menatapku tajam. Sejenak aku menundukan kepala dan kemudian mengerutkan
dahi. “Besok lo bawa tugasnya kalau udah selesei.” Yudha melempar senyum
mungil di bibirnya kepadaku dan kemudian dia berlalu dengan mobil
Soluna silvernya. Yudha memang seperti itu dan aku sudah paham sekali
tentang dia. Bicara seperlunya. Teramat sangat fokus dan bertanggung
jawab terhadap tugas. Lumayan bawel juga sih, tapi menurutku dia itu
partner yang hebat. Dan masih terlalu ‘dingin’. Aku bisa memakluminya.
Mungkin karena… Ah entahlah
Seminggu sudah berlalu di bulan
November ini, dua minggu pun tak terasa sudah dilalui. Aku masih selalu
disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang seakan sangat setia denganku.
Sama dengan Yudha. Dia pun sangat setia menemani di setiap aku
mengerjakan tugas. Yap, entah kenapa hampir semua dosen menjodohkan aku
dengannya setiap kali ada tugas kelompok. Makanya sedikit demi sedikit
Yudha dan aku semakin akrab saja. Yudha sudah tak ‘dingin’ lagi seperti
dulu. Sampai suatu sore Yudha tiba-tiba datang ke rumahku. Masih dengan
sedan Soluna silvernya.
“Yudha! Kesini kok gak bilang
dulu? Sms kek atau bbm gitu.” Aku beranjak dari kursi santai di depan
rumahku. Berjalan menghampiri Yudha yang sedang bersandar pada mobilnya.
“Ada apa?” aku sedikit mengangkat alisku. Dan aku mengajak Yudha untuk
duduk bersamaku.
“Gue, ehm, ada yang mau diomongin Nad.” Yudha duduk tepat disebelahku.
“Heh?” aku spontan menatap Yudha dengan penuh rasa penasaran. Aku lihat
kepala Yudha tertunduk dalam. “Apaan Yud?” sikutku menyenggol sedikit
bagian pinggangnya.
“Soal, so…al.. tugas. Gimana tugas pak Dusa udah beres? Udah bikin
covernya belum?” Yudha terlihat gugup dan bicaranya sedikit
terbata-bata. Jelas aku heran dan mengerutkan dahi. Lalu tertawa kecil
sambil menatap lawan bicaraku.
“Nanya tugas aja sampe seserius itu mukanya. Lo kenapa sih Yud? Tenang
aja, kita kan udah sering satu kelompok kalau ngerjain tugas. Apalagi
tugas pak Dusa, pasti sama gue selesai tepat waktu deh. Lo gak usah
khawatir. Tinggal di print out doang kok, tadinya sore ini gue mau ke
photocopy soalnya printer di rumah gue rusak.” Aku mendetailkan
penjelasannya. Yudha hanya terlihat melempar senyum manisnya kepadaku.
“Pokoknya tenang aja deh, besok tugasnya pasti gue bawa ke kampus. Oke.”
Aku menepuk pundaknya. Suasana jadi hening seketika. “Kok malah diem
sih Yud? Ada hal lain yang mau lo omongin lagi?”
Yudha tersenyum kembali. “Iya nih gue pengen cerita sama lo.” Yudha melihatku sejenak dan kembali tertunduk.
“Cerita apa? Tumben, biasanya lo suka cerita sama Helen kan.”
“Emangnya gue gak boleh cerita sama lo?” Yudha menatapku kembali tapi sekarang dengan tatapan agak sinis.
“Eh, nggak kok. Boleh. Boleh banget malahan. Cerita aja. Gue dengerin
deh.” Aku menyilangkan kaki di atas kursi dengan kedua tangan yang aku
pasang menahan dagu menghadap kepada Yudha yang kemudian dia pun
menatapku kembali dengan halus.
“Tentang cewek.” Singkatnya Yudha berkata.
“Hah, cewek? Lo lagi falling in love nih ceritanya? Sama siapa? Cewek
satu kampus atau di luar kampus? Setau gue lo belum pernah pacaran kan.
Ya, bukannya gue sok tau tapi selama hampir 2 tahun gue kenal sama lo,
lo selalu jomblo. Malah lucu aja ya, waktu temen-temen di kampus ngira
kita berdua ini pacaran. Karena kita sering banget kelihatan berdua di
kampus. Dan mereka juga sering lihat kita hangout sekedar lunch atau
dinner. Haha, padahal kita kan cuma temenan. Ngerjain tugas bareng. Dan
kita sekarang sahabatan. Iya kan Yud?” aku sediki terkekeh menertawakan
Yudha.
Yudha tersenyum lesu dan kaku. Tak ada sepatah kata pun keluar dari
mulutnya. Yudha kembali diam. Dan aku masih juga tersenyum riang.
“Yud, kok gak dilanjutin ceritanya? Gue siap dengerin nih. Ayo!” aku
menepuk pundak kiri Yudha. Yudha hanya menganggukann kepala dan berkata
“Iya, kita temen. Cuma sekedar temen belajar dan sahabatan. Iya, gue
ngerti.” Yudha kemudian berdiri dan melangkah menjauhi aku yang sedang
duduk di sebelahnya.
“Lo mau kemana Yud?” sontak aku langsung mengikutinya.
“Jangan lupa besok tugasnya dibawa. Dan flashdisk gue juga bawa. Udah
kelamaan dipinjem sama lo.” Yudha masuk ke mobilnya dan langsung pergi.
Jelas aku heran disitu. Yudha aneh. Aku cuma bisa bengong keheranan.
Dua puluh November 2011. Lima hari setelah Yudha terakhir kalinya datang dan mengobrol di rumahku. Hari ini
hujan sedang rindu kepada bumi. Sehingga ia turun membasahi bumi.
Dingin pun sangat amat terasa di setiap penjurunya. Dingin di hari ini
hampir senada dengan dingin yang aku rasakan di hati ini. Sebenarnya ini
adalah tahun ketiga ketika aku ditinggalkan olehnya. Reyha Permana.
Kekasihku yang pergi meninggalkanku untuk melanjutkan pendidikan di negri Sakura. Dia menjanjikan tiga tahun belajar disana. Seharusnya aku senang karena tak kurang dari satu bulan lagi dia akan pulang kembali ke Indonesia.
Tapi entah kenapa seakan aku memang sudah tak ingin lagi dibuat
menunggu olehnya. Dia tak pernah ada kabar setelah dia pergi. kalau kata
Helen bilang, percuma aku mengharapkan orang yang belum tentu dia
mengharapkanku juga. Aku sudah berusaha melupakannya karena seringkali
ada selentingan gosip yang aku dapat bahwa dia memang sudah tak setia.
Sore itu aku berdiri di balik
jendela kamarku. Aku senang sekali melihat hujan. Merasakan desiran
angin yang selalu menjadi teman setianya. Aku seakan teringat kepada
seseorang kala itu. Sudah hampir sepuluh hari dia tak pernah bicara lagi
padaku. Si ‘dingin’ Yudha. Mungkin dia marah karena aku
menertawakannya. Dia selalu menghindar kalau aku ajak bicara. Aku hampir
kehabisan ide untuk mengajaknya pergi untuk sekedar mengobrol. Meminta
maaf tepatnya.
Tuuuttt, tuuuttt, tuuuttt. “Nomer
yang tuju sedang sibuk, silahkan hubungi beberapa saat lagi.” Selalu
suara ini yang kudengar jika aku menelpon Yudha. Bahkan bertemu di
kampus pun dia sudah jarang sekali menyapaku. Atau mungkin dia sudah
punya pacar, sampai dia tak mau lagi terlihat dekat degan wanita lain?
Entahlah yang jelas aku hanya ingin meminta maaf jika memang sikapku
waktu itu sudah menyinggung perasaannya.
“Yudha, temuin gue malem ini di café tempat biasa kita ngobrol. Gue tunggu lo disana jam 7 malem.”
Aku gak tau sms itu akan dibaca atau mungkin diabaikan oleh Yudha.
Dan jam 7 malam tepat. Aku sudah duduk bersandar di kursi café sendirian. Beberapa kali waiters
menghampiriku dengan pertanyaan yang sama. Dan selalu aku jawab
“sebentar saya sedang menunggu teman”. Sampai yang ke empat kalinya
akhirnya aku memutuskann untuk memesan ice cream chocolate. Walaupun di luar sana cuaca masih sedingin tadi sore. Waiters pun seperti keheranan menatapku.
Ini sudah mangkuk ketiga yang ku
pesan. Jam di tanganku pun sudah menunjukkan pukul 8 malam. Tapi Yudha
tak kunjung terlihat. Berulang kali sudah ku coba
menelpon, tapi tak pernah diangkat. Sms dan bbm pun tak ada yang
dibalas satu pun. Dengan sangat kecewa aku pulang ke rumah dengan
sedikit rasa kesal. Aku tak pernah mengira Yudha sampai semarah ini dan
membalasnya seperti ini.
Dua puluh lima November 2011. Aku masih belum melihat Yudha di kampus. Di kelas, di aula,
di taman bahkan tak ada. Teman-teman tak ada yang tahu. Padahal dia
adalah salah satu murid teladan dan tak pernah sekalipun dia membolos
kuliah. Tapi hari ini dia tidak masuk bahkan di kelas Perpajakan,
pelajaran favoritnya. Aku semakin bingung. Sampai akhirnya sebuah ide
muncul di otakku. Aku menuju ke ruang akademik kampus, kerena disitulah
semua data para mahasiswa terkumpul dan siapa tahu aku akan mendapatkan
kabar kenapa Yudha tak pernah masuk kuliah selama sepuluh hari ini.
Tapi akademik pun tak
memberikanku jawaban yang pasti. Mereka hanya mendapatkan kabar dari
Yudha tiga hari lalu bahwa dia pulang ke Batam, kampung halamannya.
Hatiku lumayan tenang setelah mendengar kabar itu. Aku pun tidak terlalu
mencemaskannya lagi.
Pagi hari tepat ditanggal dua
puluh tujuh di bulan ke sebelas ini, cuaca seperti sedang satu hati
denganku. Mendung tertutup awan kesedihan. Yudha belum juga mengabariku.
Aku semakin cemas dan aku masih tetap dengan perasaan ini. Merasa
bersalah dan ingin meminta maaf.
“Hey!” tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menepuk pundakku dari belakang.
“Yudha?” ujarku dalam hati. Aku begitu yakin itu adalah Yudha karena
suaranya sangat persis. Dan kebiasaan menepuk pundak pun adalah
kebiasaan dia. Dan aku hapal betul soal itu.
Aku membalikkan tubuhku. “Lo Nadine kan? Mahasiswi jurusan akuntansi.
Gue Setia.” Laki-laki asing itu mengulurkan tangannya mengajakku
bersalaman. Sejenak aku merasa melihat Yudha di wajahnya. Tapi ah, itu
cuma hayalanku saja. Mungkin karena aku terlalu memikirkannya.
“Sorry, lo siapa? Dan kenapa lo kenal gue? Lo bukan mahasiswa disini
kan. Soalnya gue gak pernah lihat.” Tanganku tiba-tiba ditarik olehnya
dan dituntun menuju sebuah mobil.
Sedan Soluna silver
sekarang tepat berada di hadapanku. Aku hapal betul itu adalah mobil
Yudha. Tapi aku tak melihat Yudha disana. Aku mencoba menengok ke dalam
mobil mencari sosok laki-laki itu. Tapi aku tak menemukannya. Sampai
akhirnya Setia menyuruhku masuk ke dalam mobil itu dan berucap padaku
jangan takut. Aku pun menurutinya.
Satu jam kemudian aku sadar bahwa
aku sekarang sedang berada di tempat parkir sebuah rumah sakit. Hatiku
berdebar tak karuan. Apalagi sedari tadi tak ada penjelasan apapun dari
Setia. Dia hanya sesekali menatapku dengan pandangan serius
dan matanya yang sedikit ku lihat bengkak. Kemudian aku masuk ke salah
satu kamar di rumah sakit itu. Di luar pintunya bertuliskan kamar IGD.
Jantungku kian berdetak kencang rasanya sendi-sendiku juga mulai terasa
sedikit linu. Membayangkan siapa yang ada di dalam sana.
“Yudha!” sontak aku kaget ketika
aku melihat seseorang di depanku ditempeli bermacam-macam alat
kedokteran. Kepala dibalut dengan perban. Dan aku semakin lemas ketika
melihat alat pendeteksi detak jantung di sebelah ranjangnya menunjukkan
tak ada detakan. Seketika itu juga aku berlari menghampiri sosok yang
terbujur kaku itu. Mataku meneteskan air mata seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini.
Aku menghampiri Setia yang sedang
berada di balik jendela kamar rumah sakit itu. “Heh, apa yang
sebenernya terjadi? Yudha kenapa? Dan lo, lo siapa sebenernya?” aku
mendorong dadanya dan bertanya pada Setia dengan nada membentak.
“Yudha kecelakaan sepuluh hari yang lalu. Mobil yang dia kendarai
menabrak pohon di pengkolan dekat rumah kami. Mobil itu meledak dan
beruntung Yudha tertolong dari percikan api,
karena saat malam itu hujan sedang turun sangat deras. Lo tadi tanya
gue siapa. Gue, adik kandungnya Yudha. Dan udah lima hari dia koma. Gak
sadar sama sekali.” Ku lihat mata Setia berkaca-kaca saat itu. Dan aku
lemas ketika mendengar ceritanya.
“Sepuluh hari yang lalu.” Hatiku teringat sesuatu. “Jam berapa kecelakaannya? Tapi tadi mobil Yudha gak apa-apa kan?”
“Waktu itu dia bilang mau temuin cewek di café Warna. Mobil Yudha pas
hari itu masih dibengkel karena lagi deperbaiki. Dan dia berangkat
sekitar jam 8 malem dari rumah, pake mobil gue. Setau gue Yudha emang
kurang bisa sama mobil matic, apalagi mobil gue kan matic. Gue udah coba
peringati dia. Bahkan gue udah bersedia nganter dia waktu itu. Tapi dia
bilang dia harus cepet-cepet karena ada seseorang yang nungguin dia.
Belum sempet gue nanya siapa orangnya dia udah langsung pergi. Dan saat
gue baru aja masuk rumah, gue denger ada suara ledakan yang kenceng
banget dan bikin gue kaget. Ternyata suara itu suara mobil gue yang
kecelakaan. Dan pas kecelakaan itu gue nemuin ini.” Setia menyodorkan
sebuah buku kecil kusam dan sebuah bunga mawar putih yang terlihat sudah
agak layu.
Aku mengambil kedua benda itu dan kemudian aku duduk di sebuah sofa yang ada di sebelah ranjang tidur. “Apa ini?”
“Aku nemu ini tepat sesaat setelah Yudha kecelakaan. Ada kemungkinan
buku dan bunga itu bakal dikasihin ke seseorang. Dan seseorang itu
mungkin aja lo Nadine.” Setia ikut duduk di sebelahku.
“Eh!” Aku kemudian menatap Setia keheranan.
“Lihat tulisan di bunga itu. Ada nama lo kan? Dari situ gue tahu kalau
mungkin saat Yudha kecelakaan dia emang mau pergi nemuin lo. Makanya gue
cari tahu dan gue bawa lo kesini. Mungkin setidaknya Yudha bisa
merasakan kehadiran lo.” Setia terlihat menghampiri Yudha di ranjang
tidurnya.
Aku melihat sebuah kertas yang
tertempel di bunga mawar putih itu. Disitu memang tertulis untukku. Aku
pun membuka lembaran buku kusam yang pekat oleh debu. Dan sangat
terkejutnya aku saat melihat ada fotoku disitu. Ukuran foto 3R yang
dipajang tepat di halaman pertama.
Dan anginlah yang menghembuskan
cinta ini, dimana aku tak pernah merasakan sebelumnya. Tapi wanita ini
membuat hatiku senang apabila aku melihat senyumannya. Nadine Sesilia
Paramita. Sungguh aku sangat menyayangimu. Tapi entah harus aku mulai
darimana untuk menjelaskan semuanya. Karena selama ini aku merasa kamu
tak pernah peka dengan apa yang aku lakukan untukmu. Sebenarnya aku tak
bermaksud pamrih, hanya saja apa salah jika aku mencintai kamu saat ini?
Aku memang tak bisa dan memang tak biasa dengan bersikap romantis atau
seperti layaknya pria lain di luar
sana. Harapan ini rasanya memang sia-sia. Maka dari itu aku sedikit
menjaga jarak. Setidaknya aku sadar diri dengan posisiku yang hanya
menjadi seorang teman bahkan hanya menjadi sahabat katamu. Maaf jika aku
tiba-tiba menghilang. Aku takut perasaanku terlalu dalam dan semakin
mendalam lagi. Aku tak mau ada yang tersakiti. Aku tahu kamu sangat
menyayangi pacarmu, maka dari itu aku ingin menjauh saja darimu. Hanya
bisa aku tulis dalam diary ini semua yang indah tentang dirimu. Semua
pujian untukmu, puisi dan cerita indah lainnya. Maaf jika aku suatu saat
pergi membawa rasa sayang ini hingga jauh. Untukmu yang terkasih.
Nadine.
Air mataku tak terasa telah
menetes. Tulisan itu yang aku baca dalam buku usang ini. Aku tak pernah
tau jika Yudha menyayangiku. Aku langsung menghampiri Yudha. Bibirku tak
sanggup berkata apapun rasanya sangat berat sekali, aku hanya bisa
menangis di hadapannya. “Yud, lo harus bangun.” Hanya itu yang sanggup
aku katakan dengan suara lirih. Yudha masih terlihat kaku.
“Dokter bilang harapan untuk
hidupnya sangat kecil, Yudha banyak sekali kehilangan darah pas
kecelakaan itu. Apalagi Yudha punya penyakit kanker darah. Kakinya patah
karena terjepit pintu mobil.” Setia mengelus kepalaku.
“Apa? Leukemia?” aku menatap Setia. Dia hanya mengangguk lemas tanpa ada
kata-kata lagi dari bibirnya. “Dan sekarang lo pasrah aja kakak lo kaya
gini, hah?” emosiku mulai terkoyak.
“Gak ada yang bisa gue lakuin selain berdoa. Karena dokter pun
sebenarnya udah maksimal ngurus semua. Tapi yang punya takdir kan hanya
Tuhan.” Setia terlihat terpukul.
Tiba-tiba saja jari tangan Yudha
terasa bergerak saat aku pegang. Dan alat pendeteksi detak jantungku
terlihat dengan bergaris-garis naik turun yang hidup. Aku menarik nafas
panjang. Sedikit demi sedikit Yudha terlihat membuka kedua matanya.
“Nad…diiinnne. Ah…” terdengar suara lirih keluar dari bibir Yudha. Aku
dan Setia saling menatap satu sama lain. Kami berdua terkejut bercampur
senang.
“Iya Yud, gue disini.”
“Maaf ya gue gak dateng pas lo sms. Gue telat berangkatnya dan…”
“sssttt. Itu gak penting Yud. Maafin gue juga kalau gue selama ini gak peka sama lo.” Aku mencium kening Yudha.
“Jadi lo udah baca diary gue?” Yudha terlihat menatap Setia, adiknya.
Setia hanya mengedipkan mata kanannya kepada Yudha. Aku menunduk dan
tersenyum.
“Gue juga suka sama lo Yud. Makasih buat kebaikan lo selama ini. Gue
seneng udah kenal sama lo.” Tubuhku memeluk erat Yudha yang masih
terbaring lemah.
Baru saja lima menit rasanya kami berbincang, tiba-tiba aku merasakan nafasnya Yudha sesak. Dan …
“Maaf, kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi Tuhan punya kehendak lain.” Dokter berkata seraya pergi meninggalkan kami.
“Yudhaaaaaa!!” aku sontak menjerit. Dan Setia merangkulku menjadi sandaran tangisanku.
Hari ini, 25 Desember 2011. Hujan
turun dengan derasnya. Seperti satu jiwa denganku. Kesedihan yang
mendalam ini sangat amat terasa sampai ke seluruh tubuh. Saat-saat
terakhir di rumah sakit satu bulan yang lalu belum bisa aku lupakan.
Masih jelas terbayang wajah Yudha yang saat itu aku peluk dengan erat.
Tapi hidup terus berjalan dan aku tak bisa terus-menerus ada dalam kotak
kesedihan. Aku yakin, Yudha sudah tenang disana. Dan aku tak akan
pernah melupakan semua kenangan dengannya.
Sekarang aku tahu. Ternyata cinta
bisa hadir dari orang ‘dingin’ sekalipun. Cinta tak pandang siapa dan
tak penting bagaimana cara ia memulainya. Cinta takkan terhalang oleh
apapun dan oleh siapapun. Hanya waktu yang bisa menjawab dan hanya jarak
yang dapat memisahkan kedua insan yang sedang jatuh cinta.
Love of The Task
06.28 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar