Diberdayakan oleh Blogger.

Maafkan Aku

Malam ini, adalah malam Minggu. Malam dimana semua pemuda dan pemudi bertumpah ruah memenuhi jalanan kota Malang. Tujuannya pun beragam. Mulai dari yang ingin pergi ke tempat-tempat romantis, hingga yang cuma jalan-jalan ke mall dengan kekasihnya pun ada. Sementara aku, Muhammad Awan Bimantara. Orang yang biasa-biasa saja, hanya bisa berdiam diri sambil terus menulis cerita pendek ini. Dan berharap, di esok hari ada bidadari yang menemaniku di malam-malam Minggu berikutnya.
“Ya Tuhan, malang nian nasibku” gumamku menyesali nasib.
Jarum jam telah membentuk sudut 90 derajat, artinya waktu menunjukkan pukul 9 malam. Belum terlalu larut malam bagiku, namun kali ini kuputuskan untuk berangkat ke alam mimpi lebih awal dari biasanya. Sebenarnya masih ada tanggungan cerpen yang harusnya kuselesaikan, namun sepertinya jiwa ini sudah terlalu lama menulis. Jemari ini sudah tak mau lagi menggenggam pensil. Ingin sekali rasanya, sesekali tangan ini menggenggam erat lembutnya tangan perempuan. Ingin rasanya, jemari ini berpautan dengan jari-jari mungil milik kekasihku nanti. Entah kapankah itu, aku yakin bahwa saat itu pasti datang. Hingga akhirnya kuterpejam.
“Tok… tok.. tok” suara pintu kamarku diketuk oleh seseorang dari luar.
“Kakak? Cepat bangun! Ayo shalat subuh, sudah ditunggu mama tuh!” suara adikku yang lantang terdengar dari luar kamar.
“Loh, sudah pagi toh?” kataku tak percaya.
Rasanya, baru sekejap aku tertidur. Sambil mengusap-usap mata, kuseret tubuh ini menuju kamar mandi. Segarnya air wudzhu yang mengalir membasahi muka, telah mengembalikan jiwa ini. Di ruang ibadah, rupanya anggota keluarga yang lain telah menungguku. Di rumah mungil ini, aku tinggal bersama anggota keluarga yang lain. Yaitu Tanti, adikku yang tahun ini menginjak kelas 6 sekolah dasar. Ibuku, yang telah membesarkan aku dan adikku. Juga ada Ayahku yang bekerja sebagai pengusaha ternak ayam potong. 17 tahun sudah aku dibesarkan dari keluarga yang kecil nan sederhana ini. Namun meski begitu, kesederhanaan ini tak pernah sedikitpun mengurangi kebahagiaan kami.
Ketika sholat subuh telah usai, semua kembali pada rutinitas serta kesibukannya masing-masing. Adikku sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya, Ibu sibuk memilih belanjaan di warung sebelah, serta Ayah yang telah direpotkan dengan mencuci motornya. Sementara aku, masih terduduk merenung di depan meja belajar. Tempat dimana karya-karyaku selama ini dilahirkan. Namun sepertinya, karyaku yang satu ini masih menolak untuk dilahirkan. Entah kenapa, terasa sangat sulit bagiku menemukan cerita penutup yang tepat. Otakku senantiasa berputar, namun tetap saja belum menemukan jawaban. Bagaikan jalan yang tertimbun oleh reruntuhan batu, berulang kali kucoba menggalinya namun tetap saja otak ini masih buntu.
“lari-lari pagi ah…” seketika fikiranku berubah, ketika melihat tetanggaku Mbak Lila sedang berlari menghirup udara pagi.
“iya, benar juga. Sesekali lari pagi kan tidak ada salahnya. Siapa tahu udara pagi dapat menyegarkan otakku.” Fikirku lagi.
Akhirnya, lari pagi menjadi pilihanku untuk mengisi minggu pagi yang luang ini. Celana olahraga panjang serta kaos bola lengkap dengan sepatu jogging warna putih telah siap sedia untuk menemaniku menembus dinginnya kabut pagi.
“Aku berangkat dulu, Assalamualaikum!” ucapku setengah berteriak.
Ditemani suara sepatu yang bergerak lincah membalut telapak kaki, kumulai dengan langkah kaki kecil dan santai. Lalu sedikit demi sedikit, bertahap ke lari yang lebih kencang dan langkah kaki yang lebih lebar.
Tujuanku hari ini tidak lain adalah CFD alias Car Free Day. Hari bebas kendaraan ini dilaksanakan oleh warga Malang setiap minggu pagi, dan terletak di kawasan Ijen yang berjarak kurang lebih 5 km dari rumah. Untuk menuju kekawasan Ijen, kali ini aku memilih untuk berjalan kaki. Kusengaja untuk tidak membawa kendaraan, karena ingin mengukur kekuatan tubuh ini. Masih layakkah tubuh ini berlari, setelah sekian lama hanya terduduk di depan meja belajar.
“Huuhhh, huuhhh, huuuhhh…” deru nafasku semakin kencang, keringat sudah tak malu lagi untuk menampakkan wujudnya.
15 menit kemudian, nampaklah kawasan Ijen yang besar dan lengang. Terlihat beberapa orang berlari, bersepeda, ataupun berjalan santai. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata. Jauh dari kesan polusi dan udara kotor.
“Fiuuhhh…” sedikit suara muncul dari mulut ketika kuusap keringat di wajah. Rasa capek dan malas rupanya telah bersekutu, membuat kaki ini serasa berat untuk melangkah. Namun tekadku sudah terlanjur bulat. Aku ingin tahu seberapa jauhkah kekuatan tubuh ini, meskipun separuh tenaga telah tersedot dalam perjalanan.
Kira-kira baru 5 menit tubuh ini melonjak-lonjak, kebosanan sudah mulai muncul. Dan sifat iseng-isengku pun mulai muncul untuk menghibur diri.
“Wah, ada olahragawati tuh. Kutantang balap lari ah…” keisenganku muncul ketika melihat cewek berbadan ramping sedang berlari-lari kecil di dalam kerumunan.
Secara diam-diam, aku terus mengikuti langkah kaki perempuan tersebut. Rambutnya yang panjang terikat, mengayun pelan bagaikan melambai padaku untuk terus mengikutinya.
“Ah, perempuan cantik seperti ini biasanya kan jarang olah raga. Palingan nanti juga gak bakal kuat 2 putaran” kataku sombong.
Lomba lari iseng-isengan ini pun dimulai. Pesertanya hanyalah kami berdua. Dan sepertinya hanya aku yang mengetahui peraturannya. Bisa dibilang aku cukup curang. Hehehe, curang sedikit kan tidak apa-apa. Hanya ada satu peraturan di dalam lomba lari ini. Yaitu, kecepatan berlari tidak terlalu diperhitungkan. Yang menjadi nilai hitung adalah jarak lari yang ditempuh. Dan siapa yang sudah tidak kuat untuk melanjutkan lari lagi, maka dialah yang kalah. Dan untungnya, perempuan yang satu ini memilih rute yang tepat. Berlari mengelilingi kawasan Ijen dari ujung ke ujung.
Satu kali putaran? masih oke. Dua putaran? masih wajarlah. Hingga akhirnya putaran ketiga, aku sudah mulai kehabisan nafas. Tapi ladies yang satu ini masih tetap saja bugar tanpa mengurangi kecepatan lari sedikitpun.
“Hosshhh, hosshhh, hosshhh..” deru nafasku terasa sudah di ambang batas.
Gila, kuat juga ya ini cewek” kataku tak menyangka.
“Memang dia yang kuat, atau aku yang lemah?” fikirku.
Namun rupanya gengsiku masih cukup tinggi. Aku tak mau dikalahkan oleh seorang cewek. Ingin sekali rasanya kaki ini terus melangkah mengejar sosok yang tak kukenal ini. Tapi apa mau dikata, jantung sudah tak lagi mau memompa. Komponen penting yang satu ini rasanya sudah mulai aus. Langkah kaki perlahan berubah semakin pelan dan akhirnya berhenti. Rasa gengsi yang tadi masih membludak, kini telah hilang terkalahkan oleh deru nafas. Sementara sosok yang berparas cantik itu, segera menghilang di balik kerumunan. Aku masih menunduk tak menyangka akan dikalahkan oleh cewek.
“Mimpi apa aku semalam? Mau ditaruh mana mukaku, kalau teman-teman tahu bahwa aku kalah lari dengan cewek?” kataku masih tak percaya dengan kenyataan.
Tak jauh dari tempatku berdiri, kulihat bakul seorang penjual jamu berada di pinggiran jalan kawasan Ijen.
“Wah, minum jamu pasti seger kali ya?” fikirku mulai tergiur.
Tanpa berfikir panjang, kuulurkan selembar uang sepuluh ribuan pada si penjual jamu.
“Bu, jamu beras kencurnya satu ya?”
Tak lama, satu gelas berukuran besar berisi beras kencur telah berada di tangan. Namun karena tempat duduk yang terbatas, duduk di pinggir trotoar pun menjadi pilihan. Belum lama aku terduduk, sebuah suara yang asing di telinga tiba-tiba mengejutkanku.
“Wah, pasti segar tuh minum jamu habis lari-lari pagi” ucapnya.
“Uhuuk, uhukk..” Aku tersedak ketika menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata, suara itu berasal dari wanita yang sedari tadi kuikuti.
“Loh, kenapa mas?” tanyanya.
“Enggak, kok mbaknya disini? Bukannya tadi lari ke arah sana ya?” kataku seraya menunjuk ke arah cewek tadi menghilang di balik kerumunan.
“Kok tahu kalau aku tadi lari ke arah sana? Berarti yang dari tadi ngikutin aku pasti kamu ya?”
“Hehehehe, ketahuan deh.” Kataku tersipu malu.
“Tapi lumayan lo mas larinya, bisa lari sejauh itu.” Pujinya.
“Udah deh, jangan meledek. Aku tahu kok siapa yang menang” kataku seraya memasang wajah masam.
“Halah, gak perlu merendah deh. Aku tahu kok, kalau kamu tadi lari dari soekarno hatta sampai kemari sebelum lomba lari denganku. Kalau aku yang jadi kamu, pastilah sudah tepar duluan.” Katanya coba menghiburku.
Aku hanya bisa tersenyum. Tak percaya bahwa ternyata dia lebih tahu dariku sejauh itu.
“Namaku Nada Jelita, mas bisa panggil aku Nada” tukasnya sambil mengulurkan tangan putihnya.
“Oh iya, dari tadi kita belum kenalan. Namaku Muhammad Awan Bimantara. Panggil saja Awan.” Jawabku seraya menjabat tangannya.
“Akhirnya Ya Tuhan, aku bisa merasakan lembutnya genggaman tangan seorang perempuan” kataku kegirangan di dalam hati. Apalagi wajahnya yang manis, dilengkapi dengan tubuh yang indah. Membuatku tak dapat memalingkan pandangan darinya.
“Wan! Kok bengong?” tanyanya keheranan ketika melihat tingkahku yang anehku.
“Ah, enggak kok. Kamu udah pesan minuman?” tanyaku menawarkan.
Belum sempat mulut ini mengatup, ternyata minuman milik Nada telah diantarkan.
“Udah kok, ini dia sudah datang” jawabnya sambil menunjuk minuman yang diantarkan oleh penjual jamu.
“Wah, suka minum jamu juga? Pantesan badan kamu langsing” godaku.
“Ah bisa aja kamu” jawabnya dengan wajah yang tersipu malu.
Obrolan pun tak berhenti sampai disitu, berlanjut kesana kemari. Mulai dari hobby, cita-cita, kesukaan, hingga keluarga. Dan dari obrolan tersebutlah, akhirnya kutahu alamat rumahnya yang hanya berbeda beberapa blok dari rumahku.
Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Cukup lama sudah kami bercengkrama menebar tawa. Dan kini waktunya bagi kami untuk kembali melangkahkan kaki. Menuju istana masing-masing, sebelum matahari kian meninggi.
“Pulang yuk!” ajak Nada.
“Ayo, lagi pula sudah mulai siang nih” kataku setuju.
Belum lama kaki kami melangkah, tiba-tiba tangan Nada menarik tanganku yang membuatku berubah haluan.
“Ada apa Nad?” tanyaku penuh keheranan.
“Kamu mau kemana Wan?”
“Ya, pulanglah. Emang mau kemana lagi?” tanyaku keheranan dengan pertanyaannya.
“Yakin mau pulang jalan kaki?”
“Ya, habis. Mau naik apa?”
“Bareng sama aku aja, aku bawa motor kok. Tuh dia” ia menunjuk ke arah motornya.
“Ah enggak deh, lain kali aja” jawabku masih agak ragu.
“Eh Wan, kamu tega apa lihat cewek nyetir sendirian?” katanya membujukku.
“Waduh-waduh, mulai keluar deh manjanya. Iya deh. Aku bareng kamu” kataku pura-pura terpaksa.
Kebetulan juga rasa pegal dikaki masih belum pulih seutuhnya. Mungkin karena ini pertama kalinya bagiku, dan aku cukup memaksakan diri hingga sedikit kecapean. Jadi, kuterima saja tawarannya.
“Wan, kamu bisa bawa motor kan?”
“Bisa emang kenapa?”
“Jadi kamu yang boncengin aku ya?”
“Loh kok gitu? Kenapa aku?”
“Ya kan emang gitu. Dimana-mana itu, cowok yang boncengin cewek. Bukan sebaliknya. Lagian kakiku masih capek nih. Mau ya?” ia kembali memunculkan rayuannya.
“Iya deh, Tuan putri” candaku.
“Bisa aja kamu” balasnya sambil mencubit pelan pipiku.
Matahari yang mulai meninggi, membuat kami harus bergegas untuk pulang. Motor matic mio milik Nada segera kupacu melewati jalanan minggu pagi yang lengang. Nada yang duduk diboncengan belakang, terasa sangat menikmati perjalanan singkat ini. Tangannya masih menempel erat di pinggangku.
Sesampainya di rumah, aku segera turun. Mengucapkan terima kasih serta sedikit berbasa-basi.
“Ini nih, rumahku. Mau mampir dulu?”
“Enggak deh, terima kasih”
“Loh kenapa? Lagian, harusnya yang berterima kasih itu aku. Udah dianterin pulang.”
“Terima kasih ya Nad” terusku.
“Iya enggak papa.”
Setelah kurasa cukup, aku pun pamit dan segera melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Namun baru satu meter kaki ini melangkah, Nada menghentikanku.
“Eh, Wan” dengan nada agak tertahan.
“Iya?” jawabku sambil menoleh kearahnya.
Namun ia hanya tertunduk dan terdiam seribu bahasa. Angin pagi yang sepoi-sepoi sempat meniup rambutnya hingga terlihat wajahnya yang penuh akan keragu-raguan. Perlahan, kulangkah kan kaki mendekati tubuhnya yang masih menunggangi kuda besi miliknya. Kutadahkan tanganku dan kuletakkan tepat di bawah dagunya. Sedikit demi sedikit, kuangkat wajahnya. Hingga aku dapat menatap jelas kedua matanya.
“Hayo ada apa? Ngomong aja lagi. Gak usah takut.” Bujukku agar ia mau mengatakan apa yang sebenarnya ingin diucapkannya.
Wajah manis miliknya yang sedari tadi menunjukkan raut keragu-raguan, kini berubah menjadi senyuman lebar ke arahku.
“Enggak kok, aku cuma mau tanya sesuatu. Bisa kan kalau minggu depan kita ke CFD lagi?”
“Hmm… Bagaimana ya? Habisnya jadwalku sibuk sih” jawabku ragu-ragu sambil memasang wajah bingung.
Disaat itu, kuberanikan diriku untuk melirik wajahnya. Raut wajah yang kecewa cukup jelas nampak padanya.
“Memangnya, kalau aku datang ke Car Free Day lagi. Kamu mau ngasih apa ke aku?” candaku sambil sedikit melemparkan senyuman.
Bagaikan melihat matahari yang terbit kembali, wajah Nada seketika berubah menjadi bahagia ketika aku menyetujui permintaannya.
“Aku traktir jamu deh” jawabnya singkat.
“Ah masak jauh-jauh ke Ijen cuma ditraktir jamu? Es krim atau apa gitu kek” ejekku.
“Udah, minum jamu aja biar kuat larinya” balasnya mengejekku.
“Wah, rupanya mulai mengarah ke kekalahanku di lomba lari tadi pagi nih. Ya udah, cepetan pulang sana. Udah siang, ntar dicariin ama tante lo.”
“Uh, sok tau! Tapi janji ya? Minggu depan harus datang?” tanyanya meyakinkan.
“Iya, putriii…” kataku seraya membungkuk layaknya seorang prajurit menghormati ratunya.
Entah apa yang terjadi, seketika suasana hening. Dalam posisiku yang masih membungkuk, aku tidak dapat melihat apa yang dilakukan oleh Nada. Namun, sepertinya ia hanya berdiam diri. Tak merespon apapun. Rasa penasaran mulai muncul di fikiranku. Kuputar sedikit leher ini hingga kepalaku mendongak ke atas. Dan tiba-tiba.
“Iiiihhh… paling bisa deh bikin aku seneng” puji Nada dengan melayangkan cubitan gemas tepat di hidungku.
“Loohh, hidungku kok dibawa?”
“Kalau mau hidungmu kembali, minggu besok harus datang ya. Sampai jumpa minggu depan”
Seketika, tuas gas ditarik kencang oleh Nada. Kupandangi sosoknya hingga akhirnya menghilang di kejauhan. Tingkahnya yang berbeda dari cewek lain, cukup membuatku tersenyum-senyum sendiri hari ini.
“Terima kasih Tuhan, Engkau telah kabulkan doaku” gumamku dalam hati.
Betapa senangnya diriku hari ini. Dengan bayangan wajahnya yang masih melekat di ingatanku, kumulai melangkah menuju dalam rumah.
“Assaalamualaikum!!!” kataku setengah berteriak.
“Waalaikumsalam” suara adikku terdengar dari arah dapur.
“Wah, Tanti pasti lagi bantuin Ibu masak. Icip-icip dulu ah.”
Karena bau semerbak makanan yang memenuhi ruangan, ditambah lagi dengan perut yang sudah mulai keroncongan. Membuat kebiasaan lamaku yang satu ini tak bisa kuhindari. Dari kecil, hoby icip-icipku ini memang sudah muncul. Apalagi ketika tercium masakan Ibu yang sangat sedap ini.
“Hari ini masak apa mbak?” kataku coba menggoda Tanti yang sedang asyik masak.
Namun bukannya jawaban atau respon yang lainnya, aku justru mendapatkan sebuah keheningan. Hanya kicauan burung gereja yang berdengung di kepalaku.
“Wah, Ibu ama adik mulai bersekutu nih” godaku lagi.
Kulihat mereka berdua sengaja tidak merespon candaanku. Mereka bersikap seolah-olah tak mendengar perkataanku. Bahkan mungkin, mereka menganggapku tidak ada. Entah kenapa, aku sendiri terheran-heran dengan sikap mereka.
“Eh bu, rupanya ada yang spesial nih hari ini. Ada yang dianterin sampai depan rumah loh.” Sindiran Tanti yang masih bersekongkol dengan Ibu. Rupanya mereka sudah menyadarinya, bahwa aku tidak pulang seorang diri.
“Iya tuh, tadi pagi katanya sih pamit mau lari pagi. Tapi kok pulangnya malah naik motor ya?” jawab Ibuku menanggapi.
“Hayooo, pagi-pagi kok udah ngomongin orang. Dosa loh!!” kataku seraya merangkul tubuh keduanya.
“Halaahhhh, gak usah ngalihin pembicaraan deh” kata Ibu yang masih saja menggodaku.
Kami bertiga pun tertawa bahagia bersama-sama. Tawa mereka berdua membuat hariku terasa semakin sempurna. Hari ini terasa begitu spesial, dan itu semua karena kehadiran Nada.
Namun dihari-hari berikutnya, komunikasi aku dan Nada berkurang drastis. Bahkan bisa disebut tanpa komunikasi sama sekali. Apalagi jadwal sekolahku yang sangat sibuk, sangat menyita waktuku hingga nyaris tak ada waktu kosong untuk sekedar hanya menghubunginya. Seiring dengan keadaan itu, hari-hariku juga menjadi seperti semula. Tak lagi ada sesuatu yang spesial. Dan yang lebih parahnya lagi, karena kesibukanku yang begitu mengurung. Hingga cerpenku yang harusnya kukirim minggu ini, belum juga terselesaikan.

Dan kini, tepat satu minggu sejak aku mengerjakan cerpenku. Malam ini adalah malam minggu, saat yang tepat bagiku untuk melanjutkan cerita pendek tentang kisah seorang jomblo tersebut. Belum terlalu lama pensil ini kugenggam, tiba-tiba.
“Ceting!!!” suara hpku berdering.
Dan betapa bahagianya aku, ternyata itu adalah sms dari Nada.
“Malem wan, lagi ngapain?” tanyanya.
“Lagi nyantai aja nih. Ngelanjutin cerpen. Kamu sendiri?” jawabku cepat.
“Sama kok, lagi nyantai aja. Eh, kamu mau gak ikut aku cari makan? Hari ini Mama lagi gak masak nih”
Mendengar ajakan tersebut, hatiku tiba-tiba tersentak bahagia. Tak menyangka akan ada kesempatan bagiku menghabiskan malam minggu dengan Nada. Tanpa pikir panjang, kusetujui ajakan tersebut.
“Boleh deh.” Jawabku singkat.
“Oke deh, aku tunggu di rumah ya?”
“Siap tuan putri”
Segera kuhempaskan baju yang sedari tadi masih melekat di tubuhku. Tanganku segera mengobok-obok lemari, mencari baju ganti yang cocok untuk malam ini. Tanpa tunggu lama, hem warna hitam dan celana jeans pun menjadi pilihan.
“Duk, duk, duk..” suara tangga kayu yang berbunyi keras ketika harus beradu dengan sepatuku.
“Loh, mau kemana kamu Ahmad? Kok tumben, rapi sekali?” tanya Ayah yang kaget melihatku keluar dengan pakaian yang rapi serta wangi.
“Eemmmm, anu yah. Ahmad mau cari makan di luar sambil cari udara segar” jawabku ragu. Takut jika Ayah akan naik darah padaku.
“Tahu sendiri lah yah, Jam segini kan udara paling segar untuk pasangan anak muda. Apalagi ini kan malam minggu.” Goda Ibuku yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar yang terletak di sebelah bagian bawah tangga.
“Iya, apalagi kalau perginya bareng sama temennya yang kemaren kesini” sambung adikku.
“Wah-wah. Sudah gede rupanya anak Ayah. Ya sudah sana berangkat.” Kata Ayah mengizinkan.
Setelah kiranya mendapat izin dari Ayah dan Ibu, segera kucium tangan keduanya dan segera pamit.
“Aku berangkat ya. Assalamualaikum” kataku dengan lambaian oleh tangan kiri dan tangan kanan yang menarik tuas gas.
“Waalaikumsalam” suara keluargaku yang masih sempat terdengar.
Motor matik milik Ayah seketika melaju. Deru mesin yang cukup kencang, bagaikan sirine yang menandakan bahwa aku sedang terburu-buru. Karena jalanan yang cukup macet oleh para pemuda dan pemudi, perjalanan pun menjadi sedikit terhambat. Tak jarang aku harus tarik ulur tuas gas dan beberapa kali rem mendadak. Setelah 15 menit perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya nampaklah istana mewah tempat kediaman Nada.
“Tiinnn.. Tiiinnn..” suara klakson seakan memanggil pemilik rumah yang hendak kuajak pergi ini.
“Hay!!!” sapa Nada dengan gembira ketika melihatku berada di depan rumahnya.
“Sebentar ya, aku ganti baju dulu.” Lanjutnya.
Karena keadaan rumah yang sepi, jadi aku memilih untuk menunggunya di luar. Aku baru tahu, ternyata Ibunya sedang pergi ke luar kota. Tak sampai 5 menit, munculah sosok cantik milik Nada. Dengan celana jeans warna biru serta baju trend masa kini yang dibalut jaket lembut semakin membuatnya terlihat anggun. Hingga aku serasa terbius oleh penampilannya.
“Sekarang mau kemana nih? Ke cafe, tempat makan, atau…”
“Atau apa?”
“A.. Atau jalan-jalan dulu? Tapi, tapi itu terserah kamu sih. Kalau kamu gak mau gak papa kok.” Lanjutku sedikit gugup.
“Emmm, bagaimana ya? Habisnya aku sibuk sih”
“Ya udah, kalau sibuk langsung cari makan aja” kataku sambil sedikit murung. Karena aku merasa tak akan bisa berlama-lama lagi dengan Nada.
“Jangan, kita nonton yuk?” ajaknya spontan.
“Loh, katanya sibuk? Kok malah ngajak nonton?” tanyaku keheranan.
“Iya, habisnya malam ini sibuk jalan sama kamu sih” godanya.
“Wah, sialan. Kena lagi deh gua. Emang paling pinter deh, kalau ngeboong” kataku seraya mencubit hidungnya yang mancung.
“Loh, hidungku?”
“Makanya, besok jangan lupa datang ke CFD ya?” candaku.
Ia hanya membalas senyuman dan langsung naik ke dalam boncenganku. Tak menunggu waktu lama, motor Ayah kembali kupacu santai menuju salah satu mall tujuan kami.
“Pritt, pritt, pritt…” suara peluit yang ditiup oleh tukang parkir terdengar merdu memandu kami untuk segera memarkir kendaraanku. Setelah kurasa mendapatkan tempat yang tepat bagi si matik, kami berdua segera menuju ke dalam mall seluas 400 meter persegi ini. Setelah memasuki kawasan mall, terasa sekali suasana yang sangat berbeda. Hawa segar hembusan AC, serta lantunan musik yang terdengar. Menciptakan suasana yang sangat nyaman bagi kami, terutama Nada. Ia nampak sangat nyaman berada di sisiku. Aku juga turut bahagia melihatnya. Entah sampai kapan kebahagiaan ini akan berlangsung, yang jelas aku tak menginginkannya pergi.
Setibanya di depan pintu masuk bioskop, puluhan judul film beserta waktu diputar telah berbaris rapi menunggu kami. Berbagai jenis dan genre film tersedia disini. Mulai dari yang drama mengharukan, hingga film action menantang. Seakan sengaja untuk membingungkan kami memilih film mana yang akan kami tonton kali ini. Hingga akhirnya, pilihan jatuh pada film ber-genre drama dari indonesia. Yaitu, perahu kertas. Film yang disutradarai oleh sutradara terkenal Hanung Bramantyo ini sukses menarik perhatian kami di antara deretan film populer luar negeri.
“Wan, kalau gitu aku pesen tiket dulu ya?” kata Nada seraya melangkahkan kakinya menuju antrian loket.
“Iya,” jawabku pelan.
Aku masih terdiam tepat di depan dinding dimana berbagai judul film terjajar rapi. Aku tak tahu harus melakukan apa dan menuju kemana. Tapi tiba-tiba sebuah ide muncul di benakku.
“Aku beli popcorn dulu aja kali ya. Siapa tahu Nada suka.” fikirku.
Segera kurubah pandangan menuju tempat untuk membeli popcorn. Rupanya tempat itu tidak terlalu ramai. Terlihat hanya beberapa orang yang antri untuk membeli camilan yang satu ini. Dan aku adalah orang keempat dalam antrian tersebut.
Sambil menunggu antrian, iseng-iseng kulihat barisan antrian menuju loket yang mengular cukup panjang. Pengunjungnya rata-rata anak muda yang sedang menghabiskan waktu di malam minggu. Tak sengaja, nampaklah wajah riang milik Nada. Kulihat ia berada di tengah-tengah antrian yang cukup jauh dari loket. Namun nampaknya ia begitu sabar. Tak nampak sedikitpun ekspresi murung ataupun kesal padanya. Ia hanya menunjukkan wajah anggunnya dan sesekali memainkan HP miliknya. Terlalu asyik kupandangi wajahnya, hingga aku tak sadar bahwa sebenarnya aku juga di dalam antrian.
“Mas, Mas!!” panggil seseorang dari arah penjual popcorn.
“Mas mau beli popcorn apa enggak? Kok diem disitu aja?” lanjut pedagang itu.
“Oh iya mbak, beli popcorn dua sama minuman yang itu dua ya” jawabku dengan telunjuk yang mengarah pada salah satu produk minuman dekat penjual tersebut.
Di dalam hatiku, sebenarnya ada rasa malu yang amat besar. Terlalu asyik untuk memandangi sekitar, hingga aku tak sadar bahwa ternyata antrian di depanku telah habis. Dan juga, menahan malu karena sempat menjadi pusat perhatian ketika pedagang popcorn harus berteriak-teriak memanggilku yang menghentikan antrian. Tapi semua rasa malu itu coba kutepis. Hingga akhirnya popcorn dan minuman yang kupesan, kini sudah berada di tangan. Kulihat Nada masih dalam antrian. Masih ada 2 orang lagi di depan Nada sebelum loket. Dan kuputuskan untuk singgah di tempat duduk terlebih dahulu, dan melanjutkan kembali keisenganku yang tadi sempat terganggu.
Belum lama aku memandangi sekitar, bahuku dikagetkan oleh tepukan yang cukup keras dari Nada.
“Hey!!! Dicariin dari tadi, ternyata bengong disini” kata Nada setelah mengagetkanku.
“Ah, siapa yang bengong! Cuma lihat-lihat aja kok” jawabku.
“Hayyooo, lihatin siapa? Pasti liatin cewek orang ya?” tanyanya menggoda.
Aku hanya dapat memasang muka masam ketika mendengar ledekan Nada. Aku tak dapat mengelak ketika aku ketahuan sedang memandangi cewek dan kekasihnya yang sedang berada di tengah-tengah antrian. Aku tertarik bukan karena kecantikan cewek tersebut, namun lebih kepada betapa bahagianya mereka.
“Andai aku bisa seperti mereka. Pasti dunia akan terasa jauh lebih indah daripada sekarang” khayalanku coba menebak.
“Wooyyy!!! Malah dikacangin gua. Udah ayo masuk, jangan duduk disini kayak orang gila” kata Nada membuyarkan lamunanku.
Segera tanganku ditarik oleh Nada untuk memasuki ruang bioskop. Aku hanya bisa menuruti kemauannya dengan fikiran masih terbayang oleh sepasang kekasih yang baru saja kulihat.
Dan rupanya, kami datang terlalu cepat. Masih ada waktu sekitar 15 menit sebelum film perahu kertas diputar. Namun kami telah terduduk manis di kursi empuk nan ber AC ini. Hawa dingin dari pendingin udara terus menerpa, membuat dekapan Nada di lenganku semakin erat tak terlepaskan. Sambil menunggu waktu, kami mengobrol sana-sini. Namun rasa aneh tiba-tiba terbayang di benakku.
“Nad, aneh gak sih kalau kita berduduk berdua disini?” aku mulai merasa tidak enak karena sedari tadi hanya kami berdua yang terduduk bercanda tawa di dalam ruangan yang cukup luas ini. Sementara pengunjung yang lain hanya memilih untuk menunggu di pintu masuk.
“Aneh gimana?” tanyanya singkat.
“Ya, aku merasa aneh aja. Yang lain belum masuk, eh kita malah nyelonong duluan” ujarku menjelaskan.
“Ah, nyantai aja lagi” jawab Nada tenang.
“Emang kamu gak malu apa? Dilihatin orang dari luar tuh” kataku seraya menunjuk ke arah pintu masuk.
“Selama sama kamu, aku rileks aja kok.” Godanya.
“Oh iya, aku lupa kalau kamu kan gak punya malu.” candaku pada Nada.
“Huuuhh, enak aja. Tau ah, sebel!” kata Nada dengan mukanya yang menunjukkan ekspresi cemberut.
“Wah, aku baru tahu. Ternyata cewek cantik kalau cemberut jadi jelek juga ya.” candaku lagi.
Dan ternyata candaanku yang satu ini dapat membuatnya sedikit tersenyum kembali.
“Ehhh, udahlah. Kalau mau katawa, ketawa aja lagi. Nggak perlu ditahan.” Tambahku.
“Ahhh, dasar ya..” jawab Nada dengan senyum kecil mulai menghiasi wajahnya.
Kami pun kembali tertawa lepas ditemani popcorn dan soda yang telah kubeli tadi. Namun suasana tiba-tiba mencekam sekaligus membuat jantung nyaris copot. Yaitu ketika semua lampu yang ada di dalam ruang bioskop seketika dimatikan dan suasana menjadi gelap gulita. Dan tak lama kemudian, beberapa lampu kecil di pinggir kursi menyala. Menciptakan suasana yang romantis sekaligus pertanda bahwa film yang kami tunggu-tunggu akan segera diputar.
Mungkin karena fikiranku yang masih dikagetkan oleh kondisi lampu mati, hingga aku tak menyadari bahwa sedari tadi Nada menggenggam erat lengan kananku. Tangan milik Nada menggenggamnya cukup kuat, hingga lenganku terasa sedikit sakit. Betapa kagetnya aku, disaat kulihat tubuh Nada yang sudah berkeringat dingin dan wajah yang ketakutan. Genggamannya di lenganku masih saja terasa kuat, bahkan semakin waktu terasa semakin kuat. Dan baru kuketahui bahwa Nada memiliki phobia terhadap tempat gelap.
Perlahan, kugenggam jemari mungil tangan kanannya dengan tangan kiriku. Tangannya yang tak berhenti kejang-kejang semakin memperkuat tanda bahwa ia sangat ketakutan. Kuelus perlahan tangannya yang lembut, hingga ia merasa sedikit tenang. Secara perlahan, ia mulai melemahkan cengkramannya di lengan kananku. Setelah itu, kulepaskan tangan kananku dan kuletakkan di atas kepalanya. Kuelus perlahan rambutnya dan kuletakkan kepalanya di pundakku.
“Kenapa? Kaget ya?” tanyaku.
Ia tetap terdiam tak menjawab. Dengan suara tangis yang sedikit tersengal-sengal.
“Sudahlah, kan ada aku disini” hiburku.
Cukup sulit bagiku untuk menenangkan seorang perempuan. Karena aku belum berpengalaman sebelumnya. Yang kutahu saat ini, hanyalah terus menghiburnya hingga ia melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Hingga akhirnya layar bioskop mulai bersinar terang, menerangi ruangan yang cukup gelap. Dan kutahu, kini Nada sudah dapat tenang kembali. Dan kamipun dapat menikmati film Perahu Kertas ini.
Nyaris 2 jam telah berlalu, berbagai nama pemain film telah muncul di layar. Pertanda bahwa film yang kami tonton telah usai. Salah satu cafe yang berada di kawasan Sukarno Hatta adalah tujuan kami selanjutnya. Di kawasan Sukarno Hatta terutama malam hari memang terkenal sebagai tempat wisata kuliner sekaligus tempat bagi anak muda untuk menghabiskan malam minggu.
Tak sampai 15 menit, Vario milik ayah telah berpindah ke tempat parkir cafe. 2 porsi nasi goreng spesial ditambah dengan es jus melon menjadi pilihan untuk mengisi perut yang sedari tadi sudah keroncongan ini. Setelah makanan dan minuman terpesan, kini bagianku untuk memilih tempat yang cocok untuk kami berdua. Sebuah meja yang berada di lantai 2 menghadap ke arah sepinya jalan Sukarno Hatta serta pegunungan arah kota Batu yang disinari cahaya-cahaya kecil menjadi pilihanku. Dan nampaknya, Nada juga setuju dengan pilihanku.
“Kamu hebat juga ya milih tempat” pujinya.
“Ah, enggak kok. Aku Cuma sering lihat di TV aja kalau katanya tempat ini bagus” kataku merendah.
“Bisa aja kamu” canda Nada.
“Oh iya Wan, aku mau ngucapin terima kasih sama kamu” lanjutnya dengan nada agak malu-malu.
“Terima kasih buat?” tanyaku heran sekaligus bingung.
“Terima kasih karena kamu tadi udah nenangin aku” jelasnya.
“Ah, santai aja lagi. Apasih yang enggak buat kamu” jawabku.
“Mulai lagi deh, gombalnya” balas Nada dengan tersenyum lebar.
“Tapi aku serius Nad” kataku seraya meraih tangan Nada.
Suasana berubah menjadi hening. Keceriaan yang sedari tadi terpancar dari kami berdua, kini lenyap entah kemana. Kuberanikan diri untuk menatap kedua matanya.
“Aku, aku merasa hidupku berubah. Hidupku jadi lebih berwarna, jadi lebih ceria. Dan itu semua karena kamu Nad! Semenjak kenal kamu, aku merasa ada sesuatu yang berubah. Semua perubahan itu terasa aneh bagiku, dan semuanya juga baik menurutku. Jadi aku fikir, aku tidak bisa hidup jauh darimu Nad. Kamu mau gak, jadi pacarku?” lanjutku.
Nampak Nada mengernyitkan dahi, sepertinya ia ragu-ragu.
“Hilang sudah harapanku” kataku menyerah dalam hati.
“He’em” jawab Nada.
Seraya kusambut dengan senyum bahagia yang begitu lebar, selebar senyum milik Nada.
“Beneran Nad?” kataku seakan tak percaya.
“Iya, aku juga merasa kalau kamu yang paling cocok buat aku. Mulai dari yang bikin aku ketawa, sebel, dan juga kamu yang paling bisa nenangin aku. Makasih ya sayang”
Aku merasa seperti terbang mendengar perkataan Nada yang mulai kini telah resmi menjadi pacarku. Dan semenjak hari itu, malam mingguku menjadi lebih cerah. Secerah langit yang dihiasi bintang-bintang terang.

Tak terasa 1 bulan sudah kami menjalin hubungan. Layaknya hubungan yang lainnya, perjalanan kami pun tak semulus yang kami dambakan. Hari ini, tepat 3 hari dimana Nada tidak memberikanku kabar sama sekali. Jangankan untuk telepon ataupun sms, untuk sekedar misscall saja tak pernah. Diriku sendiri juga tidak tahu dengan jelas apa alasan Nada untuk membenciku. Yang kutahu, ia begitu marah besar padaku sebelum aku sempat mengerti apa yang terjadi.
3 hari kemudian, di hari Sabtu. Hari dimana telah 6 hari sudah kami tak berkomunikasi sedikitpun. Dan di hari ini pula, aku putuskan untuk pergi ke rumahnya. Harapanku saat ini hanyalah agar Nada sudah tak marah lagi padaku. Namun rasanya harapanku belum terkabul.
“Ting…Tong..!!!” suara bel rumah Nada.
Tak lama, nampaklah sosok Nada dari balik pintu.
“Ngapain kamu kesini?” tanyanya sinis.
“Ada apa sih yang? Kok cemberut begitu? Nanti cantiknya hilang lo” usahaku untuk menghiburnya. Meskipun kutahu, itu hanya berpeluang kecil untuk dapat membuatnya tersenyum kembali saat ini.
“Halah, udah deh. Gak usah pura-pura gak tahu” jawabnya dengan ketus.
“Kamu kenapa sih yang? Emang aku salah apa?” tanyaku penasaran dengan kesalahanku.
Kucoba dekati tubuhnya dan kugenggam tangannya.
“Halaaahhh!!!” ia melepaskan tangannya dari genggamanku.
“Aku baru tahu ya, kalau ternyata kamu itu lemah. Gak sekuat yang aku bayangin selama ini. Kamu lebih suka menulis cerpen di dalam kamar kayak anak cewek daripada harus olah raga futsal / basket seperti cowok lain seusiamu. A, Aku kecewa sama kamu Wan, kamu udah rusak kepercayaanku.” Tangis Nada pun tak terbendung lagi.
Coba kukejar dirinya, namun ia begitu cepat menghilang masuk ke dalam rumah. Kini, hanya penyesalan yang dapat kulakukan. Baru kali ini kulihat Nada sesedih dan semarah ini, dan itu semua gara-gara aku. Entah apa hukuman yang cocok bagiku. Aku merasa telah menyakiti hati seorang wanita yang aku cintai. Memang benar kata Nada, Aku telah membuatnya kecewa.
Kepulanganku diiringi dengan penyesalan yang amat besar, semua kata-kata Nada begitu menancap dalam fikiranku. Membuatku terfokus hanya pada kesalahanku, hingga nyaris saja aku menabrak pengguna jalan yang lain.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar tidurku. Kurebahkan tubuhku, mencoba untuk menenangkan fikiran.
“Ya sudahlah, wajar kalau dalam hubungan pasti ada keretakan.” Kata hatiku coba menghibur.
Tak lama berselang, tiba-tiba suara yang tak asing mengagetkanku.
“Tingg!!!” suara nyaring HP ku berbunyi tanda bahwa ada sms masuk.
Dengan sedikit rasa penasaran, kutengok Hpku yang tadi juga berbaring di atas kasur. Dan ternyata itu adalah sms dari Nada. Seketika jantungku dibuat berhenti berdetak, ketika kulihat sms dari Nada yang berisikan bahwa ia ingin mengakhiri hubungan ini. Betapa hancurnya hatiku, membaca sms darinya. Hati yang baru saja sedikit terhibur, kini harus kembali merasakan pahitnya cinta. Dan entah kenapa, tiba-tiba kepalaku mendadak pusing. Seakan langit-langit berguncang tak tentu arah. Jantung terasa berhenti untuk berdetak. Aku tak tahu, harus bagaimana. Aku merasa sangat lemah.
Dan akhirnya, final sudah bagiku. Perlahan demi perlahan, pandanganku kabur dan semakin gelap. Segalanya jadi semakin buruk, ketika nafasku mulai tersengal-sengal. Aku telah pasrah. Jika memang ini adalah takdirku, aku akan menerimanya. Hingga akhirnya, aku pingsan dengan tubuh terbujur di lantai kamar.
Ketika terbangun, aku sudah berada di rumah sakit. Tubuhku dipenuhi oleh alat medis. Berbagai selang dan alat-alat yang tak kuketahui namanya telah berserakan di samping dan di atas tubuhku. Dengan kepala yang masih sedikit pusing, kucoba menengok sebelah kanan dan kiri mencari kedua orangtuaku. Dan saat itulah kutahu, bahwa aku masuk ruang ICU. Aku tak tahu seberapa parah penyakitku, hingga aku masuk ke ruangan ini. Yang kutahu, kedua orangtuaku hanya bisa berharap-harap cemas di balik kaca jendela.
Tiga hari telah berlalu, badanku masih terbaring di tempat yang sama. Berbagai macam pengobatan serta pemeriksaan, telah berulang kali kujalani. Dan akhirnya, dokter menyatakan kondisiku sudah membaik dan dapat dirawat di kamar biasa.
“Akhirnya Ya Allah, Engkau telah datangkan kabar baik bagiku” kataku dalam hati.
Ruang Bougenville 3. Itulah tempat peristirahatanku selanjutnya. Tentunya hatiku sangat senang. Karena tak harus dipenuhi berbagai alat medis yang membuatku sangat tak nyaman. Apalagi, sekitar setengah jam lagi jam besuk telah berlaku. Kedatangan Ayah dan Ibu beserta adikku tercinta nyaris menyempurnakan kebahagiaanku pada hari ini. Namun sayang, orang tercintaku tak ada disini. Seandainya saja Nada juga berada di sisiku saat ini, mungkin itu akan membuat kebahagiaanku sempurna. Tapi apalah mau dikata, rasanya hal itu sangat mustahil bagiku. Hanya bersyukur dan merasa cukup yang bisa kulakukan saat ini.
“Bagaimana kabarmu Nak?” tanya Ibu ramah.
“Baik bu” jawabku sambil menyodorkan senyum.
“Syukurlah kalau kamu sudah baikan” tambah Ayah.
“Memangnya aku sakit apa sih yah?”
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Wajah Ayah dan Ibu yang tadi mulai ceria kini kembali menunjukkan raut kesedihan. Aku tak tahu, apa yang sedang mereka cemaskan. Atau mungkin ada yang salah dari perkataanku? Aku menjadi bingung melihat sikap mereka. Terutama Tanti, raut kesedihan sudah tak dapat ditutupi lagi. Mata Adik dan Ibu dibanjiri oleh air mata. Sosok Ayah yang biasanya tegas dan tegar, kini sudah lenyap ditelan bumi.
“Begini Mad. Jadi, jadi sebenarnya…” kata Ayah dengan tebata-bata.
“…sebenarnya sejak kecil kamu” Ayah tak mampu lagi melanjutkan penjelasannya. Air mata yang mulai tadi tertahan, menetes terlalu cepat.
Aku sangat sedih melihat mereka, namun di sisi lain aku juga sangat penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Sejak kecil aku kenapa yah? Jawab yah! Jawaab!!!” tanyaku dengan mata berkaca-kaca.
“Sejak kecil kamu, kamu memiliki jantung yang lemah Mad” jawab Ayah.
“Jadi selama ini aku tidak bisa bermain bola, tak hebat dalam basket, dan tak bisa sekuat teman-temanku yang lain, karena aku memiliki jantung yang lemah? Iya yah?” tanyaku tak percaya.
Beliau hanya tertunduk, tak dapat lagi berucap. Suara tangis seketika terdengar semakin kencang. Kami berempat terlarut dalam kesedihan yang mendalam. Perasaanku begitu hancur mendengarnya. Seakan tak percaya, hati ini coba mengelak. Namun tetap saja terasa amat menyakitkan.
“Ya Allah, rupanya Engkau berikan hambamu cobaan yang cukup berat. Kuatkanlah hati ini Ya Allah” doaku dalam hati.
Masih dalam tangis yang kuat, Ibu memelukku erat. Dengan nafas yang terdengar berat, pelukan beliau terasa semakin waktu semakin kuat. Sebuah pelukan yang mengisyaratkan bahwa Ibu belum rela melihatku seperti ini. Apalagi jika aku harus meninggalkannya dari dunia ini. Tak terbayang, betapa besarnya beban yang harus ditopang hati Ibu. Pasti terasa teriris bila harus kehilangan diriku.
“Maafkan Ibu ya nak. Ibu tidak memberitahumu selama ini. Ibu takut, jika kamu belum bisa menerima kenyataan pahit ini.” Suara Ibu terdengar menyesal.
“Maafkan Ayah juga ya nak. Seharusnya, sejak kecil kamu harus melakukan cangkok jantung. Namun karena Ayah tak punya uang untuk operasi, hingga kini kondisi jantungmu semakin parah” suara Ayah terdengar tak kalah sedih.
“Jadi, selama ini Ayah dan Ibu tidak pernah melarangku dan selalu memanjakanku karena Ibu dan Ayah sudah tahu? Jika umurku sudah tak lama lagi?” tanyaku yang masih belum bisa menerima kenyataan. Aku ingin dokter segera memberitahuku bahwa aku sudah sembuh, meskipun aku tahu itu hanya kebohongan.
Semuanya tertunduk mendengar pertanyaanku. Mereka diam seribu bahasa karena sudah tak dapat menghibur kesedihanku lagi.
“Iya Nak. Kata dokter jika semuanya terus seperti ini, waktumu tinggal…”
“Kenapa dengan diriku Bu? Kenapa!? Ayo jawab Bu!!” air mataku terus berlinang, mencoba menerka kemungkinan apa yang akan terjadi selanjutnya. Keadaan terasa semakin buruk dan tak henti-hentinya memburuk.
“…waktumu tinggal satu minggu lagi Nak” lanjut Ibu.
“Enggak Bu, Ibu gak mau kan kehilangan aku? Ibu cuma bohong kan? Ayo bu! Jawab aku, jawab!” hatiku terasa tertusuk semakin dalam. Tak kuat lagi rasanya aku merasakan semua ini. Ingin rasanya diriku segera pergi dengan tenang di alam sana tanpa harus mengetahui kematianku seperti saat ini.
Tak terasa, satu jam waktu telah berlalu. Jam jenguk yang terbatas, ditambah dengan matahari yang semakin condong ke ufuk barat. Pertanda bahwa sudah saatnya bagi orangtua serta adikku untuk kembali pulang ke rumah. Kata pepatah, ada pertemuan pastilah ada perpisahan. Dan mungkin inilah yang dinamakan perpisahan untuk terakhir kalinya. Perpisahan dimana mungkin esok aku tak dapat melihat mereka lagi. Meskipun vonis dokter masih seminggu lagi, namun aku yakin segala kemungkinan masih bisa terjadi. Bahkan kemungkinan terburuk sekalipun, aku sudah pasrah akan semuanya.
“Ibu pulang dulu ya nak, istirahat yang banyak ya” kata Ibu ketika semuanya telah siap untuk meninggalkanku.
“Tunggu Bu! Sebelum Ibu pergi, bisakan aku minta sesuatu? Aku ingin Ibu bawakan handphone dan buku cerpenku lengkap dengan alat tulisnya. Bisakan Bu?”
Beliau hanya bisa mengangguk perlahan.
Tak lama, semua permintaanku dikabulkan. Tapi semuanya tetap harus pergi. Hingga akhirnya aku sendiri, bertemankan sebuah ponsel, buku, serta pena kesayanganku. Terdengar agak konyol memang, seorang remaja justru memilih ditemani oleh buku karangan sementara waktu hidupnya hanya tersisa satu minggu lagi. Namun permintaanku bukannya tanpa alasan, aku hanya tak ingin di sisa hidupku ini masih saja merasa bersalah pada Nada. Aku ingin meminta maaf padanya yang telah kubuat kecewa. Aku sadar, aku takkan bisa mati tenang jika Nada masih belum memaafkanku.
Berkali-kali sudah kucoba untuk menghubungi ponselnya, berkali-kali juga kukirimkan sms untuknya. Namun tetap saja, tak ada jawaban sedikitpun. Untunglah aku meminta kepada Ibu buku serta pena. Jadi aku bisa menulis surat untuknya.
Jarum jam terus berputar. Detik demi detik, menit demi menit, kulewati hanya dengan menulis dan menulis. Hingga akhirnya surat ini pun terlahir. Betapa senangnya hatiku, mendapatkan sedikit harapan kepada Nada untuk membaca suratku. Dengan semangat yang bangkit oleh secercah harapan, segera kutelpon handphone milik Tanti. Aku ingin menyuruhnya untuk mengantarkan Ibu ke rumah Nada esok hari.
“Halo, ada apa kak?” suara adikku membuka percakapan.
“Dik, kakak mau minta tolong besok kamu antar Ibu kerumah kak Nada ya? Kakak mau nitip surat nih. Tahu kan?”
“Iya kak, aku tahu kok”
“Mana Ibu? Aku mau ngomong sebentar”
“Iya, halo ada apa nak?” terdengar suara Ibu yang lembut nan ramah menjawab telpon dariku.
Belum sempat kusampaikan maksudku yang sebenarnya, mataku dibuat terbelalak ketika melihat 2 sosok yang cukup asing bagiku. Mereka berpenampilan cukup aneh. Dengan pakaian serba putih, serta wajah yang bersinar cukup menyilaukan. Dengan posturnya yang tinggi besar, aku yakin bahwa sosok itu bukanlah manusia. Apalagi manusia Indonesia, yang umumnya memiliki postur badan pendek dan kulit sawo matang.
“Ya Allah, Inikah utusan-Mu yang akan mengambil nyawaku?” gumamku dalam hati.
Belum lama aku terkejut, tiba-tiba terdengar suara Ibu dari telepon yang sedari tadi masih tersambung.
“Halo, nak? Kok diam saja?” tanya Ibu.
“Aaarrrggghhh!!!” jeritku ketika merasakan rasa sakit yang amat sangat.
Tiba-tiba rasa sakit yang kurasakan ketika pingsan beberapa hari yang lalu, kini terasa kembali. Namun kali ini terasa ada yang berbeda. Selain rasa sakit yang lebih hebat, mati rasa yang kualami dibagian kaki membuatku semakin takut. Ditambah dengan 2 sosok misterius yang terus menatapku dari balik pintu, membuatku yakin bahwa memang sampai disinilah ajalku.
“Haa, loo! I..buu? Ibb, bbu ma, ssih di, ssana kan?” suaraku terbata-bata.
“Iya nak ada apa?” suara Ibu terdengar cemas.
“A, a, aakkkuu ttii, tiipp suu, raattku untuk Nad, ddaa ya. Sam, pa, ikan ma, affkkuu padanya ka, rreennaa tellah memm, buat, dii, a kec, kecc, eewaa.” Suaraku semakin terbata-bata.
“Iya Nak. Pasti, pasti akan Ibu sampaikan.” Suara Ibu terdengar bercampur tangis.
“Ibb, uu jagg, ggaa Tan, tti y, aa? Se, sel, lammatt ting, ggaa, ll”
“Kamu ngomong apa sih nak? Jangan bikin Ibu semakin cemas” kata Ibu sedih.
“Assala, muuk, aa,laai, kumm” suaraku sudah terputus. Mata yang terasa amat berat serta nafas yang tersisa hitungan detik, menjadi detik-detik terakhir bagiku untuk menatap dunia ini. Masih dalam posisi terpejam, kurasakan tubuhku menjadi sangat ringan hingga bisa terbang. Baru beberapa detik mata ini terpejam, kini kulihat tubuhku telah terbujur kaku terbalut selimut. Mungkin ini yang dinamakan berbeda alam.
Kulihat beberapa sanak saudara telah bermandikan air mata di sekeliling jasadku. Termasuk Ayah dan Ibu. Derasnya cucuran air mata yang mengalir seakan belum merelakan kepergianku. Namun anehnya, sedari tadi belum kudapati sosok adikku. Aku tak mengerti kemana perginya ia. Tiba-tiba sesosok wanita memasuki rumah dan memeluk erat tubuhku. Aku tak tahu siapakah sebenarnya dia. Kerudung yang membungkus kepalanya, membuatku tak dapat melihat wajahnya. Yang kutahu, ia terlihat sangat kehilangan. Berulang kali ia memeluk dan menangis di atas jazadku. Lalu diikuti oleh satu perempuan lagi yang segera duduk di samping jazadku. Dan baru kuketahui bahwa mereka adalah Nada serta adikku.
Dengan perintah dari adikku, Nada membuka secarik kertas serta sebuah buku yang masih terlipat rapi di samping tubuhku. Digenggamnya tanganku yang mulai mendingin, dan diciumnya beberapa kali. Wajah Nada nampak amat sedih. Tak bisa ia tutupi lagi kesedihan yang amat mendalam tersebut. Dengan perlahan, dibukanya surat dariku. Dengan nafas yang sedikit tersengal tangis, ia baca perlahan surat serta ucapan terakhirku untuknya.
Untuk mantan kekasihku,
Nada
Nad, maafkan aku ya. Karena selama aku menjadi kekasihmu, aku tak bisa menjadi sosok yang kau inginkan. Aku tidak bisa menjadi kuat, bahkan hanya untuk melindungimu saja aku tak mampu. Maafkan aku, karena aku hanya bisa menjadi seorang penulis. Tapi hanya lewat tulisan inilah aku mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya. Bahwa, aku masih mencintaimu. Meskipun kutahu, kau terlalu istimewa bagiku. Dan kutahu juga bahwa saat kau membaca suratku ini, semuanya telah terlambat. Hari ini mungkin menjadi hari-hari terakhir dalam hidupku. Atau bahkan ini akan menjadi perpisahan terakhir kita. Meskipun kini kita bukanlah seorang kekasih lagi, tapi aku ingin kau menyimpan buku ini. Buku yang akan mengingatkanmu tentang perjalanan cinta kita yang terukir indah di dalamnya.
Cerpen yang mengisahkan perjalanan cinta kita mulai saat kita pertama bertemu, saat-saat kita menebar canda tawa, duduk berdua di cafe, bahkan sampai saat kita menikah dan hidup bahagia bersama kelak. Meskipun hidup bahagia bersamamu kini hanya bisa menjadi impian, namun aku tetap bahagia bisa bertemu dengan bidadariku. Aku ucapkan terima kasihku karena kamu telah menemaniku hingga di akhir hayatku ini. Dan aku juga berterima kasih karena kamu telah memaafkan kesalahanku. Kini aku dapat beristirahat dengan tenang. Selamat tinggal cintaku. I miss you.
Tertanda
M. Awan Bimantara
“Tidaaakkk!!!.. Bangun Awan!, bangun! Aku sudah disini, sekarang kamu bangun!!! Ini aku, Nada. Kekasihmu” suara Nada diiringi tangis terdengar sangat keras.
“Percuma Nad, ini sudah terlambat. Semoga Tuhan mempertemukan kita di alam yang lebih kekal.”


–END–

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar