Diberdayakan oleh Blogger.

Seharusnya Tuhanku, Bukan Kamu!

Jemari tangan Aisyah masih menari di atas tuts-tuts piano tua itu. Menebarkan jutaan nada yang berdenting halus memukau jiwa. Dia masih asyik memanjakan hasratnya, terbelenggu dalam lantunan melody yang terangkai merdu. Dia masih sibuk disana, menghabiskan waktu untuk bermain alat musik kegemarannya.
Nampaknya lantunan melody piano berhasil memenangkan pendengarannya. Aisyah kini tak menyadari handphone nya telah ribut berkicau cukup lama. Setelah cukup puas bermain, Aisyah lalu memilih untuk menyudahi konser kecilnya. Betapa lelah otot-otot serta jemari mungil itu. Sambil berelaksasi, dia memalingkan wajah dan seketika menyadari bahwa dirinya baru saja mendapatkan mini heart attack.
Dengan segera dia beranjak dari kursi kecil itu. Diraihnya sebuah handphone yang sedari tadi terkapar dan teracuhkan di atas sofa. Dengan hati penuh kecemasan, Aisyah membuka gadget mungilnya dan mendapati beberapa unread messages serta missed calls dari Nanda sang kekasih. Kini perasaannya semakin tak tenang.
Benar saja, semua pesan yang dibaca dengan perasaan was-was dan takut itu kini menjelaskan secara terang benderang. Seperti biasanya, Nanda mulai berkicau panjang lebar, marah-marah dan banyak meletakkan tanda seru di setiap kalimat yang dituliskannya.
Ya, Aisyah tak begitu terkejut mendapati dirinya dibantai habis-habisan dengan kalimat yang tidak enak. Dia tau betul sifat pacarnya itu, yang selalu marah-marah jika smsya lambat dibalas, telponnya tak kunjung diangkat, mention twitter tenggelam, atau jika Aisyah sedang sibuk melakukan sesuatu sehingga dianggap tidak perhatian dan melupakannya. Memang ini terlihat sangat complicated, tetapi gadis ini masih bersabar. Telapak tangannya lalu diusapkan lembut di dada. Dia tidak mau ikut-ikutan tersulut emosi. Ya, setidaknya hanya untuk mendinginkan suasana kala itu. Tidak ada guna berkelahi, pikirnya.
Jalan raya itu kini semakin ramai. Berisikan insan yang hendak kembali ke rumah setelah lelah beraktivitas seharian. Tergambar jelas pergulatan antara mobil dan motor kala itu. Saling bersaing menebarkan polusi udara dimana-mana.
Nanda mulai mengerutkan dahinya. Berulang kali menerobos pandang ke arah luar dari balik kaca jendela sebuah cafĂ©. Dia memang sengaja memilih tempat di pojokan, tepat menghadap kaca jendela berukuran sekitar 3×2 meter yang berornamen kupu-kupu. Satu-satunya alasan yaitu karena tempat itu dirasa sangat strategis untuk segera menangkap bayangan orang yang ditunggunya jika telah tiba nanti. Berulang kali Nanda mengganti posisi duduk sembari meremas-remas jemarinya dengan gelisah. Memang hal menyebalkan apalagi yang sedang dilakukannya selain menunggu Aisyah?
Tak berapa lama kemudian sang gadis yang ditunggupun akhirnya datang. Tersirat jelas raut wajah Aisyah yang gelisah, jauh lebih gelisah daripada sosok di hadapannya itu. Dia tau pasti Nanda akan marah dan ngomel-ngomel lagi.
“Kenapa lama sekali sih!” Nanda memulai pembicaraan dengan nada ketus. Tentu saja itu bukan cara memulai pembicaraan yang baik, apalagi kepada seorang wanita.
“A-aku baru pulang kuliah” Dengan gugup Aisyah lalu mengambil tempat tepat di depannya.
“Bukannya kamu sudah keluar dari setengah jam yang lalu? Naik taksi kesini butuh waktu selama itu ya?” Nanda berbicara seolah menyudutkan posisi gadis yang sedang duduk tepat di hadapannya.
“Ya kamu sabar dong. Kan aku pulang juga gak langsung buru-buru naik taksi” Aisyah berusaha menjelaskan dengan tenang.
“Iya, kan masih asyik cerita dengan teman-teman cowok kamu hahaha” Nanda mulai menyindir lagi. “Tega banget ya, sudah tau kita udah janjian ketemu, eh kamu malah sengaja biarin aku nunggu lama”
“Ya ampun Nanda, bukan begitu. Ah mau dijelasin kayak apa juga pasti kamu tetap bakal marah dan gak percaya kan. Ya udah maaf” Gadis itu tertunduk, mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Dia sungguh kecewa dengan sikap pacarnya barusan.
Aisyah kini menjadi serba salah. Dia kebingungan merangkai kata untuk menjelaskan semuanya. Karena dia tau apapun dan bagaimanapun penjelasan yang diberikan, ujung-ujungnya dia tetap akan menjadi kambing hitam yang selalu terpojokkan dan tidak memiliki hak untuk membela diri. Mengapa semua menjadi serumit ini?
“Ya udahlah kita lupain aja masalah itu. Yang penting sekarang kamu sudah datang” Seperti ada sedikit cahaya di mata Aisyah ketika mendengarnya. Akhirnya Nanda sudah tidak mempermasalahkan hal tadi lagi. Gadis bermata cokelat itu kini bisa sedikit bernapas lega.
“sekarang ini aku mau certain ke kamu tentang temen kerja aku di kantor. Dia itu sangat menyebalkan!” Nanda seperti robot yang sudah disetting untuk selalu marah. Baru saja satu masalah terselesaikan kini ada saja masalah baru yang muncul. Aisyah tau hal apa yang harus dilakukannya sehabis ini. Seperti biasa dia hanya harus ‘mematung’. Ya, layaknya boneka yang hanya disuruh diam mendengarkan keluh kesah si pemilik tanpa berucap apapun. Seperti mainan pelampiasan emosi.
Tentu saja mood Aisyah jadi berubah total. Dia capek-capek pulang kuliah hanya untuk mendengarkan cerita gak penting cowok itu? Aisyah tertunduk lagi, matanya sayu. Sabar Aisyah, sabar saja dulu. Batin Aisyah menjerit-jerit. Nanda ternyata cukup peka dalam melihat perubahan mimik wajah kekasihnya. Tetapi bukan hanya itu, perhatiannya kini lebih tertuju pada kedua kelopak mata Aisyah.
“Hey tunggu dulu, apa itu di mata kamu?” Nanda mulai memicingkan kedua bola matanya.
“Apa? Oh ini eye liner. Memangnya kenapa?”
“Kamu kok tumben pakai kayak gituan? Aku gak suka, gak natural! Gak usah ikut-ikutan teman-teman kamu yang dandanannya menor! Jangan-jangan kamu mau memikat hati cowok lain!” Nanda melipat kedua tangannya, melotot hingga kedua bola matanya hampir melompat keluar beserta saraf-saraf yang timbul di dahinya. Wajahnya nampak sangat merah seperti tomat yang sudah matang.
“Ya Ampun, apa-apaan sih kamu ini. Aku pakai ginian aja kamu sampai mikirnya negative kayak gitu? Kamu tega sekali ngomong seperti itu. Kamu gak pernah mikir perasaanku Nanda!” Seketika Aisyah shock. Seperti ada papan kayu besar yang menumbuk dadanya. Lagi-lagi dia salah, selalu salah.
“Sudahlah Nanda. Jika kita lanjutkan perbincangan ini, akan ada ratusan lagi topik perkelahian baru yang kita mulai. Lebih baik aku pulang saja sekarang”
Aisyah langsung berpaling tanpa menunggu jawaban dari lelaki yang nampak geram di belakangnya. Dia memilih untuk tidak menggubris setiap pandangan mata orang-orang sekitar yang melihat ke arah mereka berdua. Apalagi menggubris cerocosan penuh amarah sang kekasih. Sungguh tak penting lagi. Saat itu pikirannya hanya satu, pulang.
Aisyah kini mendapati dirinya sedang duduk di kursi belakang sebuah angkot tua yang penuh sesak. Irama lagu rock anak muda jaman sekarang sedang ramai bersenandung memekan telinga. Namun jauh di dalam sana, di hati Aisyah, dia sedang kesepian. Pikirannya campur aduk. Dia masih tidak habis pikir dengan sikap orang yang disebutnya sebagai kekasih itu. Yang seharusnya mendukungnya dalam berbagai hal, termasuk kuliah. Tetapi kenyataannya tidak. Dia kini menjadi lebih risau ketika teringat akan ujian blok yang harus dihadapinya besok. Namun karena pertemuan tak berarti tadi, waktu belajar dan pikirannya harus tersita. Otaknya kini sudah lelah. Batinnya terselimuti oleh gundah.
Sore itu awan mulai bergeser merebut posisi matahari. Menutupi bola api raksasa sehingga menaburkan eksotika warna jingga di langit. Ah, efek tyndal memang selalu cantik. Tergambar jelas lukisan Tuhan yang mampu mempesona setiap pasang bola mata. Subhanallah, Sunggu indah ciptaanMu ya Rabb, Tuhan semesta alam.
Terdengar pelan suara langkah kaki Aisyah yang menginjak kerikil-kerikil kecil sepanjang menelusuri sebuah jalan setapak menuju tempat untuk pulang, rumah. Dia sedang galau. Seperti sesuatu yang teramat berat sedang ditopang batinnya. Beribu kali segala pikiran-pikiran buruk coba dihempaskan, tetapi nyatanya tak bisa. Segala hal buruk yang terjadi telah sukses menggerogoti semua memorinya hingga habis sudah segala yang baik di sana.
Dia menjadi lebih sakit hati ketika mengingat saat dirinya dituduh selingkuh dengan teman sekelasnya hanya karena terpaksa menerima ajakan temannya untuk diantar pulang. Menerima tawaran itu bukan tanpa alasan. Saat itu semua tugas kelompok baru saja terselesaikan di saat hari telah cukup larut dan akan bahaya jika dia naik taksi sendiri malam-malam. Sekalian juga rumah mereka searah. Tetapi Nanda dengan segala keegoisannya tetap tak mau mengerti. Selalu saja begini.
Aisyah lalu tersadar dari lamunan masa lalu itu. Dia secara refleks menggoreskan lekukan tipis di pipi yang disebut senyum. Senyuman itu palsu, tercurah dari dalam hati yang lebam dan membiru. Ini untuk kesekian kali dia pulang dari bertemu kekasih dalam keadaan berkelahi.
Baru saja dia sampai di depan rumah dan hendak memegang daun pintu yang berlapis logam alumunium, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara adzan dari arah barat. Seketika cairan hangat berwarna bening di pelupuk matanya tumpah, tak mampu terbendung. Tidak, kali ini Aisyah tak kuat lagi.
“Ya Allah, aku lelah dengan semua ini. Aku ingin pulang. Aku ingin kembali kepadaMu. Aku telah pergi terlalu jauh, semakin jauh dariMu” dia kini menjerit dalam hati yang merana. Namun hanya isak tangis yang mampu terdengar pelan karena berusaha ditahan.
Sejujur tubuhnya terasa lemas. Kepalanya pusing, telapak tangannya terasa dingin. Dia lalu mengambil beberapa langkah gontai menuju kamar mandi.
Gemericik air mulai terdengar. Air wudhu itu kini mengalir membasahi tubuh Aisyah. Kening yang lama tak mencium sajadah kini mulai sujud menyembah Allah. Di saat seperti ini tubuhnya terasa kaku. Dirinya terasa bagaikan debu.
Ya Tuhanku, aku bukan siapa-siapa di mataMu. Bisikan itu terdengar jauh dari dalam hatinya. Ya, suara hati yang sekian lama tak pernah berucap. Dia kini bercerita, mengadu, berkeluh kesah kepada Tuhan-nya, Allah. Sajadah itu kini mulai basah karena air mata Aisyah yang tumpah. Dia kini terisak, menangis, tersedu-sedu.
Segala memori silam seperti terputar kembali. Flashback tentang semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Dia kembali teringat di masa saat Nanda belum membubuhkan benih-benih yang disebut cinta. Dia teringat saat dirinya bebas bergaul dengan siapa saja. Dia teringat saat warna merah muda dan film Barbie menjadi kesukaannya. Walaupun itu terlalu kekanak-kanakan. Bukan seperti dirinya saat ini yang ‘terpaksa’ menyukai warna biru dan segala jenis film action yang menurutnya sama sekali tak ada bagus-bagusnya. Dia juga teringat saat IPK di atas 3 selalu menjadi nilai akhir di setiap semesternya. Tetapi sekarang? Nilainya sungguh merosot tajam. Semua hal baik dimasa lalu harus dibiarkan padam hanya demi sesosok lelaki tampan.
Aisyah kini menangis sejadi-jadinya ketika mengingat semua hal buruk yang menimpa hidupnya. Jadi ini salah siapa? Dia kini menyadari bahwa kehadiran Nanda hanya akan memperburuk keadaan, hanya akan menghambat masa depan. Bahkan dialah tersangka dari semua ini. Aisyah menyadari ini tak sebanding. Antara apa yang dia berikan dan yang justru dia dapatkan.
Tiba-tiba suara hatinya terdengar. Berontak, menjerit dalam diam. “Aku harus berubah! Aku harus kembali seperti Aisyah yang dulu” dan saat itu, di satu waktu, Allah masih setia mendengarkannya mengadu.
“Apa yang pantas aku pertahankan dari pacar posesif kayak gitu? Aku merasa bodoh sekali selama ini. Mau dijadikan manekin yang harus selalu patuh dengan segala perintah. Padahal dia sama sekali tidak menyumbangkan hal baik dalam hidupku. Hanya cinta semu yang justru menghanyutkan. Hanya menggantungkan asa yang kini remuk tak berbentuk”
Aisyah seperti sedang menasehati diri sendiri. Menyadari apa yang selama ini dilakukannya salah. Menyadari bahwa cinta bukan semata mengikuti kemauan si dia. bukan juga menjadi orang lain dan rela kehilangan jati diri.
“Aku harus berubah. Layaknya sebuah ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Kenangan-kenangan masa indahku yang sempat terkubur harus aku gali kembali. Jati diri yang sempat hilang harus aku raih lagi. Masa lalu yang kelam bersama lelaki itu harus segera aku tinggalkan. Karena cinta seharusnya saling mendukung, bukan semata mengikuti kemauan salah satu pihak dan mengekang yang lainnya. Sama sekali bukan simbiosis parasitisme melainkan mutualisme” seperti mendapat semangat baru. Kini Aisyah tau bahwa dirinya yang dulu telah kembali, bahkan bermetamorfosis menjadi pribadi yang lebih kuat dan tegar untuk memperbaiki diri dan belajar dari masa lalu yang kelabu. Tekad Aisyah sudah bulat. Hubungan yang selama ini telah dijalin bersama Nanda akan segera dia putuskan esok. Tak perlu lagi membuang waktu untuk lelaki yang tak bisa menghargai perempuan yang mencintainya. Jangan biarkan cinta membodohimu.
Ketika kamu merasa tak ada seorangpun yang mau mendengarkanmu
Sesungguhnya Allah adalah tempat terbaik untuk mengadu
Ketika kamu merasa tak ada lagi tempat untuk pulang
Sesungguhnya Allah akan selalu senang menerima dirimu untuk kembali datang
Ketika kamu merasa masalah sangat menyiksa
Sesungguhnya Allah akan selalu menjamah setiap doa hambaNya
Bagi mereka yang mau menengadahkan tangan, mengikhlaskan jiwa, untuk mendekatkan diri pada sang Pencipta.
Kedua telapak tangan Aisyah yang sedari tadi menengadah ke langit tuk memohon kepada sang Khaliq, mulai diusapkan ke wajah sambil berkata ‘amin’.
Dia tau, kini pemikirannya telah kembali jernih. Perempuan itu lalu tersenyum bahagia dan berterima kasih kepada Tuhan-nya, Allah SWT, sang maha penyayang atas segalanya. Dia sekarang merasa jauh lebih tenang.
Seharusnya pinta Tuhanmu-lah yang selalu kamu turuti. Bukan malah kekasih duniawi yang diijinkanNya untuk mengisi hidupmu saat ini. Ingatlah ungkapan klise yang mengatakan ‘Pacarmu belum tentu Jodohmu’

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar