Jemari tangan Aisyah masih menari
di atas tuts-tuts piano tua itu. Menebarkan jutaan nada yang berdenting
halus memukau jiwa. Dia masih asyik memanjakan hasratnya, terbelenggu
dalam lantunan melody yang terangkai merdu. Dia masih sibuk disana,
menghabiskan waktu untuk bermain alat musik kegemarannya.
Nampaknya lantunan melody piano
berhasil memenangkan pendengarannya. Aisyah kini tak menyadari handphone
nya telah ribut berkicau cukup lama.
Setelah cukup puas bermain, Aisyah lalu memilih untuk menyudahi konser
kecilnya. Betapa lelah otot-otot serta jemari mungil itu. Sambil
berelaksasi, dia memalingkan wajah dan seketika menyadari bahwa dirinya
baru saja mendapatkan mini heart attack.
Dengan segera dia beranjak dari kursi kecil itu. Diraihnya sebuah handphone yang sedari tadi terkapar dan teracuhkan di atas sofa. Dengan hati penuh kecemasan, Aisyah membuka gadget mungilnya dan mendapati beberapa unread messages serta missed calls dari Nanda sang kekasih. Kini perasaannya semakin tak tenang.
Benar saja, semua pesan yang
dibaca dengan perasaan was-was dan takut itu kini menjelaskan secara
terang benderang. Seperti biasanya, Nanda mulai berkicau panjang lebar,
marah-marah dan banyak meletakkan tanda seru di setiap kalimat yang dituliskannya.
Ya, Aisyah tak begitu terkejut
mendapati dirinya dibantai habis-habisan dengan kalimat yang tidak enak.
Dia tau betul sifat pacarnya itu, yang selalu marah-marah jika smsya
lambat dibalas, telponnya tak kunjung diangkat, mention twitter
tenggelam, atau jika Aisyah sedang sibuk melakukan sesuatu sehingga
dianggap tidak perhatian dan melupakannya. Memang ini terlihat sangat
complicated, tetapi gadis ini masih bersabar. Telapak tangannya lalu
diusapkan lembut di dada. Dia tidak mau ikut-ikutan tersulut emosi. Ya,
setidaknya hanya untuk mendinginkan suasana kala itu. Tidak ada guna
berkelahi, pikirnya.
Jalan raya
itu kini semakin ramai. Berisikan insan yang hendak kembali ke rumah
setelah lelah beraktivitas seharian. Tergambar jelas pergulatan antara mobil dan motor kala itu. Saling bersaing menebarkan polusi udara dimana-mana.
Nanda mulai mengerutkan dahinya. Berulang kali menerobos pandang ke arah luar dari balik kaca jendela sebuah café.
Dia memang sengaja memilih tempat di pojokan, tepat menghadap kaca
jendela berukuran sekitar 3×2 meter yang berornamen kupu-kupu.
Satu-satunya alasan yaitu karena tempat itu dirasa sangat strategis
untuk segera menangkap bayangan orang yang ditunggunya jika telah tiba
nanti. Berulang kali Nanda mengganti posisi duduk sembari meremas-remas
jemarinya dengan gelisah. Memang hal menyebalkan apalagi yang sedang
dilakukannya selain menunggu Aisyah?
Tak berapa lama kemudian sang
gadis yang ditunggupun akhirnya datang. Tersirat jelas raut wajah Aisyah
yang gelisah, jauh lebih gelisah daripada sosok di hadapannya itu. Dia
tau pasti Nanda akan marah dan ngomel-ngomel lagi.
“Kenapa lama sekali sih!” Nanda
memulai pembicaraan dengan nada ketus. Tentu saja itu bukan cara memulai
pembicaraan yang baik, apalagi kepada seorang wanita.
“A-aku baru pulang kuliah” Dengan gugup Aisyah lalu mengambil tempat tepat di depannya.
“Bukannya kamu sudah keluar dari setengah jam yang lalu? Naik taksi
kesini butuh waktu selama itu ya?” Nanda berbicara seolah menyudutkan
posisi gadis yang sedang duduk tepat di hadapannya.
“Ya kamu sabar dong. Kan aku pulang juga gak langsung buru-buru naik taksi” Aisyah berusaha menjelaskan dengan tenang.
“Iya, kan masih asyik cerita dengan teman-teman cowok kamu hahaha” Nanda
mulai menyindir lagi. “Tega banget ya, sudah tau kita udah janjian
ketemu, eh kamu malah sengaja biarin aku nunggu lama”
“Ya ampun Nanda, bukan begitu. Ah mau dijelasin kayak
apa juga pasti kamu tetap bakal marah dan gak percaya kan. Ya udah
maaf” Gadis itu tertunduk, mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Dia
sungguh kecewa dengan sikap pacarnya barusan.
Aisyah kini menjadi serba salah.
Dia kebingungan merangkai kata untuk menjelaskan semuanya. Karena dia
tau apapun dan bagaimanapun penjelasan yang diberikan, ujung-ujungnya
dia tetap akan menjadi kambing hitam yang selalu terpojokkan dan tidak
memiliki hak untuk membela diri. Mengapa semua menjadi serumit ini?
“Ya udahlah kita lupain aja
masalah itu. Yang penting sekarang kamu sudah datang” Seperti ada
sedikit cahaya di mata Aisyah ketika mendengarnya. Akhirnya Nanda sudah
tidak mempermasalahkan hal tadi lagi. Gadis bermata cokelat itu kini
bisa sedikit bernapas lega.
“sekarang ini aku mau certain ke kamu tentang temen kerja aku di kantor.
Dia itu sangat menyebalkan!” Nanda seperti robot yang sudah disetting
untuk selalu marah. Baru saja satu masalah terselesaikan kini ada saja
masalah baru yang muncul. Aisyah tau hal apa yang harus dilakukannya
sehabis ini. Seperti biasa dia hanya harus ‘mematung’. Ya, layaknya
boneka yang hanya disuruh diam mendengarkan keluh kesah si pemilik tanpa
berucap apapun. Seperti mainan pelampiasan emosi.
Tentu saja mood
Aisyah jadi berubah total. Dia capek-capek pulang kuliah hanya untuk
mendengarkan cerita gak penting cowok itu? Aisyah tertunduk lagi,
matanya sayu. Sabar Aisyah, sabar saja dulu. Batin Aisyah
menjerit-jerit. Nanda ternyata cukup peka dalam melihat perubahan mimik
wajah kekasihnya. Tetapi bukan hanya itu, perhatiannya kini lebih
tertuju pada kedua kelopak mata Aisyah.
“Hey tunggu dulu, apa itu di mata kamu?” Nanda mulai memicingkan kedua bola matanya.
“Apa? Oh ini eye liner. Memangnya kenapa?”
“Kamu kok tumben pakai kayak gituan? Aku gak suka, gak natural! Gak usah
ikut-ikutan teman-teman kamu yang dandanannya menor! Jangan-jangan kamu
mau memikat hati cowok lain!” Nanda melipat kedua tangannya, melotot
hingga kedua bola matanya hampir melompat keluar beserta saraf-saraf
yang timbul di dahinya. Wajahnya nampak sangat merah seperti tomat yang
sudah matang.
“Ya Ampun, apa-apaan sih kamu ini. Aku pakai ginian aja kamu sampai
mikirnya negative kayak gitu? Kamu tega sekali ngomong seperti itu. Kamu
gak pernah mikir perasaanku Nanda!” Seketika Aisyah shock. Seperti ada
papan kayu besar yang menumbuk dadanya. Lagi-lagi dia salah, selalu
salah.
“Sudahlah Nanda. Jika kita lanjutkan perbincangan ini, akan ada ratusan
lagi topik perkelahian baru yang kita mulai. Lebih baik aku pulang saja
sekarang”
Aisyah langsung berpaling tanpa menunggu jawaban dari lelaki yang nampak
geram di belakangnya. Dia memilih untuk tidak menggubris setiap
pandangan mata orang-orang sekitar yang melihat ke arah mereka berdua.
Apalagi menggubris cerocosan penuh amarah sang kekasih. Sungguh tak
penting lagi. Saat itu pikirannya hanya satu, pulang.
Aisyah kini mendapati dirinya sedang duduk di kursi belakang sebuah angkot tua yang penuh sesak. Irama lagu rock
anak muda jaman sekarang sedang ramai bersenandung memekan telinga.
Namun jauh di dalam sana, di hati Aisyah, dia sedang kesepian.
Pikirannya campur aduk. Dia masih tidak habis pikir dengan sikap orang
yang disebutnya sebagai kekasih itu. Yang seharusnya mendukungnya dalam
berbagai hal, termasuk kuliah. Tetapi kenyataannya tidak. Dia kini
menjadi lebih risau ketika teringat akan ujian blok yang harus
dihadapinya besok. Namun karena pertemuan tak berarti tadi, waktu
belajar dan pikirannya harus tersita. Otaknya kini sudah lelah. Batinnya
terselimuti oleh gundah.
Sore itu awan mulai bergeser merebut posisi matahari. Menutupi bola api
raksasa sehingga menaburkan eksotika warna jingga di langit. Ah, efek
tyndal memang selalu cantik. Tergambar jelas lukisan Tuhan yang mampu
mempesona setiap pasang bola mata. Subhanallah, Sunggu indah ciptaanMu
ya Rabb, Tuhan semesta alam.
Terdengar pelan suara langkah
kaki Aisyah yang menginjak kerikil-kerikil kecil sepanjang menelusuri
sebuah jalan setapak menuju tempat untuk pulang, rumah. Dia sedang
galau. Seperti sesuatu yang teramat berat sedang ditopang batinnya.
Beribu kali segala pikiran-pikiran buruk coba dihempaskan, tetapi
nyatanya tak bisa. Segala hal buruk yang terjadi telah sukses
menggerogoti semua memorinya hingga habis sudah segala yang baik di
sana.
Dia menjadi lebih sakit hati
ketika mengingat saat dirinya dituduh selingkuh dengan teman sekelasnya
hanya karena terpaksa menerima ajakan temannya untuk diantar pulang.
Menerima tawaran itu bukan tanpa alasan. Saat itu semua tugas kelompok
baru saja terselesaikan di saat hari telah cukup larut dan akan bahaya
jika dia naik taksi sendiri malam-malam. Sekalian juga rumah mereka
searah. Tetapi Nanda dengan segala keegoisannya tetap tak mau mengerti.
Selalu saja begini.
Aisyah lalu tersadar dari lamunan
masa lalu itu. Dia secara refleks menggoreskan lekukan tipis di pipi
yang disebut senyum. Senyuman itu palsu, tercurah dari dalam hati yang
lebam dan membiru. Ini untuk kesekian kali dia pulang dari bertemu
kekasih dalam keadaan berkelahi.
Baru saja dia sampai di depan
rumah dan hendak memegang daun pintu yang berlapis logam alumunium,
tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara adzan dari arah barat. Seketika
cairan hangat berwarna bening di pelupuk matanya tumpah, tak mampu
terbendung. Tidak, kali ini Aisyah tak kuat lagi.
“Ya Allah, aku lelah dengan semua ini. Aku ingin pulang. Aku ingin
kembali kepadaMu. Aku telah pergi terlalu jauh, semakin jauh dariMu” dia
kini menjerit dalam hati yang merana. Namun hanya isak tangis yang
mampu terdengar pelan karena berusaha ditahan.
Sejujur tubuhnya terasa lemas. Kepalanya pusing, telapak tangannya
terasa dingin. Dia lalu mengambil beberapa langkah gontai menuju kamar
mandi.
Gemericik air mulai terdengar.
Air wudhu itu kini mengalir membasahi tubuh Aisyah. Kening yang lama tak
mencium sajadah kini mulai sujud menyembah Allah. Di saat seperti ini
tubuhnya terasa kaku. Dirinya terasa bagaikan debu.
Ya Tuhanku, aku bukan siapa-siapa di mataMu. Bisikan itu terdengar jauh
dari dalam hatinya. Ya, suara hati yang sekian lama tak pernah berucap.
Dia kini bercerita, mengadu, berkeluh kesah kepada Tuhan-nya, Allah.
Sajadah itu kini mulai basah karena air mata Aisyah yang tumpah. Dia
kini terisak, menangis, tersedu-sedu.
Segala memori silam seperti
terputar kembali. Flashback tentang semua hal yang terjadi dalam
hidupnya. Dia kembali teringat di masa saat Nanda belum membubuhkan
benih-benih yang disebut cinta. Dia teringat saat dirinya bebas bergaul
dengan siapa saja. Dia teringat saat warna merah muda dan film Barbie
menjadi kesukaannya. Walaupun itu terlalu kekanak-kanakan. Bukan seperti
dirinya saat ini yang ‘terpaksa’ menyukai warna biru dan segala jenis
film action yang menurutnya sama sekali tak ada bagus-bagusnya. Dia juga
teringat saat IPK di atas 3 selalu menjadi nilai akhir di setiap
semesternya. Tetapi sekarang? Nilainya sungguh merosot tajam. Semua hal
baik dimasa lalu harus dibiarkan padam hanya demi sesosok lelaki tampan.
Aisyah kini menangis
sejadi-jadinya ketika mengingat semua hal buruk yang menimpa hidupnya.
Jadi ini salah siapa? Dia kini menyadari bahwa kehadiran Nanda hanya
akan memperburuk keadaan, hanya akan menghambat masa depan. Bahkan
dialah tersangka dari semua ini. Aisyah menyadari ini tak sebanding.
Antara apa yang dia berikan dan yang justru dia dapatkan.
Tiba-tiba suara hatinya
terdengar. Berontak, menjerit dalam diam. “Aku harus berubah! Aku harus
kembali seperti Aisyah yang dulu” dan saat itu, di satu waktu, Allah
masih setia mendengarkannya mengadu.
“Apa yang pantas aku pertahankan
dari pacar posesif kayak gitu? Aku merasa bodoh sekali selama ini. Mau
dijadikan manekin yang harus selalu patuh dengan segala perintah.
Padahal dia sama sekali tidak menyumbangkan hal baik dalam hidupku.
Hanya cinta semu yang justru menghanyutkan. Hanya menggantungkan asa
yang kini remuk tak berbentuk”
Aisyah seperti sedang menasehati diri sendiri. Menyadari apa yang selama
ini dilakukannya salah. Menyadari bahwa cinta bukan semata mengikuti
kemauan si dia. bukan juga menjadi orang lain dan rela kehilangan jati
diri.
“Aku harus berubah. Layaknya sebuah ulat yang bermetamorfosis menjadi
kupu-kupu. Kenangan-kenangan masa indahku yang sempat terkubur harus aku
gali kembali. Jati diri yang sempat hilang harus aku raih lagi. Masa
lalu yang kelam bersama lelaki itu harus segera aku tinggalkan. Karena
cinta seharusnya saling
mendukung, bukan semata mengikuti kemauan salah satu pihak dan
mengekang yang lainnya. Sama sekali bukan simbiosis parasitisme
melainkan mutualisme” seperti mendapat semangat baru. Kini Aisyah tau
bahwa dirinya yang dulu telah kembali, bahkan bermetamorfosis menjadi
pribadi yang lebih kuat dan tegar untuk memperbaiki diri dan belajar
dari masa lalu yang kelabu. Tekad Aisyah sudah bulat. Hubungan yang
selama ini telah dijalin bersama Nanda akan segera dia putuskan esok.
Tak perlu lagi membuang waktu untuk lelaki yang tak bisa menghargai
perempuan yang mencintainya. Jangan biarkan cinta membodohimu.
Ketika kamu merasa tak ada seorangpun yang mau mendengarkanmu
Sesungguhnya Allah adalah tempat terbaik untuk mengadu
Ketika kamu merasa tak ada lagi tempat untuk pulang
Sesungguhnya Allah akan selalu senang menerima dirimu untuk kembali datang
Ketika kamu merasa masalah sangat menyiksa
Sesungguhnya Allah akan selalu menjamah setiap doa hambaNya
Bagi mereka yang mau menengadahkan tangan, mengikhlaskan jiwa, untuk mendekatkan diri pada sang Pencipta.
Kedua telapak tangan Aisyah yang
sedari tadi menengadah ke langit tuk memohon kepada sang Khaliq, mulai
diusapkan ke wajah sambil berkata ‘amin’.
Dia tau, kini pemikirannya telah kembali jernih. Perempuan itu lalu
tersenyum bahagia dan berterima kasih kepada Tuhan-nya, Allah SWT, sang
maha penyayang atas segalanya. Dia sekarang merasa jauh lebih tenang.
Seharusnya pinta Tuhanmu-lah yang selalu kamu turuti. Bukan malah
kekasih duniawi yang diijinkanNya untuk mengisi hidupmu saat ini.
Ingatlah ungkapan klise yang mengatakan ‘Pacarmu belum tentu Jodohmu’
Seharusnya Tuhanku, Bukan Kamu!
07.15 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar