Diberdayakan oleh Blogger.

The Black Basketball

Jakarta, 16 februari 2000

Hari itu cuaca sedang tidak bersahabat, langit ditutupi awan gelap dan bunyi petir pun saling bersahutan seperti pertanda bahwa akan terjadinya hujan deras. Benar saja, belum 10 menit sudah terdengar gemericik air hujan di pekarangan rumah Dita. Yap Dita, dia lebih suka dipanggil seperti itu dibandingkan dipanggil dengan nama lengkapnya yaitu Andhita. Dia menatap langit dengan wajah muram sesekali dia mencoba melihat handphone yang tergeletak di samping tempat tidurnya dan berharap mendapat sms dari pacarnya, Hadi.
“Diii… Bales sms aku donggg” bisik Dita ke jendela kamarnya yang sedang diguyur hujan. Mereka sudah berhubungan selama 8 bulan, suka duka mereka jalani bersama. Tapi akhir-akhir ini Hadi jarang memberi kabar ke Dita. Hadi memang seorang atlit basket tingkat nasional dan sekarang dia sedang dikarantina di swiss untuk mengikuti seleksi Tim basket internasional.
Dita mencoba mencari cara untuk menghilangkan kecemasannya kepada pacarnya itu. Dia menunggu hujan berhenti untuk bermain basket di lapangan dekat rumahnya. 1 jam dia menunggu akhirnya hujan pun berhenti, dia mengambi bola basketnya dan menaiki motor kesayangannya seraya pamit kepada ibunya.
“buuu, aku main basket dulu ya. Hujannya udah berhenti nih, nanti aku pulang jam 4 sore ya bu, assalamualaikum” kata Dita kepada ibunya dengan nada agak keras, karena ibunya sedang memasak di dapur.
“iyaa, hati hati di jalan ya, jalannya masih licin. Awas jangan ngebut! waalaikumsalam” sahut ibu dari dapur.
Dengan wajah datar Dita pun melajukan motornya menuju lapangan basket yang sudah menunggunya.
“akhirnya sampai juga, huffttt…” keluh Dita yang sudah tidak sabar ingin bermain dengan bola basketnya itu. Hup! Dia memasukkan 9 bola ke dalam ring basket itu. Tiba tiba pandangannya menjadi kabur dan akhirnya dia pingsan di tengah lapangan itu.
Jakarta, 22 februari 2000
“aku dimana…? Kenapa buram banget, kenapa semuanya putih? Ah ini rumah sakit ternyata” kata Dita setengah sadar.
“nakkk, kamu gak papa? Kamu udah sadarrr?” kata ibu sambil menangis.
“loh? Ibu kenapa? Kenapa Dita disini buuu?” Tanya Dita kebingungan.
“kamu terkena kanker ganas nak di otak kamu” tutur ibu dengan nada menyesal.
Dita yang tidak percaya hanya bisa menutup mulutnya dengan tangan dan menangis, cuma itu cara dia menyembunyikan kesedihannya. Hari demi hari dijalaninya dengan tanpa gairah. Sudah 7 hari sejak keberangkatan Hadi ke swiss dan hingga detik ini pun Dita masih belum mendapat kabar darinya.
“lebih baik aku sembunyikan hal ini dari Hadi biar dia bisa konsentrasi sama seleksinya” gumam Dita.
Dita tertidur, di dalam mimpinya Ia sedang bersama Hadi di New York, kota impian mereka berdua. Tapi tiba tiba Ia terbangun dari mimpinya itu karena Ibu membangunkannya untuk makan sore, ya seperti biasa menu Rumah sakit, membosankan.
Jakarta, 1 maret 2000
“yeaaayy, akhirnya aku bisa keluar dari tempat ini juga.” Sorak Dita.
Hari ini hari kepulangan Hadi dari seleksinya di Swiss, Dita pun tak sabar menunggu kedatangan pacarnya itu. Segera dia menuju bandara soekarno hatta seorang diri. Padahal Ia baru saja keluar dari rumah sakit, tapi demi pria yang Ia cintai Ia tak memperdulikannya. Pukul 16.00 pesawat yang ditumpangi oleh Hadi pun tiba, Dita celingukan mencari sosok pacarnya itu.
“duhhh, Hadi mana sih kok belum kelihatan.” Dita menggaruk kepalanya karena kebingungan
Dughhh!!! Dita menabrak seorang pria hingga terjatuh.
“awwww, sakit tau kalau jalan pake mata dong!” cerocos Dita.
“hai sayang, maaf buat kamu nunggu lama” kata pria itu. Ternyata itu adalah Hadi, sudah lama mereka tak bertemu dan Hadi pun mempunyai banyak perubahan. Di dagunya ada jenggot, memang tidak terlalu tebal. Gaya rambutnya pun diubah menjadi spiky yang dulunya acak acakan.
“ahhh? Hadiii” Dita pun langsung memeluk pria itu dan Hadi pun membalas pelukan pacarnya itu.
“eh iya kita makan yuk? Pasti kamu laper deh, kita ke tempat kita biasa makan” ajak Dita sambil cengengesan. Hadi pun cuma manggut manggut tanda mengiyakan.
Mereka berdua pun pergi dari bandara itu dan menuju tempat biasa mereka makan berdua. “tuhan aku mohon jangan ambil aku dulu, aku masih ingin berada di sampingnya” kata Dita dalam hatinya. Ia memandang wajah Hadi dengan air mata yang hampir menetes namun segera Ia hapus air mata itu sebelum terlanjur membasahi pipi mungilnya. “sayang? Dimakan dong nanti kamu sakit looh” suara itu menyadarkan Dita dari lamunannya. “eh iya, hehehe. Ya udah aku makan yaa” dalam hati Dita hanya bisa berharap agar hari hari seperti ini tak akan pernah berakhir dalam hidupnya.
Jakarta, 5 maret 2000
Pagi yang cerah, hari ini hari sabtu seperti biasa Dita sudah siap siap latihan di sekolahnya. Biasanya sih Dia dijemput Hadi, Hadi juga sering latihan bersama Dita karena Hadi sudah cukup mengenal pelatih pacarnya itu.
“heeettt, Hadi telat lagi deh pasti” gumam Dita sambil mengikat tali sepatu basketnya.
Vrooommm… Suara motor Hadi terdengar memasuki pekarangan rumah Dita yang terbilang cukup luas itu.
“pagi tante” sapa Hadi kepada ibunya Dita. “eh nak Hadi, ayo masuk dulu Dita lagi siap siap tuh kamu tunggu di dalam saja” ibu Dita tersenyum melihat sosok Hadi yang begitu gagah, rapih dan sopan itu. “haiii, tumben nih nggak telat jemput akunya” kata Dita sambil menyentil hidung Hadi. “awww, sakit tau jadi nambah pesek nihhh. Iya dong soalnya hari ini aku nggak ada jadwal latihan, tugas juga nggak begitu numpuk” jawab Hadi sambil mengacak-acak rambut Dita. “aaah, rambut aku jadi kusut giniii” Dita merapikan rambutnya itu sambil berkaca di spion motor Hadi. “hahaha, dasar lebayyy. Ayo ah kita berangkat udah telat nihh” Hadi pun menarik tangan Dita dan menyuruhnya menaiki motornya.
Jakarta, 20 maret 2000
Sayang? Kamu lagi apa? Sekarang kok kamu jadi jarang ada kabar? Aku khawatir loh sama kamu.
Klik, Dita menekan tombol SEND di ponselnya itu tapi tidak ada laporan pesan terkirim di ponselnya itu. Beberapa kali Ia mencoba menelefon tapi tidak diangkat, sms pun tidak dibalas oleh Hadi. Akhirnya Dita pun pasrah, dia merebahkan tubuhnya ke kasurnya. Tiba tiba ponselnya bergetar dan dengan sigap Ia mengambil ponselnya itu berharap Hadi yang mengirimi sms. Sedetik kemudian wajahnya berubah menjadi sendu, benar itu sms dari Hadi tapi smsnya itu membuat hatinya teriris.
Kamu bisa diem nggak?! Bawel amat sih! Waktu aku itu bukan Cuma buat kamu tau gak! Kamu nggak pernah bisa ngertiin aku yah! Dasar egois!!!
Dita yang sudah membaca sms itu langsung menutup matanya dengan bantal dan meneteskan air mata. “kamu kenapa Di? Kenapa kamu akhir akhir ini berubah? Apa salah aku Di?” Dita mengutuk dirinya sendiri mencoba mencari tau apa penyebabnya.
Jakarta, 22 maret 2000
“sayang? Maafin aku ya, kamu jangan marah begini donggg” bujuk Dita kepada Hadi yang sedang bad mood saat itu karena ulah Dita yang suka memaksa dirinya untuk diajak ketemuan dan nonton film. “bodo, suka suka aku kali” Hadi memunggungi Dita yang sedang mencoba meminta maaf kepadanya. “akuu… aku… Aku ngelakuin ini karena waktu aku nggak lama lagi Di” kata Dita dalam hatinya, Ia hanya bisa menangis karena tidak bisa melakukan apapun. “Hadi? Aku sayang banget sama kamu” Dita memeluk tubuh Hadi dari belakang, tapi dengan cepat Hadi melepaskan tangan Dita dari tubuhnya. “apaan sih? Nggak enak tau diliatin orang!” tegas Hadi, Dita pun langsung ketakutan melihat wajah Hadi yang tiba tiba berubah menjadi garang.
Di? Aku pengen banget meluk kamu, ngeluangin waktu aku sama kamu, hidup bersama kamu sampai kita tua nanti. Tapi penyakit ini menghalangi semua itu Di, aku nggak mau cerita ke kamu tentang semua ini. Jerit Dita dalam hatinya.
Satu detik… dua detik… tiga detik…
Tesss… air mata Dita meluncur membasahi pipinya. “aku mau pulang, bete. Bye.” Kata Hadi tanpa menoleh ke belakang.
Jakarta, 16 april 2000
Siang yang cerah, dihiasi dengan segumpal awan tipis. Hari ini Dita akan mengikuti turnamen final di SMA Bakti Bangsa. Dengan semangat dia pun mengambil tas sepatunya dan jersey kebanggaannya. Di jersey itu tertulis SMAN 209 dan di belakangnya tertulis nama dan nomor punggungnya “ANDHITA”, “16” dia sangat menyukai nomor 16 karena itu adalah tanggal jadian dia dengan Hadi 11 bulan lalu. Dita melajukan motornya menuju SMA Bakti Bangsa, sesampainya disana dia sudah ditunggu oleh partner setianya di lapangan, Sheila. “eh elo kemana aja? 5 menit lagi udah mau mulai nih cepetan sana ganti baju1” Sheila menyeret Dita ke kamar ganti perempuan. “pelan pelan aja Sheila sayang, gue tadi meditasi dulu biar kita menang. hahaha” celoteh Dita mencoba membuat Sheila tidak marah kepadanya. “dasar, bisa aja ya buat gue gak marah sama elo, hahaha. Ya udah sana cepettt!” suruh Sheila.
Di dalam ruang ganti Dita mencoba mengirimi Hadi sms, dengan cepat Ia mengetikkan huruf huruf di ponselnya itu.
Sayang? Hari ini aku ada pertandingan final. Aku harap kamu bisa dateng buat dukung aku dari pinggir lapangan. Oh iya kamu udah lama nggak ada kabar, kamu kemana aja? Kasih aku kabar ya. I love you Di :*
Dita tersenyum simpul, smsnya itu berhasil terkirim. Tidak lama setelah Dita mengganti pakaiannya dengan jersey kebanggaannya, ponselnya pun berbunyi.
Ya. Maaf aku nggak bisa dateng. Sibuk.
Dita sedikit kecewa dengan balasan pacarnya itu, dengan langkah gontai Ia pun keluar dari ruang ganti dan langsung ke tengah lapangan untuk melakukan hormat dan “Jump Ball”. Pertandingan berlangsung sengit, Dita yang sedari tadi bermain dengan agresif pun memasukkan banyak bola ke ring lawan. Tersisa 1 menit lagi pertandingan dan papan score menunjukkan bahwa kedua kubu seri.
“ayo! Kita pasti bisa! Masukkin satu bola dan kita menang!” seru Sheila kepada teman teman se-timnya. “Ya!!!” mereka serempak menjawab seruan Sheila. “Dit? Kamu masih kuat kan? 1 menit lagi. Kita harus berjuang!” Sheila sudah mengetahui tentang penyakit yang dialami Dita, Sheila sudah dianggap kakak sendiri oleh Dita. Ayah dan ibu Dita pun sangat dekat dengan Sheila, seperti orangtua dengan anaknya. “Insya Allah ya, ini demi kamu dan demi Hadi yang entah ada dimana saat ini” jawab Dita dengan agak lemas.
Prittt!!!
Wasit meniup tanda Time Out sudah selesai. Sheila memegang bola di pinggir lapangan dan siap untuk memberikan passing ke teman satu timnya.
Wush!
Bola tertuju ke Dita, Dita langsung mengambil ancang ancang untuk melakukan shoot. “Dita!!! Shoottt!!!” teriak Sheila.
10… 9… 8… 7… 6… 5… 4… 3… 2… 1…
Blush…
bola yang ditembak oleh Dita pun akhirnya masuk dan wasit pun meniup peluit tanda pertandingan selesai. “Ditaaa!!! Kita menanggg!!!” seru Sheila. “i-iya” Dita masih tidak percaya bahwa shootnya itu masuk. Tiba tiba pandangannya kabur, ototnya menjadi lemas, kakinya bergetar.
Satu detik… dua detik… tiga detik…
Bruk!
Sheila menoleh ke belakang dan mendapati Dita terjatuh tak sadarkan diri. Sheila berlari menghampiri Dita. “Dita?! Elo kenapa Dit? Ayo bangun Dit!!!” Sheila sangat panik, dia meminta tolong pelatih untuk memapah Dita ke pinggir lapangan. “Sheila itu kamu? Kenapa gelap? Gelap banget, ini dimana?” Dita berbisik, pandangannya samar samar.
Jakarta, 15 mei 2000
Rumah Sakit Harapan Bangsa, yap Dita sedang dirawat karena kanker ganas di otaknya itu sudah parah. Hadi yang mengetahui bahwa Dita dirawat dari Sheila langsung panik dan memacu motornya dengan cepat. “ayah? Ibu?” Dita menoleh pelan ke samping ranjangnya sambil membuka matanya perlahan. “nak, akhirnya kamu siuman juga. Ibu khawatir sama kamu sayang.” Ibu menciumi kening Dita dan meneteskan air matanya di kening Dita. “Alhamdulillah ya bu anak kita siuman juga” timpal ayahnya yang akhirnya merasa lega sudah bisa melihat Dita sudah siuman.
Di luar terdengar kegaduhan, sepertinya seorang pengunjung pasien mencoba menerobos masuk ke ruang perawatan. “sus! Biarkan saya lewat!!! Saya harus menemui pacar saya!!!” hardik Hadi kepada suster di selasar tempat Dita dirawat. “ini sudah diluar jam besuk! Besok saja!.” Jawab suster dengan tegas. “gue nggak perduli!” Hadi berlari sekencang kencangnya menuju kamar Dita.
Cklek!
Pintu kamar Dita terbuka, samar samar Dita melihat sosok yang sedang mendekatinya. “Dita! Kamu kenapa sayang?!” pekik Hadi sambil menggenggam tangan Dita erat. “aku nggak kenapa kenapa sayang” Dita tersenyum simpul, meskipun Ia tahu bahwa senyumnya itu adalah untuk menampung kesedihan yang mendalam. “sayang? Maafin aku ya selama ini aku nggak pernah bisa ngertiin kamu. Disaat kamu sibuk, aku malah ngeganggu kesibukan kamu. Maafin aku juga suka maksa untuk ketemuan sama kamu” tutur Dita sambil meneteskan air matanya, tapi aneh, Dita malah tersenyum bukannya menangis karena sedih melainkan Ia bahagia melihat Hadi di sisinya sedang menggenggam tangan mungilnya itu. “kamu nggak salah kok Dit, mungkin memang akunya aja yang terlalu kasar sama kamu. Kamu kenapa nggak pernah cerita sama aku tentang penyakit kamu ini sayang?” Hadi terlihat sangat khawatir, jelas saja tubuhnya gemetar, keringat dingin pun bercucuran, mukanya pucat. Baru kali ini Hadi terlihat benar benar sangat khawatir kepada Dita. “maaf Di, aku bukannya nggak mau cerita. Tapi aku nggak mau ngebebanin pikiran kamu dan kesibukan kamu. Aku juga gak mau bikin kamu khawatir sama penyakit aku ini.” Dita menatap mata Hadi dengan lekat.
Tuhan? Sekejam inikah diriku kepada Dita? Tuhan? Aku sangat mencintainya, aku mohon berikanlah aku kekuatanmu agar aku bisa melindungi dirinya hingga waktu ini berhenti berputar.
Jakarta, 16 mei 2000 (tepat tengah malam)
“Hadi? Di? Bangun sayang, happy anniversary 1 years ya sayang. I love you” Dita menggoyangkan tubuh Hadi dan mencium keningnya, Hadi yang tertidur pulas di samping ranjang Dita pun sontak terbangun. “hoaammm… Ada apa Dit?” Tanya Hadi, dia berpura-pura tidak mendengar ucapan Dita tadi. “ish kamu, tadi aku bilang apa? Pasti nggak denger deh, dasar tukang tidur.” Keluh Dita sambil mencubit hidung pacarnya itu. “awwww, sakit tauuu… aku denger kok sayang. Happy anniversary 1 years too ya. I love you too.” Hadi pun memeluk tubuh Dita, secepat kilat Ia mencium bibir Dita. Sesaat Dita pun syok, karena selama mereka berpacaran Ia tak pernah berciuman dengan Hadi.
Klontang!
Gelas kaleng di samping Hadi terjatuh dan itu menghentikan ciumannya dengan Dita. “nggg… itu… kamu nyium aku?” Tanya Dita keheranan. “i-iya Dit, aku sayang kamu” jawab Hadi dengan gagap.
Tuhan? Inilah waktunya, jemputlah aku. Tapi kumohon jagalah Hadi, pilihkan jodoh yang tepat untuknya. Tuhan? Aku sangat mencintainya.
“Di? Maafin aku ya?” Dita memeluk tubuh Hadi dengan erat. “maaf untuk apa?” Tanya Hadi keheranan. Dita tak sempat menjawab pertanyaan itu, dia mencium bibir Hadi. Sedetik kemudian Dita pun terkulai lemas, Hadi mencoba membangunkannya. “sayang?! Kamu kenapa?! Dokter!!! Suster!!! Tolonggg, siapapun!!!” teriak Hadi dengan panik.
Dokter pun segera datang dan menangani Dita dengan cepat. 15 menit berlalu, dokter pun keluar dari kamar Dita. “bagaimana dok? Apa pacar saya bisa diselamatkan?” Tanya Hadi dengan nada lirih. Dokter hanya menggeleng dengan wajah yang sendu. “Ditaaa!!! Kenapa kamu pergiii???!!!” Hadi berteriak histeris, air matanya langsung membanjiri pipinya.
Jakarta, 17 mei 2000
“Di, ayo kita balik” kata Sheila. “Gak!” bentak Sheila. Sheila mengerti akan perasaan Hadi saat ini, Sheila pun menepuk pundak Hadi dan beranjak pergi. Di depan Hadi tertulis sebuah nama di batu nisan “Andhita binti Himawan”. “Dit? Maafin aku selama ini yang nganggap kamu egois, aku yang egois Dit, bukan kamu. Aku mohon maafin aku Dit, semoga kamu tenang disana ya. assalamaualaikum” Hadi mencium batu nisan itu dan pergi dengan langkah gontai.
Tuhan? Apa kabar Dita disana? Aku harap Ia baik baik saja, tuhan sampaikan kepadanya bahwa aku sangat mencintai dirinya. Jagalah Ia untukku tuhan. Aku mohon sampaikan pesanku ini kepadanya. I love you Andhita.
-THE END-

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar