Diberdayakan oleh Blogger.

Perempuan Penunggu Embun

Malam itu, cuaca di luar begitu dingin. Sedangkan pikiranku masih saja berotasi tentang seseorang di pagi hari, berotasi dan semakin berotasi. Sampai akhirnya denting jam pun berbunyi. Sudah pukul 12 malam. Aku mencoba menghela napas panjang, dan mengatur setiap irama yang keluar. Kusejajarkan kedua kaki pada tempat tidurku. Kucoba untuk memejamkan kedua mata, namun bayangan itu pun seperti mengikuti dalam pejamku.
“Ah, sudahlah.. mengapa aku memikirkan perempuan itu?”.

Sepasang merpati hinggap di tangkai pohon. Angin semilir yang menusuk setiap nadi dan juga kulit halusku. Dingin dan juga ramah. Semburat cahaya matahari yang mulai menampakkan kebesarannya di hadapanku, tepat saat aku membuka jendela kamarku. Kulihat pohon itu, pohon yang selalu aku pandangi setiap kedua mataku terbuka di pagi hari. Pohon yang selalu menyita pikiranku saat malam tiba. Pohon yang sarat akan rasa penasaran yang tak kunjung sirna.
Ini tentang menunggu. Menunggu sesuatu yang tak seharusnya ditunggu namun kehadirannya selalu menyita setiap gerak – gerikku. Bukan tentang pohon itu, Bukan. Ini tentang seseorang yang selalu hadir di setiap pagi, di bawah pohon depan rumahku itu. Seseorang yang sampai saat ini belum kuketahui nama dan juga asalnya. Seseorang bertubuh tegap yang selalu membawa buku harian di tangan kirinya, berambut lurus dan berwarna hitam pekat, tingginya mungkin sekitar 168 cm.
Seorang perempuan penunggu embun, aku menyebutnya. Aku rindu perempuan itu. Aku rindu akan kehadirannya. Rindu akan setiap diamnya, rindu akan setiap gerak-geriknya. Perempuan yang selalu membuat aku terpaku setiap kali menatap pohon itu. Perempuan yang menghabiskan waktunya untuk menunggu. Mendedikasikan tiap detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun untuk menunggu sesuatu yang katanya akan kembali.
Kembali ke pangkuannya lagi.
Setiap pagi yang selalu dilakukannya adalah duduk di bawah pohon itu, dengan menarikan sebuah pensil di atas buku hariannya, entah apa yang dia tulis tapi sepertinya dia sangat menikmatinya. Diam-diam aku selalu memperhatikannya dari bilik jendelaku di lantai dua. Memperhatikan sekaligus penasaran dengan apa yang dia tulis dalam buku hariannya itu. Buku harian berwarna coklat lengkap dengan katup kecil di tengahnya. Sesaat dia berhenti menulis hanya untuk menengadah ke atas, seperti menyaksikan segerombolan embun yang bersemayam setiap pagi di pada helai daun. Aku tak tahu ada rahasia apa di balik embun itu, tapi sepertinya ada cerita di balik embun pagi itu. Tapi entahlah.

Saat itu di suatu pagi, kucoba melangkahkan kaki keluar rumah meski suasana di luar masih sangat dingin sekali. Kuhampiri seorang perempuan yang sangat setia menemani pagi juga embun yang berjatuhan setiap harinya. Sekilas sebelum keluar rumah kuperhatikan dia masih saja sibuk dengan buku harian serta pensilnya mungilnya itu.
“Dingin ya…” Sapa perempuan itu kepadaku.
“Eh… iya… banget…” Sapaku dengan sikap kikuk serta kedua tanganku yang masih saja sibuk menggesekkan telapak tanganku sendiri agar dapat melawan rasa dingin di pagi itu.”Emmm.. boleh aku duduk disini?”
“Oh.. iya.. Silahkan..” Perempuan itu menjawab namun tangannya masih saja sibuk dengan buku coklatnya itu.
Mataku berhenti menatap sesuatu di buku coklat itu. “Itu gambar siapa?” Tanyaku dengan penuh penasaran.
Dia memandang wajahku kemudian tersenyum simpul. “Oh… Ini. Bukan siapa-siapa kok..” Jawabnya.
Kemudian perempuan itu kembali menyapukan guratan pensilnya di atas selembar kertas putih yang telah terisi sketsa wajah seorang Lelaki setengah jadi itu. Dari samping, aku melihat bibir tipisnya menyunggingkan senyum. Senyumnya itu, seakan menawarkan berjuta rahasia yang mengundang untuk diungkap kebenarannya. Aku pun terpaku sejenak. Mata perempuan ini begitu tajam, setajam mata elang yang siap mencengkram mangsanya. Kulitnya putih dan halus. Seakan gambar sketsa yang ia buat menjadi sangat kontras dengan warna tubuhnya itu.
Perempuan penunggu embun. Dia membereskan alat tulisnya kemudian melangkah pergi meninggalkan aku yang masih duduk terpaku melihatnya. Aku tidak bisa memanggil dia. Seakan-akan suaraku seketika menghilang dan hanya bisa menatap punggung rampingnya menjauh dari pelupuk mataku.
Sial!! Aku belum sempat menanyakan namanya.

Aku menunggu lelaki itu. Lelaki yang gemar menulis puisi ditemani oleh embun pagi yang memenuhi daun-daun dan rerumputan.
Sebelum ini, tidak ada kata menunggu dalam kamus hidupku. Sebab bagiku menunggu hanyalah perbuatan yang sia-sia dan cukup melelahkan. Menunggu merupakan tindakan pasif dengan sebuah diam dan keterasingan sendiri dalam dunia yang tercipta di khayalan masing-masing.
Aku lebih suka mengeja kata mengejar. Sebab mengejar merupakan tindakan aktif untuk sesuatu yang kita harapkan. Mengejar dapat membuat kita mengerti keadaan sekitar tanpa harus berdiam diri menanti sebuah harapan seperti kata menunggu. Mengejar membuatku dapat mengejar jarak juga memangkas waktu. Membuat aku mengerti kapan harus memulai dan kapan harus berhenti.
“Hai.” Lelaki berkacamata dengan sebuah buku harian coklat di tangannya. “Kita bertemu lagi.”
Aku memalingkan wajahku, memandang matanya. “Emm, Iya…”
“Kau, sering kesini?”
“Iya, kebetulan rumahku tidak terlalu jauh dari sini.”
“Oh, tinggal di komplek ini juga?”
“Iya, Kamu?”
Lelaki itu menganggukkan kepalanya. “Emmm.. boleh aku duduk disini?”
Aku tersenyum. “Iya, Silahkan.”
Lelaki itu kemudian membuka buku harian berwarna putih itu. Rahangnya kelihatan sangat tegas bertumpu pada batang lehernya yang besar dan terlihat kokoh. Bibirnya tipis dan senyumnya membentuk sudut yang tajam di kedua pipinya yang tirus. Hidungnya mancung mirip dengan orang bule yang ada di film-film. Ia membungkus tubuhnya dengan kaus putih dan bagian atas kakinya dengan celana kain panjang berwarna hitam. Lelaki yang tampan, gumamku.
“Apa yang kamu tulis?” Ucapku dengan penuh keheranan.
Lelaki itu memalingkan wajahnya kepadaku. “Menurutmu?”
“Puisi?” Aku menaikkan alis.
Ia kembali menarikan penanya ke dalam buku hariannya itu. Entah, seperti ada degup aneh dalam jantungku semenjak pria itu hadir. Aku seperti tenggelam dalam dunia antah berantah yang tak kenal waktu.

Setelah pertemuan pertama itu, Aku menjadi sering bertemu dengannya lagi. Tepat di bawah pohon itu. Pohon yang mempunyai sejuta kenangan baginya. Pohon yang telah memberikan arti hidup katanya. Entahlah.
Kali ini, aku sudah mengetahui namanya. Alisya. Ia mulai bercerita tentang mengapa dia selalu berada di bawah pohon itu ketika pagi hari dan menggambar sebuah sosok lelaki yang dia sebut sebagai kekasihnya itu. Dia mengambar sosok lelaki itu berulang kali di buku harian coklat kesayangannya itu. Dia yakin bahwa kekasihnya itu akan datang lagi dan menjemputnya. Ia tidak tahu kapan. Tapi dia berkata kepadaku seakan dia tahu bahwa waktu itu akan datang. Waktu ketika kekasihnya datang kembali.
Aku mencoba menerima semua cerita yang dia sampaikan, serta keyakinan yang diucapkannya berulang-ulang. Entah sudah berapa kali dia mengucapkannya. Aku Lupa. Tapi, perasaanku mengatakan ada yang tidak beres dengan kisah dari wanita ini. Aku belum tahu pasti, namun perasaanku seakan terus menggema tiada henti.
“Jadi, kamu akan tetap menunggunya di sini?” Tanyaku.
“Iya, Aku akan tetap menunggunya meski raga ini nantinya akan lelah sebab keyakinan ini akan mengalahkan segala kelelahan apapun.” Ucap dia dengan sangat yakin. Namun sepertinya dalam keyakinannya aku melihat sebuah kekosongan pada kedua matanya saat dia mengucapkan kata itu.
Aku melanjutkan pertanyaanku. “Kamu, benar-benar yakin dia akan kembali? Setelah sekian lama tidak ada kabar lagi?”
Tangan Alisya berhenti. Mengambang di udara. Pensil yang digenggamnya hanya berjarak 5 cm dari buku harian kesayangannya itu. Matanya kosong menatap kertas yang sudah berisi gambar dari lelaki itu. Aku masih menunggu jawabannya. Ia masih terdiam. Bibirnya terbuka, namun tidak ada sepatah kata yang dia ucapkan. Tangannya yang halus gemetar. Sangat jelas terlihat. Dan Aku mulai khawatir.
“Aku tahu dia pasti datang!!” Akhirnya perempuan itu mulai berbicara lagi. “Aku tahu, Arya pasti kembali, dia tidak pernah ingkar janji!!”
“Tapi, bagaimana kamu bisa tahu kalau-”
“Arya Pasti Datang!!!” Alisya menekankan pensilnya ke buku hariannya dengan sangat keras hingga ujung pensilnya patah. “Dia. Pasti. Datang.”
Kemudian, Alisya menutup buku hariannya dan bergegas meninggalkanku. Lagi-lagi, sebuah pertemuan yang mengambang. Terasa jelas ada sebuah kegusaran pada nada bicara Alisya ketika tadi aku mempertanyakan keyakinannya kembali. Aku tidak tahu pastinya apa yang terjadi di antara ia dan kekasihnya. Tetapi aku tahu, hal itu sangat mengganggu pikiran Alisya.

Tubuhku perlahan bangkit mencoba meraih kacamata yang ada di atas meja, kemudian kulihat jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Kemudian aku memalingkan wajahku ke depan jendela, mencoba menangkap fenomena di pagi hari. Ah, tidak. Perempuan itu, kemana dia? Mengapa dia belum nampak pagi ini?.
Tidak jauh dari sebelah rumahku ada sebuah keramaian. Tepat beberapa blok dari rumahku. Kulihat dari jendela orang – orang sedang mengerumuni sesuatu yang aku belum tahu apa itu. Mereka membentuk sebuah lingkaran dan sedang menyaksikan sesuatu di poros tengahnya. Dengan rasa penasaran, aku segera menuruni anak tangga menuju pintu depan rumahku. Segera kupercepat langkahku menuju kerumunan itu.
Napasku tertahan, udara seakan berhenti tepat di hadapanku. Sekarang di depanku sedang tergeletak sebuah mayat. Mayat seorang wanita yang bersimbah darah di sekujur tubuhnya. Mayat yang membuat degup jantung ini bekerja menjadi lebih cepat. Dia. Alisya.

Aku rindu perempuan itu, seorang perempuan penunggu embun. Seseorang yang rela menunggu kekasihnya yang ternyata baru kuketahui bahwa kekasihnya itu telah meninggal dunia 5 bulan yang lalu. Seseorang yang yakin akan harapan tentang sebuah janji suci dari ikatan batin mereka.
Tetapi, kali ini ia tidak akan pernah datang.
Alisya tidak akan pernah datang lagi. Dia sudah tenang di sana. Di Surga Sang Maha Pencipta. Ternyata dia kembali hanya untuk menjemput kematiannya saja, kemarin.
Kulanjutkan kembali pekerjaanku yang belum selesai. Menggambar sesosok perempuan. Perempuan penunggu embun. Di bawah rindang pohon dengan embun pagi yang lembut. Pohon yang sarat akan kenangan tak terduga.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar