Kau tercipta untukku, namun kau
bukan milikku. Terpesona aku memandangmu, saat pertama kali aku
mengenalmu. Andai kau bisa membaca pikiranku, betapa ruang jiwaku penuh
bayanganmu menghiasi hari-hariku. Senyum dan suaramu meneduhkan jiwaku
yang lagi galau, namun kini kau telah tiada. Hidup ini bagaikan sebuah
perahu layar yang berada di tengah samudra raya,
yang selalu diombang-ambing oleh arus dan gelombang. Demikianlah antara
aku dan kau. Peredaran waktu terus berputar silih berganti, siang
berganti malam dan malam pun berganti siang, namun kau tetap tegar
berdiri kokoh di atas wadas, memandang jauh menembus batas tuk mencari
sesuatu yang hilang dari hidupmu. Aku tak tahu, apa yang sedang kau
cari, namun dari tatapan matamu dan debaran jantungmu aku dapat
merasakan dan melihat ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan
matamu yang teduh bagiakan sebuah telaga. Dari tatapan matamu, aku tahu
kau merindukan seuntaian kata cinta dari orang yang kau sayangi. akukah
orang kau yang kau sayangi itu atau masih adakah yang lain selain aku…?
Seribu satu macam kata tanya
terus berputar-putar dalam memoriku. Mungkinkah…? Mungkinkah…?
Mungkinkah…? Mungkinkah kita bisa bersama menghabiskan sisa-sisa hidup
di tengah derasnya badai dan gelombang kehidupan…? Dan masih ada sejuta
kata mungkinkah yang selalu muncul disaat aku mengenangmu, tapi hanya
satu kata yang pasti bahwa aku selalu merindukanmu.
Kala mentari
senja mulai mengecup bibir tipis Ile Mandiri, saat sang dewi malam
mulai tersenyum manis di balik awan putih, dan ketika bayu senja
menari-nari di balik dedaunan kering, aku termenung dalam kesendirian di
bibir pantai Meting Doen, mengenang kembali sepenggal kisah yang pernah
kita lewati bersama. Sebuah kisah hidup sang anak manusia yang saling
mencinta, yang terbuai dalam mimpi-mimpi indah. Meting Doen menjadi
saksi sejarah, Meting Doen menjadi saksi bisu perjalanan cinta sang anak
manusia yang tak kesampain.
Dalam temaram senja kelabu, yang
sesaat lagi perlahan berganti warna, aku memandang di kejauhan,
kerlap-kerlip lampu di pulau Adonara mulai kelihatan, aku belum beranjak
dari Meting Doen, tempat saat pertama kali kita bertemu, saat pertama
kali kita mengikrar janji kesetiaan, tempat saat pertama kali kita
bersumpah atas nama dewa langit dan dewi bumi bahwa kita akan selalu
setia dalam suka maupun dalam duka walau jarak dan tempat memisahkan
kita. Di atas hamparan pasir putih Meting Doen untuk pertama kali kuukir
namamu. “Maria Fransisca”.
Malam semakin gelap, sang dewi
malam yang tadinya sempat tersenyum manis kepada penghuni jagat, kini
dengan malu-malu bersembunyi di balik pekatnya awan hitam. Rintik-rintik
hujan perlahan mulai membasahi bumi tempat aku berpijak. Kilat dan
Guntur sambar-menyambar seakan-akan turut merasakan getaran hatiku yang
lagi galau. Sepasang camar laut terbang
melintasi kegelapan malam di tengah rintik hujan yang semakin lebat mau
kembali ke sarangnya. Aku masih terpaku di atas pasir Meting Doen,
masih mengenang kisah cinta yang sesaat lagi memasuki episode akhir.
Bertahun lamanya kita dipisahkan oleh jarak dan tempat, kau disini dan
aku disana, tanpa terasa tujuh tahun lamanya kita berpisah. Kita
menjalani hidup kita masing-masing dalam kesendirian. Tak ada kabar
berita yang pasti tentang dirimu, surat maupun telepon apalagi sms
karena saat itu belum ada alat komunikasi secanggih sekarang, kau
menghilang bak ditelan bumi, namu satu hal yang pasti aku selalu
merindukanmu. Kerinduanku pada dirimu berakhir dengan tragis, sebuah
tragedi kemanusiaan meremukan hatiku yang telah hancur berkeping-keping,
sebuah peristiwa tragis menghancurkan cinta yang tengah kita rajut. Kau
pergi tanpa pesan, meninggalkan diriku dalam kesendirian. Diriku
sepertinya terlempar dalam lembah yang kelam, terperosok dalam jurang
kehidupan. Dalam ketidakberdayaan dan dengan tenaga yang masih tersisa,
aku berusaha bangkit mencari sosok dirimu, namun yang kudapati hanyalah
sebuah nama yang terukir indah bersalutkan tinta emas di atas sebuah
pusara “REST IN PEACE”, yah… sebuah kecelakaan maut telah merenggut
hidupmu dari sisiku, dia telah memisahkan kita. Tuhan… Begitu cepat kau
panggil dia…? Setangkai kembang di taman impian telah layu sebelum
mekar, kau telah pergi dan tak mungkin kembali.
Jam di hpku telah menunjukan angka 24.00, tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat, hampir enam jam lamanya aku menyendiri di pantai
Meting Doen. Hujan lebat sudah lama berhenti meninggalkan jalanan yang
licin dan berlumpur. Di atas pasir Meting Doen, untuk terakhir kalinya
kuukir namamu tetapi kali ini bukan di atas pasir, bukan pula di pohon
tapi namamu tetap terukir dalam kanvas hidupku. “Maria Fransiska, Kaulah
segalanya bagiku. Sosok dirimu terpatri erat dalam jiwaku. Selamat
jalan, semoga kau beristirahat dalam damai. Cerita cinta ini tak akan
pernah berakhir walau kau telah tiada, selamat jalan sayang”.
Cerita Cinta Yang Tiada Akhir
07.07 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar