Diberdayakan oleh Blogger.

Maafkan Aku

Malam ini, adalah malam Minggu. Malam dimana semua pemuda dan pemudi bertumpah ruah memenuhi jalanan kota Malang. Tujuannya pun beragam. Mulai dari yang ingin pergi ke tempat-tempat romantis, hingga yang cuma jalan-jalan ke mall dengan kekasihnya pun ada. Sementara aku, Muhammad Awan Bimantara. Orang yang biasa-biasa saja, hanya bisa berdiam diri sambil terus menulis cerita pendek ini. Dan berharap, di esok hari ada bidadari yang menemaniku di malam-malam Minggu berikutnya.
“Ya Tuhan, malang nian nasibku” gumamku menyesali nasib.
Jarum jam telah membentuk sudut 90 derajat, artinya waktu menunjukkan pukul 9 malam. Belum terlalu larut malam bagiku, namun kali ini kuputuskan untuk berangkat ke alam mimpi lebih awal dari biasanya. Sebenarnya masih ada tanggungan cerpen yang harusnya kuselesaikan, namun sepertinya jiwa ini sudah terlalu lama menulis. Jemari ini sudah tak mau lagi menggenggam pensil. Ingin sekali rasanya, sesekali tangan ini menggenggam erat lembutnya tangan perempuan. Ingin rasanya, jemari ini berpautan dengan jari-jari mungil milik kekasihku nanti. Entah kapankah itu, aku yakin bahwa saat itu pasti datang. Hingga akhirnya kuterpejam.
“Tok… tok.. tok” suara pintu kamarku diketuk oleh seseorang dari luar.
“Kakak? Cepat bangun! Ayo shalat subuh, sudah ditunggu mama tuh!” suara adikku yang lantang terdengar dari luar kamar.
“Loh, sudah pagi toh?” kataku tak percaya.
Rasanya, baru sekejap aku tertidur. Sambil mengusap-usap mata, kuseret tubuh ini menuju kamar mandi. Segarnya air wudzhu yang mengalir membasahi muka, telah mengembalikan jiwa ini. Di ruang ibadah, rupanya anggota keluarga yang lain telah menungguku. Di rumah mungil ini, aku tinggal bersama anggota keluarga yang lain. Yaitu Tanti, adikku yang tahun ini menginjak kelas 6 sekolah dasar. Ibuku, yang telah membesarkan aku dan adikku. Juga ada Ayahku yang bekerja sebagai pengusaha ternak ayam potong. 17 tahun sudah aku dibesarkan dari keluarga yang kecil nan sederhana ini. Namun meski begitu, kesederhanaan ini tak pernah sedikitpun mengurangi kebahagiaan kami.
Ketika sholat subuh telah usai, semua kembali pada rutinitas serta kesibukannya masing-masing. Adikku sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya, Ibu sibuk memilih belanjaan di warung sebelah, serta Ayah yang telah direpotkan dengan mencuci motornya. Sementara aku, masih terduduk merenung di depan meja belajar. Tempat dimana karya-karyaku selama ini dilahirkan. Namun sepertinya, karyaku yang satu ini masih menolak untuk dilahirkan. Entah kenapa, terasa sangat sulit bagiku menemukan cerita penutup yang tepat. Otakku senantiasa berputar, namun tetap saja belum menemukan jawaban. Bagaikan jalan yang tertimbun oleh reruntuhan batu, berulang kali kucoba menggalinya namun tetap saja otak ini masih buntu.
“lari-lari pagi ah…” seketika fikiranku berubah, ketika melihat tetanggaku Mbak Lila sedang berlari menghirup udara pagi.
“iya, benar juga. Sesekali lari pagi kan tidak ada salahnya. Siapa tahu udara pagi dapat menyegarkan otakku.” Fikirku lagi.
Akhirnya, lari pagi menjadi pilihanku untuk mengisi minggu pagi yang luang ini. Celana olahraga panjang serta kaos bola lengkap dengan sepatu jogging warna putih telah siap sedia untuk menemaniku menembus dinginnya kabut pagi.
“Aku berangkat dulu, Assalamualaikum!” ucapku setengah berteriak.
Ditemani suara sepatu yang bergerak lincah membalut telapak kaki, kumulai dengan langkah kaki kecil dan santai. Lalu sedikit demi sedikit, bertahap ke lari yang lebih kencang dan langkah kaki yang lebih lebar.
Tujuanku hari ini tidak lain adalah CFD alias Car Free Day. Hari bebas kendaraan ini dilaksanakan oleh warga Malang setiap minggu pagi, dan terletak di kawasan Ijen yang berjarak kurang lebih 5 km dari rumah. Untuk menuju kekawasan Ijen, kali ini aku memilih untuk berjalan kaki. Kusengaja untuk tidak membawa kendaraan, karena ingin mengukur kekuatan tubuh ini. Masih layakkah tubuh ini berlari, setelah sekian lama hanya terduduk di depan meja belajar.
“Huuhhh, huuhhh, huuuhhh…” deru nafasku semakin kencang, keringat sudah tak malu lagi untuk menampakkan wujudnya.
15 menit kemudian, nampaklah kawasan Ijen yang besar dan lengang. Terlihat beberapa orang berlari, bersepeda, ataupun berjalan santai. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata. Jauh dari kesan polusi dan udara kotor.
“Fiuuhhh…” sedikit suara muncul dari mulut ketika kuusap keringat di wajah. Rasa capek dan malas rupanya telah bersekutu, membuat kaki ini serasa berat untuk melangkah. Namun tekadku sudah terlanjur bulat. Aku ingin tahu seberapa jauhkah kekuatan tubuh ini, meskipun separuh tenaga telah tersedot dalam perjalanan.
Kira-kira baru 5 menit tubuh ini melonjak-lonjak, kebosanan sudah mulai muncul. Dan sifat iseng-isengku pun mulai muncul untuk menghibur diri.
“Wah, ada olahragawati tuh. Kutantang balap lari ah…” keisenganku muncul ketika melihat cewek berbadan ramping sedang berlari-lari kecil di dalam kerumunan.
Secara diam-diam, aku terus mengikuti langkah kaki perempuan tersebut. Rambutnya yang panjang terikat, mengayun pelan bagaikan melambai padaku untuk terus mengikutinya.
“Ah, perempuan cantik seperti ini biasanya kan jarang olah raga. Palingan nanti juga gak bakal kuat 2 putaran” kataku sombong.
Lomba lari iseng-isengan ini pun dimulai. Pesertanya hanyalah kami berdua. Dan sepertinya hanya aku yang mengetahui peraturannya. Bisa dibilang aku cukup curang. Hehehe, curang sedikit kan tidak apa-apa. Hanya ada satu peraturan di dalam lomba lari ini. Yaitu, kecepatan berlari tidak terlalu diperhitungkan. Yang menjadi nilai hitung adalah jarak lari yang ditempuh. Dan siapa yang sudah tidak kuat untuk melanjutkan lari lagi, maka dialah yang kalah. Dan untungnya, perempuan yang satu ini memilih rute yang tepat. Berlari mengelilingi kawasan Ijen dari ujung ke ujung.
Satu kali putaran? masih oke. Dua putaran? masih wajarlah. Hingga akhirnya putaran ketiga, aku sudah mulai kehabisan nafas. Tapi ladies yang satu ini masih tetap saja bugar tanpa mengurangi kecepatan lari sedikitpun.
“Hosshhh, hosshhh, hosshhh..” deru nafasku terasa sudah di ambang batas.
Gila, kuat juga ya ini cewek” kataku tak menyangka.
“Memang dia yang kuat, atau aku yang lemah?” fikirku.
Namun rupanya gengsiku masih cukup tinggi. Aku tak mau dikalahkan oleh seorang cewek. Ingin sekali rasanya kaki ini terus melangkah mengejar sosok yang tak kukenal ini. Tapi apa mau dikata, jantung sudah tak lagi mau memompa. Komponen penting yang satu ini rasanya sudah mulai aus. Langkah kaki perlahan berubah semakin pelan dan akhirnya berhenti. Rasa gengsi yang tadi masih membludak, kini telah hilang terkalahkan oleh deru nafas. Sementara sosok yang berparas cantik itu, segera menghilang di balik kerumunan. Aku masih menunduk tak menyangka akan dikalahkan oleh cewek.
“Mimpi apa aku semalam? Mau ditaruh mana mukaku, kalau teman-teman tahu bahwa aku kalah lari dengan cewek?” kataku masih tak percaya dengan kenyataan.
Tak jauh dari tempatku berdiri, kulihat bakul seorang penjual jamu berada di pinggiran jalan kawasan Ijen.
“Wah, minum jamu pasti seger kali ya?” fikirku mulai tergiur.
Tanpa berfikir panjang, kuulurkan selembar uang sepuluh ribuan pada si penjual jamu.
“Bu, jamu beras kencurnya satu ya?”
Tak lama, satu gelas berukuran besar berisi beras kencur telah berada di tangan. Namun karena tempat duduk yang terbatas, duduk di pinggir trotoar pun menjadi pilihan. Belum lama aku terduduk, sebuah suara yang asing di telinga tiba-tiba mengejutkanku.
“Wah, pasti segar tuh minum jamu habis lari-lari pagi” ucapnya.
“Uhuuk, uhukk..” Aku tersedak ketika menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata, suara itu berasal dari wanita yang sedari tadi kuikuti.
“Loh, kenapa mas?” tanyanya.
“Enggak, kok mbaknya disini? Bukannya tadi lari ke arah sana ya?” kataku seraya menunjuk ke arah cewek tadi menghilang di balik kerumunan.
“Kok tahu kalau aku tadi lari ke arah sana? Berarti yang dari tadi ngikutin aku pasti kamu ya?”
“Hehehehe, ketahuan deh.” Kataku tersipu malu.
“Tapi lumayan lo mas larinya, bisa lari sejauh itu.” Pujinya.
“Udah deh, jangan meledek. Aku tahu kok siapa yang menang” kataku seraya memasang wajah masam.
“Halah, gak perlu merendah deh. Aku tahu kok, kalau kamu tadi lari dari soekarno hatta sampai kemari sebelum lomba lari denganku. Kalau aku yang jadi kamu, pastilah sudah tepar duluan.” Katanya coba menghiburku.
Aku hanya bisa tersenyum. Tak percaya bahwa ternyata dia lebih tahu dariku sejauh itu.
“Namaku Nada Jelita, mas bisa panggil aku Nada” tukasnya sambil mengulurkan tangan putihnya.
“Oh iya, dari tadi kita belum kenalan. Namaku Muhammad Awan Bimantara. Panggil saja Awan.” Jawabku seraya menjabat tangannya.
“Akhirnya Ya Tuhan, aku bisa merasakan lembutnya genggaman tangan seorang perempuan” kataku kegirangan di dalam hati. Apalagi wajahnya yang manis, dilengkapi dengan tubuh yang indah. Membuatku tak dapat memalingkan pandangan darinya.
“Wan! Kok bengong?” tanyanya keheranan ketika melihat tingkahku yang anehku.
“Ah, enggak kok. Kamu udah pesan minuman?” tanyaku menawarkan.
Belum sempat mulut ini mengatup, ternyata minuman milik Nada telah diantarkan.
“Udah kok, ini dia sudah datang” jawabnya sambil menunjuk minuman yang diantarkan oleh penjual jamu.
“Wah, suka minum jamu juga? Pantesan badan kamu langsing” godaku.
“Ah bisa aja kamu” jawabnya dengan wajah yang tersipu malu.
Obrolan pun tak berhenti sampai disitu, berlanjut kesana kemari. Mulai dari hobby, cita-cita, kesukaan, hingga keluarga. Dan dari obrolan tersebutlah, akhirnya kutahu alamat rumahnya yang hanya berbeda beberapa blok dari rumahku.
Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Cukup lama sudah kami bercengkrama menebar tawa. Dan kini waktunya bagi kami untuk kembali melangkahkan kaki. Menuju istana masing-masing, sebelum matahari kian meninggi.
“Pulang yuk!” ajak Nada.
“Ayo, lagi pula sudah mulai siang nih” kataku setuju.
Belum lama kaki kami melangkah, tiba-tiba tangan Nada menarik tanganku yang membuatku berubah haluan.
“Ada apa Nad?” tanyaku penuh keheranan.
“Kamu mau kemana Wan?”
“Ya, pulanglah. Emang mau kemana lagi?” tanyaku keheranan dengan pertanyaannya.
“Yakin mau pulang jalan kaki?”
“Ya, habis. Mau naik apa?”
“Bareng sama aku aja, aku bawa motor kok. Tuh dia” ia menunjuk ke arah motornya.
“Ah enggak deh, lain kali aja” jawabku masih agak ragu.
“Eh Wan, kamu tega apa lihat cewek nyetir sendirian?” katanya membujukku.
“Waduh-waduh, mulai keluar deh manjanya. Iya deh. Aku bareng kamu” kataku pura-pura terpaksa.
Kebetulan juga rasa pegal dikaki masih belum pulih seutuhnya. Mungkin karena ini pertama kalinya bagiku, dan aku cukup memaksakan diri hingga sedikit kecapean. Jadi, kuterima saja tawarannya.
“Wan, kamu bisa bawa motor kan?”
“Bisa emang kenapa?”
“Jadi kamu yang boncengin aku ya?”
“Loh kok gitu? Kenapa aku?”
“Ya kan emang gitu. Dimana-mana itu, cowok yang boncengin cewek. Bukan sebaliknya. Lagian kakiku masih capek nih. Mau ya?” ia kembali memunculkan rayuannya.
“Iya deh, Tuan putri” candaku.
“Bisa aja kamu” balasnya sambil mencubit pelan pipiku.
Matahari yang mulai meninggi, membuat kami harus bergegas untuk pulang. Motor matic mio milik Nada segera kupacu melewati jalanan minggu pagi yang lengang. Nada yang duduk diboncengan belakang, terasa sangat menikmati perjalanan singkat ini. Tangannya masih menempel erat di pinggangku.
Sesampainya di rumah, aku segera turun. Mengucapkan terima kasih serta sedikit berbasa-basi.
“Ini nih, rumahku. Mau mampir dulu?”
“Enggak deh, terima kasih”
“Loh kenapa? Lagian, harusnya yang berterima kasih itu aku. Udah dianterin pulang.”
“Terima kasih ya Nad” terusku.
“Iya enggak papa.”
Setelah kurasa cukup, aku pun pamit dan segera melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Namun baru satu meter kaki ini melangkah, Nada menghentikanku.
“Eh, Wan” dengan nada agak tertahan.
“Iya?” jawabku sambil menoleh kearahnya.
Namun ia hanya tertunduk dan terdiam seribu bahasa. Angin pagi yang sepoi-sepoi sempat meniup rambutnya hingga terlihat wajahnya yang penuh akan keragu-raguan. Perlahan, kulangkah kan kaki mendekati tubuhnya yang masih menunggangi kuda besi miliknya. Kutadahkan tanganku dan kuletakkan tepat di bawah dagunya. Sedikit demi sedikit, kuangkat wajahnya. Hingga aku dapat menatap jelas kedua matanya.
“Hayo ada apa? Ngomong aja lagi. Gak usah takut.” Bujukku agar ia mau mengatakan apa yang sebenarnya ingin diucapkannya.
Wajah manis miliknya yang sedari tadi menunjukkan raut keragu-raguan, kini berubah menjadi senyuman lebar ke arahku.
“Enggak kok, aku cuma mau tanya sesuatu. Bisa kan kalau minggu depan kita ke CFD lagi?”
“Hmm… Bagaimana ya? Habisnya jadwalku sibuk sih” jawabku ragu-ragu sambil memasang wajah bingung.
Disaat itu, kuberanikan diriku untuk melirik wajahnya. Raut wajah yang kecewa cukup jelas nampak padanya.
“Memangnya, kalau aku datang ke Car Free Day lagi. Kamu mau ngasih apa ke aku?” candaku sambil sedikit melemparkan senyuman.
Bagaikan melihat matahari yang terbit kembali, wajah Nada seketika berubah menjadi bahagia ketika aku menyetujui permintaannya.
“Aku traktir jamu deh” jawabnya singkat.
“Ah masak jauh-jauh ke Ijen cuma ditraktir jamu? Es krim atau apa gitu kek” ejekku.
“Udah, minum jamu aja biar kuat larinya” balasnya mengejekku.
“Wah, rupanya mulai mengarah ke kekalahanku di lomba lari tadi pagi nih. Ya udah, cepetan pulang sana. Udah siang, ntar dicariin ama tante lo.”
“Uh, sok tau! Tapi janji ya? Minggu depan harus datang?” tanyanya meyakinkan.
“Iya, putriii…” kataku seraya membungkuk layaknya seorang prajurit menghormati ratunya.
Entah apa yang terjadi, seketika suasana hening. Dalam posisiku yang masih membungkuk, aku tidak dapat melihat apa yang dilakukan oleh Nada. Namun, sepertinya ia hanya berdiam diri. Tak merespon apapun. Rasa penasaran mulai muncul di fikiranku. Kuputar sedikit leher ini hingga kepalaku mendongak ke atas. Dan tiba-tiba.
“Iiiihhh… paling bisa deh bikin aku seneng” puji Nada dengan melayangkan cubitan gemas tepat di hidungku.
“Loohh, hidungku kok dibawa?”
“Kalau mau hidungmu kembali, minggu besok harus datang ya. Sampai jumpa minggu depan”
Seketika, tuas gas ditarik kencang oleh Nada. Kupandangi sosoknya hingga akhirnya menghilang di kejauhan. Tingkahnya yang berbeda dari cewek lain, cukup membuatku tersenyum-senyum sendiri hari ini.
“Terima kasih Tuhan, Engkau telah kabulkan doaku” gumamku dalam hati.
Betapa senangnya diriku hari ini. Dengan bayangan wajahnya yang masih melekat di ingatanku, kumulai melangkah menuju dalam rumah.
“Assaalamualaikum!!!” kataku setengah berteriak.
“Waalaikumsalam” suara adikku terdengar dari arah dapur.
“Wah, Tanti pasti lagi bantuin Ibu masak. Icip-icip dulu ah.”
Karena bau semerbak makanan yang memenuhi ruangan, ditambah lagi dengan perut yang sudah mulai keroncongan. Membuat kebiasaan lamaku yang satu ini tak bisa kuhindari. Dari kecil, hoby icip-icipku ini memang sudah muncul. Apalagi ketika tercium masakan Ibu yang sangat sedap ini.
“Hari ini masak apa mbak?” kataku coba menggoda Tanti yang sedang asyik masak.
Namun bukannya jawaban atau respon yang lainnya, aku justru mendapatkan sebuah keheningan. Hanya kicauan burung gereja yang berdengung di kepalaku.
“Wah, Ibu ama adik mulai bersekutu nih” godaku lagi.
Kulihat mereka berdua sengaja tidak merespon candaanku. Mereka bersikap seolah-olah tak mendengar perkataanku. Bahkan mungkin, mereka menganggapku tidak ada. Entah kenapa, aku sendiri terheran-heran dengan sikap mereka.
“Eh bu, rupanya ada yang spesial nih hari ini. Ada yang dianterin sampai depan rumah loh.” Sindiran Tanti yang masih bersekongkol dengan Ibu. Rupanya mereka sudah menyadarinya, bahwa aku tidak pulang seorang diri.
“Iya tuh, tadi pagi katanya sih pamit mau lari pagi. Tapi kok pulangnya malah naik motor ya?” jawab Ibuku menanggapi.
“Hayooo, pagi-pagi kok udah ngomongin orang. Dosa loh!!” kataku seraya merangkul tubuh keduanya.
“Halaahhhh, gak usah ngalihin pembicaraan deh” kata Ibu yang masih saja menggodaku.
Kami bertiga pun tertawa bahagia bersama-sama. Tawa mereka berdua membuat hariku terasa semakin sempurna. Hari ini terasa begitu spesial, dan itu semua karena kehadiran Nada.
Namun dihari-hari berikutnya, komunikasi aku dan Nada berkurang drastis. Bahkan bisa disebut tanpa komunikasi sama sekali. Apalagi jadwal sekolahku yang sangat sibuk, sangat menyita waktuku hingga nyaris tak ada waktu kosong untuk sekedar hanya menghubunginya. Seiring dengan keadaan itu, hari-hariku juga menjadi seperti semula. Tak lagi ada sesuatu yang spesial. Dan yang lebih parahnya lagi, karena kesibukanku yang begitu mengurung. Hingga cerpenku yang harusnya kukirim minggu ini, belum juga terselesaikan.

Dan kini, tepat satu minggu sejak aku mengerjakan cerpenku. Malam ini adalah malam minggu, saat yang tepat bagiku untuk melanjutkan cerita pendek tentang kisah seorang jomblo tersebut. Belum terlalu lama pensil ini kugenggam, tiba-tiba.
“Ceting!!!” suara hpku berdering.
Dan betapa bahagianya aku, ternyata itu adalah sms dari Nada.
“Malem wan, lagi ngapain?” tanyanya.
“Lagi nyantai aja nih. Ngelanjutin cerpen. Kamu sendiri?” jawabku cepat.
“Sama kok, lagi nyantai aja. Eh, kamu mau gak ikut aku cari makan? Hari ini Mama lagi gak masak nih”
Mendengar ajakan tersebut, hatiku tiba-tiba tersentak bahagia. Tak menyangka akan ada kesempatan bagiku menghabiskan malam minggu dengan Nada. Tanpa pikir panjang, kusetujui ajakan tersebut.
“Boleh deh.” Jawabku singkat.
“Oke deh, aku tunggu di rumah ya?”
“Siap tuan putri”
Segera kuhempaskan baju yang sedari tadi masih melekat di tubuhku. Tanganku segera mengobok-obok lemari, mencari baju ganti yang cocok untuk malam ini. Tanpa tunggu lama, hem warna hitam dan celana jeans pun menjadi pilihan.
“Duk, duk, duk..” suara tangga kayu yang berbunyi keras ketika harus beradu dengan sepatuku.
“Loh, mau kemana kamu Ahmad? Kok tumben, rapi sekali?” tanya Ayah yang kaget melihatku keluar dengan pakaian yang rapi serta wangi.
“Eemmmm, anu yah. Ahmad mau cari makan di luar sambil cari udara segar” jawabku ragu. Takut jika Ayah akan naik darah padaku.
“Tahu sendiri lah yah, Jam segini kan udara paling segar untuk pasangan anak muda. Apalagi ini kan malam minggu.” Goda Ibuku yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar yang terletak di sebelah bagian bawah tangga.
“Iya, apalagi kalau perginya bareng sama temennya yang kemaren kesini” sambung adikku.
“Wah-wah. Sudah gede rupanya anak Ayah. Ya sudah sana berangkat.” Kata Ayah mengizinkan.
Setelah kiranya mendapat izin dari Ayah dan Ibu, segera kucium tangan keduanya dan segera pamit.
“Aku berangkat ya. Assalamualaikum” kataku dengan lambaian oleh tangan kiri dan tangan kanan yang menarik tuas gas.
“Waalaikumsalam” suara keluargaku yang masih sempat terdengar.
Motor matik milik Ayah seketika melaju. Deru mesin yang cukup kencang, bagaikan sirine yang menandakan bahwa aku sedang terburu-buru. Karena jalanan yang cukup macet oleh para pemuda dan pemudi, perjalanan pun menjadi sedikit terhambat. Tak jarang aku harus tarik ulur tuas gas dan beberapa kali rem mendadak. Setelah 15 menit perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya nampaklah istana mewah tempat kediaman Nada.
“Tiinnn.. Tiiinnn..” suara klakson seakan memanggil pemilik rumah yang hendak kuajak pergi ini.
“Hay!!!” sapa Nada dengan gembira ketika melihatku berada di depan rumahnya.
“Sebentar ya, aku ganti baju dulu.” Lanjutnya.
Karena keadaan rumah yang sepi, jadi aku memilih untuk menunggunya di luar. Aku baru tahu, ternyata Ibunya sedang pergi ke luar kota. Tak sampai 5 menit, munculah sosok cantik milik Nada. Dengan celana jeans warna biru serta baju trend masa kini yang dibalut jaket lembut semakin membuatnya terlihat anggun. Hingga aku serasa terbius oleh penampilannya.
“Sekarang mau kemana nih? Ke cafe, tempat makan, atau…”
“Atau apa?”
“A.. Atau jalan-jalan dulu? Tapi, tapi itu terserah kamu sih. Kalau kamu gak mau gak papa kok.” Lanjutku sedikit gugup.
“Emmm, bagaimana ya? Habisnya aku sibuk sih”
“Ya udah, kalau sibuk langsung cari makan aja” kataku sambil sedikit murung. Karena aku merasa tak akan bisa berlama-lama lagi dengan Nada.
“Jangan, kita nonton yuk?” ajaknya spontan.
“Loh, katanya sibuk? Kok malah ngajak nonton?” tanyaku keheranan.
“Iya, habisnya malam ini sibuk jalan sama kamu sih” godanya.
“Wah, sialan. Kena lagi deh gua. Emang paling pinter deh, kalau ngeboong” kataku seraya mencubit hidungnya yang mancung.
“Loh, hidungku?”
“Makanya, besok jangan lupa datang ke CFD ya?” candaku.
Ia hanya membalas senyuman dan langsung naik ke dalam boncenganku. Tak menunggu waktu lama, motor Ayah kembali kupacu santai menuju salah satu mall tujuan kami.
“Pritt, pritt, pritt…” suara peluit yang ditiup oleh tukang parkir terdengar merdu memandu kami untuk segera memarkir kendaraanku. Setelah kurasa mendapatkan tempat yang tepat bagi si matik, kami berdua segera menuju ke dalam mall seluas 400 meter persegi ini. Setelah memasuki kawasan mall, terasa sekali suasana yang sangat berbeda. Hawa segar hembusan AC, serta lantunan musik yang terdengar. Menciptakan suasana yang sangat nyaman bagi kami, terutama Nada. Ia nampak sangat nyaman berada di sisiku. Aku juga turut bahagia melihatnya. Entah sampai kapan kebahagiaan ini akan berlangsung, yang jelas aku tak menginginkannya pergi.
Setibanya di depan pintu masuk bioskop, puluhan judul film beserta waktu diputar telah berbaris rapi menunggu kami. Berbagai jenis dan genre film tersedia disini. Mulai dari yang drama mengharukan, hingga film action menantang. Seakan sengaja untuk membingungkan kami memilih film mana yang akan kami tonton kali ini. Hingga akhirnya, pilihan jatuh pada film ber-genre drama dari indonesia. Yaitu, perahu kertas. Film yang disutradarai oleh sutradara terkenal Hanung Bramantyo ini sukses menarik perhatian kami di antara deretan film populer luar negeri.
“Wan, kalau gitu aku pesen tiket dulu ya?” kata Nada seraya melangkahkan kakinya menuju antrian loket.
“Iya,” jawabku pelan.
Aku masih terdiam tepat di depan dinding dimana berbagai judul film terjajar rapi. Aku tak tahu harus melakukan apa dan menuju kemana. Tapi tiba-tiba sebuah ide muncul di benakku.
“Aku beli popcorn dulu aja kali ya. Siapa tahu Nada suka.” fikirku.
Segera kurubah pandangan menuju tempat untuk membeli popcorn. Rupanya tempat itu tidak terlalu ramai. Terlihat hanya beberapa orang yang antri untuk membeli camilan yang satu ini. Dan aku adalah orang keempat dalam antrian tersebut.
Sambil menunggu antrian, iseng-iseng kulihat barisan antrian menuju loket yang mengular cukup panjang. Pengunjungnya rata-rata anak muda yang sedang menghabiskan waktu di malam minggu. Tak sengaja, nampaklah wajah riang milik Nada. Kulihat ia berada di tengah-tengah antrian yang cukup jauh dari loket. Namun nampaknya ia begitu sabar. Tak nampak sedikitpun ekspresi murung ataupun kesal padanya. Ia hanya menunjukkan wajah anggunnya dan sesekali memainkan HP miliknya. Terlalu asyik kupandangi wajahnya, hingga aku tak sadar bahwa sebenarnya aku juga di dalam antrian.
“Mas, Mas!!” panggil seseorang dari arah penjual popcorn.
“Mas mau beli popcorn apa enggak? Kok diem disitu aja?” lanjut pedagang itu.
“Oh iya mbak, beli popcorn dua sama minuman yang itu dua ya” jawabku dengan telunjuk yang mengarah pada salah satu produk minuman dekat penjual tersebut.
Di dalam hatiku, sebenarnya ada rasa malu yang amat besar. Terlalu asyik untuk memandangi sekitar, hingga aku tak sadar bahwa ternyata antrian di depanku telah habis. Dan juga, menahan malu karena sempat menjadi pusat perhatian ketika pedagang popcorn harus berteriak-teriak memanggilku yang menghentikan antrian. Tapi semua rasa malu itu coba kutepis. Hingga akhirnya popcorn dan minuman yang kupesan, kini sudah berada di tangan. Kulihat Nada masih dalam antrian. Masih ada 2 orang lagi di depan Nada sebelum loket. Dan kuputuskan untuk singgah di tempat duduk terlebih dahulu, dan melanjutkan kembali keisenganku yang tadi sempat terganggu.
Belum lama aku memandangi sekitar, bahuku dikagetkan oleh tepukan yang cukup keras dari Nada.
“Hey!!! Dicariin dari tadi, ternyata bengong disini” kata Nada setelah mengagetkanku.
“Ah, siapa yang bengong! Cuma lihat-lihat aja kok” jawabku.
“Hayyooo, lihatin siapa? Pasti liatin cewek orang ya?” tanyanya menggoda.
Aku hanya dapat memasang muka masam ketika mendengar ledekan Nada. Aku tak dapat mengelak ketika aku ketahuan sedang memandangi cewek dan kekasihnya yang sedang berada di tengah-tengah antrian. Aku tertarik bukan karena kecantikan cewek tersebut, namun lebih kepada betapa bahagianya mereka.
“Andai aku bisa seperti mereka. Pasti dunia akan terasa jauh lebih indah daripada sekarang” khayalanku coba menebak.
“Wooyyy!!! Malah dikacangin gua. Udah ayo masuk, jangan duduk disini kayak orang gila” kata Nada membuyarkan lamunanku.
Segera tanganku ditarik oleh Nada untuk memasuki ruang bioskop. Aku hanya bisa menuruti kemauannya dengan fikiran masih terbayang oleh sepasang kekasih yang baru saja kulihat.
Dan rupanya, kami datang terlalu cepat. Masih ada waktu sekitar 15 menit sebelum film perahu kertas diputar. Namun kami telah terduduk manis di kursi empuk nan ber AC ini. Hawa dingin dari pendingin udara terus menerpa, membuat dekapan Nada di lenganku semakin erat tak terlepaskan. Sambil menunggu waktu, kami mengobrol sana-sini. Namun rasa aneh tiba-tiba terbayang di benakku.
“Nad, aneh gak sih kalau kita berduduk berdua disini?” aku mulai merasa tidak enak karena sedari tadi hanya kami berdua yang terduduk bercanda tawa di dalam ruangan yang cukup luas ini. Sementara pengunjung yang lain hanya memilih untuk menunggu di pintu masuk.
“Aneh gimana?” tanyanya singkat.
“Ya, aku merasa aneh aja. Yang lain belum masuk, eh kita malah nyelonong duluan” ujarku menjelaskan.
“Ah, nyantai aja lagi” jawab Nada tenang.
“Emang kamu gak malu apa? Dilihatin orang dari luar tuh” kataku seraya menunjuk ke arah pintu masuk.
“Selama sama kamu, aku rileks aja kok.” Godanya.
“Oh iya, aku lupa kalau kamu kan gak punya malu.” candaku pada Nada.
“Huuuhh, enak aja. Tau ah, sebel!” kata Nada dengan mukanya yang menunjukkan ekspresi cemberut.
“Wah, aku baru tahu. Ternyata cewek cantik kalau cemberut jadi jelek juga ya.” candaku lagi.
Dan ternyata candaanku yang satu ini dapat membuatnya sedikit tersenyum kembali.
“Ehhh, udahlah. Kalau mau katawa, ketawa aja lagi. Nggak perlu ditahan.” Tambahku.
“Ahhh, dasar ya..” jawab Nada dengan senyum kecil mulai menghiasi wajahnya.
Kami pun kembali tertawa lepas ditemani popcorn dan soda yang telah kubeli tadi. Namun suasana tiba-tiba mencekam sekaligus membuat jantung nyaris copot. Yaitu ketika semua lampu yang ada di dalam ruang bioskop seketika dimatikan dan suasana menjadi gelap gulita. Dan tak lama kemudian, beberapa lampu kecil di pinggir kursi menyala. Menciptakan suasana yang romantis sekaligus pertanda bahwa film yang kami tunggu-tunggu akan segera diputar.
Mungkin karena fikiranku yang masih dikagetkan oleh kondisi lampu mati, hingga aku tak menyadari bahwa sedari tadi Nada menggenggam erat lengan kananku. Tangan milik Nada menggenggamnya cukup kuat, hingga lenganku terasa sedikit sakit. Betapa kagetnya aku, disaat kulihat tubuh Nada yang sudah berkeringat dingin dan wajah yang ketakutan. Genggamannya di lenganku masih saja terasa kuat, bahkan semakin waktu terasa semakin kuat. Dan baru kuketahui bahwa Nada memiliki phobia terhadap tempat gelap.
Perlahan, kugenggam jemari mungil tangan kanannya dengan tangan kiriku. Tangannya yang tak berhenti kejang-kejang semakin memperkuat tanda bahwa ia sangat ketakutan. Kuelus perlahan tangannya yang lembut, hingga ia merasa sedikit tenang. Secara perlahan, ia mulai melemahkan cengkramannya di lengan kananku. Setelah itu, kulepaskan tangan kananku dan kuletakkan di atas kepalanya. Kuelus perlahan rambutnya dan kuletakkan kepalanya di pundakku.
“Kenapa? Kaget ya?” tanyaku.
Ia tetap terdiam tak menjawab. Dengan suara tangis yang sedikit tersengal-sengal.
“Sudahlah, kan ada aku disini” hiburku.
Cukup sulit bagiku untuk menenangkan seorang perempuan. Karena aku belum berpengalaman sebelumnya. Yang kutahu saat ini, hanyalah terus menghiburnya hingga ia melupakan kejadian yang baru saja terjadi. Hingga akhirnya layar bioskop mulai bersinar terang, menerangi ruangan yang cukup gelap. Dan kutahu, kini Nada sudah dapat tenang kembali. Dan kamipun dapat menikmati film Perahu Kertas ini.
Nyaris 2 jam telah berlalu, berbagai nama pemain film telah muncul di layar. Pertanda bahwa film yang kami tonton telah usai. Salah satu cafe yang berada di kawasan Sukarno Hatta adalah tujuan kami selanjutnya. Di kawasan Sukarno Hatta terutama malam hari memang terkenal sebagai tempat wisata kuliner sekaligus tempat bagi anak muda untuk menghabiskan malam minggu.
Tak sampai 15 menit, Vario milik ayah telah berpindah ke tempat parkir cafe. 2 porsi nasi goreng spesial ditambah dengan es jus melon menjadi pilihan untuk mengisi perut yang sedari tadi sudah keroncongan ini. Setelah makanan dan minuman terpesan, kini bagianku untuk memilih tempat yang cocok untuk kami berdua. Sebuah meja yang berada di lantai 2 menghadap ke arah sepinya jalan Sukarno Hatta serta pegunungan arah kota Batu yang disinari cahaya-cahaya kecil menjadi pilihanku. Dan nampaknya, Nada juga setuju dengan pilihanku.
“Kamu hebat juga ya milih tempat” pujinya.
“Ah, enggak kok. Aku Cuma sering lihat di TV aja kalau katanya tempat ini bagus” kataku merendah.
“Bisa aja kamu” canda Nada.
“Oh iya Wan, aku mau ngucapin terima kasih sama kamu” lanjutnya dengan nada agak malu-malu.
“Terima kasih buat?” tanyaku heran sekaligus bingung.
“Terima kasih karena kamu tadi udah nenangin aku” jelasnya.
“Ah, santai aja lagi. Apasih yang enggak buat kamu” jawabku.
“Mulai lagi deh, gombalnya” balas Nada dengan tersenyum lebar.
“Tapi aku serius Nad” kataku seraya meraih tangan Nada.
Suasana berubah menjadi hening. Keceriaan yang sedari tadi terpancar dari kami berdua, kini lenyap entah kemana. Kuberanikan diri untuk menatap kedua matanya.
“Aku, aku merasa hidupku berubah. Hidupku jadi lebih berwarna, jadi lebih ceria. Dan itu semua karena kamu Nad! Semenjak kenal kamu, aku merasa ada sesuatu yang berubah. Semua perubahan itu terasa aneh bagiku, dan semuanya juga baik menurutku. Jadi aku fikir, aku tidak bisa hidup jauh darimu Nad. Kamu mau gak, jadi pacarku?” lanjutku.
Nampak Nada mengernyitkan dahi, sepertinya ia ragu-ragu.
“Hilang sudah harapanku” kataku menyerah dalam hati.
“He’em” jawab Nada.
Seraya kusambut dengan senyum bahagia yang begitu lebar, selebar senyum milik Nada.
“Beneran Nad?” kataku seakan tak percaya.
“Iya, aku juga merasa kalau kamu yang paling cocok buat aku. Mulai dari yang bikin aku ketawa, sebel, dan juga kamu yang paling bisa nenangin aku. Makasih ya sayang”
Aku merasa seperti terbang mendengar perkataan Nada yang mulai kini telah resmi menjadi pacarku. Dan semenjak hari itu, malam mingguku menjadi lebih cerah. Secerah langit yang dihiasi bintang-bintang terang.

Tak terasa 1 bulan sudah kami menjalin hubungan. Layaknya hubungan yang lainnya, perjalanan kami pun tak semulus yang kami dambakan. Hari ini, tepat 3 hari dimana Nada tidak memberikanku kabar sama sekali. Jangankan untuk telepon ataupun sms, untuk sekedar misscall saja tak pernah. Diriku sendiri juga tidak tahu dengan jelas apa alasan Nada untuk membenciku. Yang kutahu, ia begitu marah besar padaku sebelum aku sempat mengerti apa yang terjadi.
3 hari kemudian, di hari Sabtu. Hari dimana telah 6 hari sudah kami tak berkomunikasi sedikitpun. Dan di hari ini pula, aku putuskan untuk pergi ke rumahnya. Harapanku saat ini hanyalah agar Nada sudah tak marah lagi padaku. Namun rasanya harapanku belum terkabul.
“Ting…Tong..!!!” suara bel rumah Nada.
Tak lama, nampaklah sosok Nada dari balik pintu.
“Ngapain kamu kesini?” tanyanya sinis.
“Ada apa sih yang? Kok cemberut begitu? Nanti cantiknya hilang lo” usahaku untuk menghiburnya. Meskipun kutahu, itu hanya berpeluang kecil untuk dapat membuatnya tersenyum kembali saat ini.
“Halah, udah deh. Gak usah pura-pura gak tahu” jawabnya dengan ketus.
“Kamu kenapa sih yang? Emang aku salah apa?” tanyaku penasaran dengan kesalahanku.
Kucoba dekati tubuhnya dan kugenggam tangannya.
“Halaaahhh!!!” ia melepaskan tangannya dari genggamanku.
“Aku baru tahu ya, kalau ternyata kamu itu lemah. Gak sekuat yang aku bayangin selama ini. Kamu lebih suka menulis cerpen di dalam kamar kayak anak cewek daripada harus olah raga futsal / basket seperti cowok lain seusiamu. A, Aku kecewa sama kamu Wan, kamu udah rusak kepercayaanku.” Tangis Nada pun tak terbendung lagi.
Coba kukejar dirinya, namun ia begitu cepat menghilang masuk ke dalam rumah. Kini, hanya penyesalan yang dapat kulakukan. Baru kali ini kulihat Nada sesedih dan semarah ini, dan itu semua gara-gara aku. Entah apa hukuman yang cocok bagiku. Aku merasa telah menyakiti hati seorang wanita yang aku cintai. Memang benar kata Nada, Aku telah membuatnya kecewa.
Kepulanganku diiringi dengan penyesalan yang amat besar, semua kata-kata Nada begitu menancap dalam fikiranku. Membuatku terfokus hanya pada kesalahanku, hingga nyaris saja aku menabrak pengguna jalan yang lain.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar tidurku. Kurebahkan tubuhku, mencoba untuk menenangkan fikiran.
“Ya sudahlah, wajar kalau dalam hubungan pasti ada keretakan.” Kata hatiku coba menghibur.
Tak lama berselang, tiba-tiba suara yang tak asing mengagetkanku.
“Tingg!!!” suara nyaring HP ku berbunyi tanda bahwa ada sms masuk.
Dengan sedikit rasa penasaran, kutengok Hpku yang tadi juga berbaring di atas kasur. Dan ternyata itu adalah sms dari Nada. Seketika jantungku dibuat berhenti berdetak, ketika kulihat sms dari Nada yang berisikan bahwa ia ingin mengakhiri hubungan ini. Betapa hancurnya hatiku, membaca sms darinya. Hati yang baru saja sedikit terhibur, kini harus kembali merasakan pahitnya cinta. Dan entah kenapa, tiba-tiba kepalaku mendadak pusing. Seakan langit-langit berguncang tak tentu arah. Jantung terasa berhenti untuk berdetak. Aku tak tahu, harus bagaimana. Aku merasa sangat lemah.
Dan akhirnya, final sudah bagiku. Perlahan demi perlahan, pandanganku kabur dan semakin gelap. Segalanya jadi semakin buruk, ketika nafasku mulai tersengal-sengal. Aku telah pasrah. Jika memang ini adalah takdirku, aku akan menerimanya. Hingga akhirnya, aku pingsan dengan tubuh terbujur di lantai kamar.
Ketika terbangun, aku sudah berada di rumah sakit. Tubuhku dipenuhi oleh alat medis. Berbagai selang dan alat-alat yang tak kuketahui namanya telah berserakan di samping dan di atas tubuhku. Dengan kepala yang masih sedikit pusing, kucoba menengok sebelah kanan dan kiri mencari kedua orangtuaku. Dan saat itulah kutahu, bahwa aku masuk ruang ICU. Aku tak tahu seberapa parah penyakitku, hingga aku masuk ke ruangan ini. Yang kutahu, kedua orangtuaku hanya bisa berharap-harap cemas di balik kaca jendela.
Tiga hari telah berlalu, badanku masih terbaring di tempat yang sama. Berbagai macam pengobatan serta pemeriksaan, telah berulang kali kujalani. Dan akhirnya, dokter menyatakan kondisiku sudah membaik dan dapat dirawat di kamar biasa.
“Akhirnya Ya Allah, Engkau telah datangkan kabar baik bagiku” kataku dalam hati.
Ruang Bougenville 3. Itulah tempat peristirahatanku selanjutnya. Tentunya hatiku sangat senang. Karena tak harus dipenuhi berbagai alat medis yang membuatku sangat tak nyaman. Apalagi, sekitar setengah jam lagi jam besuk telah berlaku. Kedatangan Ayah dan Ibu beserta adikku tercinta nyaris menyempurnakan kebahagiaanku pada hari ini. Namun sayang, orang tercintaku tak ada disini. Seandainya saja Nada juga berada di sisiku saat ini, mungkin itu akan membuat kebahagiaanku sempurna. Tapi apalah mau dikata, rasanya hal itu sangat mustahil bagiku. Hanya bersyukur dan merasa cukup yang bisa kulakukan saat ini.
“Bagaimana kabarmu Nak?” tanya Ibu ramah.
“Baik bu” jawabku sambil menyodorkan senyum.
“Syukurlah kalau kamu sudah baikan” tambah Ayah.
“Memangnya aku sakit apa sih yah?”
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Wajah Ayah dan Ibu yang tadi mulai ceria kini kembali menunjukkan raut kesedihan. Aku tak tahu, apa yang sedang mereka cemaskan. Atau mungkin ada yang salah dari perkataanku? Aku menjadi bingung melihat sikap mereka. Terutama Tanti, raut kesedihan sudah tak dapat ditutupi lagi. Mata Adik dan Ibu dibanjiri oleh air mata. Sosok Ayah yang biasanya tegas dan tegar, kini sudah lenyap ditelan bumi.
“Begini Mad. Jadi, jadi sebenarnya…” kata Ayah dengan tebata-bata.
“…sebenarnya sejak kecil kamu” Ayah tak mampu lagi melanjutkan penjelasannya. Air mata yang mulai tadi tertahan, menetes terlalu cepat.
Aku sangat sedih melihat mereka, namun di sisi lain aku juga sangat penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Sejak kecil aku kenapa yah? Jawab yah! Jawaab!!!” tanyaku dengan mata berkaca-kaca.
“Sejak kecil kamu, kamu memiliki jantung yang lemah Mad” jawab Ayah.
“Jadi selama ini aku tidak bisa bermain bola, tak hebat dalam basket, dan tak bisa sekuat teman-temanku yang lain, karena aku memiliki jantung yang lemah? Iya yah?” tanyaku tak percaya.
Beliau hanya tertunduk, tak dapat lagi berucap. Suara tangis seketika terdengar semakin kencang. Kami berempat terlarut dalam kesedihan yang mendalam. Perasaanku begitu hancur mendengarnya. Seakan tak percaya, hati ini coba mengelak. Namun tetap saja terasa amat menyakitkan.
“Ya Allah, rupanya Engkau berikan hambamu cobaan yang cukup berat. Kuatkanlah hati ini Ya Allah” doaku dalam hati.
Masih dalam tangis yang kuat, Ibu memelukku erat. Dengan nafas yang terdengar berat, pelukan beliau terasa semakin waktu semakin kuat. Sebuah pelukan yang mengisyaratkan bahwa Ibu belum rela melihatku seperti ini. Apalagi jika aku harus meninggalkannya dari dunia ini. Tak terbayang, betapa besarnya beban yang harus ditopang hati Ibu. Pasti terasa teriris bila harus kehilangan diriku.
“Maafkan Ibu ya nak. Ibu tidak memberitahumu selama ini. Ibu takut, jika kamu belum bisa menerima kenyataan pahit ini.” Suara Ibu terdengar menyesal.
“Maafkan Ayah juga ya nak. Seharusnya, sejak kecil kamu harus melakukan cangkok jantung. Namun karena Ayah tak punya uang untuk operasi, hingga kini kondisi jantungmu semakin parah” suara Ayah terdengar tak kalah sedih.
“Jadi, selama ini Ayah dan Ibu tidak pernah melarangku dan selalu memanjakanku karena Ibu dan Ayah sudah tahu? Jika umurku sudah tak lama lagi?” tanyaku yang masih belum bisa menerima kenyataan. Aku ingin dokter segera memberitahuku bahwa aku sudah sembuh, meskipun aku tahu itu hanya kebohongan.
Semuanya tertunduk mendengar pertanyaanku. Mereka diam seribu bahasa karena sudah tak dapat menghibur kesedihanku lagi.
“Iya Nak. Kata dokter jika semuanya terus seperti ini, waktumu tinggal…”
“Kenapa dengan diriku Bu? Kenapa!? Ayo jawab Bu!!” air mataku terus berlinang, mencoba menerka kemungkinan apa yang akan terjadi selanjutnya. Keadaan terasa semakin buruk dan tak henti-hentinya memburuk.
“…waktumu tinggal satu minggu lagi Nak” lanjut Ibu.
“Enggak Bu, Ibu gak mau kan kehilangan aku? Ibu cuma bohong kan? Ayo bu! Jawab aku, jawab!” hatiku terasa tertusuk semakin dalam. Tak kuat lagi rasanya aku merasakan semua ini. Ingin rasanya diriku segera pergi dengan tenang di alam sana tanpa harus mengetahui kematianku seperti saat ini.
Tak terasa, satu jam waktu telah berlalu. Jam jenguk yang terbatas, ditambah dengan matahari yang semakin condong ke ufuk barat. Pertanda bahwa sudah saatnya bagi orangtua serta adikku untuk kembali pulang ke rumah. Kata pepatah, ada pertemuan pastilah ada perpisahan. Dan mungkin inilah yang dinamakan perpisahan untuk terakhir kalinya. Perpisahan dimana mungkin esok aku tak dapat melihat mereka lagi. Meskipun vonis dokter masih seminggu lagi, namun aku yakin segala kemungkinan masih bisa terjadi. Bahkan kemungkinan terburuk sekalipun, aku sudah pasrah akan semuanya.
“Ibu pulang dulu ya nak, istirahat yang banyak ya” kata Ibu ketika semuanya telah siap untuk meninggalkanku.
“Tunggu Bu! Sebelum Ibu pergi, bisakan aku minta sesuatu? Aku ingin Ibu bawakan handphone dan buku cerpenku lengkap dengan alat tulisnya. Bisakan Bu?”
Beliau hanya bisa mengangguk perlahan.
Tak lama, semua permintaanku dikabulkan. Tapi semuanya tetap harus pergi. Hingga akhirnya aku sendiri, bertemankan sebuah ponsel, buku, serta pena kesayanganku. Terdengar agak konyol memang, seorang remaja justru memilih ditemani oleh buku karangan sementara waktu hidupnya hanya tersisa satu minggu lagi. Namun permintaanku bukannya tanpa alasan, aku hanya tak ingin di sisa hidupku ini masih saja merasa bersalah pada Nada. Aku ingin meminta maaf padanya yang telah kubuat kecewa. Aku sadar, aku takkan bisa mati tenang jika Nada masih belum memaafkanku.
Berkali-kali sudah kucoba untuk menghubungi ponselnya, berkali-kali juga kukirimkan sms untuknya. Namun tetap saja, tak ada jawaban sedikitpun. Untunglah aku meminta kepada Ibu buku serta pena. Jadi aku bisa menulis surat untuknya.
Jarum jam terus berputar. Detik demi detik, menit demi menit, kulewati hanya dengan menulis dan menulis. Hingga akhirnya surat ini pun terlahir. Betapa senangnya hatiku, mendapatkan sedikit harapan kepada Nada untuk membaca suratku. Dengan semangat yang bangkit oleh secercah harapan, segera kutelpon handphone milik Tanti. Aku ingin menyuruhnya untuk mengantarkan Ibu ke rumah Nada esok hari.
“Halo, ada apa kak?” suara adikku membuka percakapan.
“Dik, kakak mau minta tolong besok kamu antar Ibu kerumah kak Nada ya? Kakak mau nitip surat nih. Tahu kan?”
“Iya kak, aku tahu kok”
“Mana Ibu? Aku mau ngomong sebentar”
“Iya, halo ada apa nak?” terdengar suara Ibu yang lembut nan ramah menjawab telpon dariku.
Belum sempat kusampaikan maksudku yang sebenarnya, mataku dibuat terbelalak ketika melihat 2 sosok yang cukup asing bagiku. Mereka berpenampilan cukup aneh. Dengan pakaian serba putih, serta wajah yang bersinar cukup menyilaukan. Dengan posturnya yang tinggi besar, aku yakin bahwa sosok itu bukanlah manusia. Apalagi manusia Indonesia, yang umumnya memiliki postur badan pendek dan kulit sawo matang.
“Ya Allah, Inikah utusan-Mu yang akan mengambil nyawaku?” gumamku dalam hati.
Belum lama aku terkejut, tiba-tiba terdengar suara Ibu dari telepon yang sedari tadi masih tersambung.
“Halo, nak? Kok diam saja?” tanya Ibu.
“Aaarrrggghhh!!!” jeritku ketika merasakan rasa sakit yang amat sangat.
Tiba-tiba rasa sakit yang kurasakan ketika pingsan beberapa hari yang lalu, kini terasa kembali. Namun kali ini terasa ada yang berbeda. Selain rasa sakit yang lebih hebat, mati rasa yang kualami dibagian kaki membuatku semakin takut. Ditambah dengan 2 sosok misterius yang terus menatapku dari balik pintu, membuatku yakin bahwa memang sampai disinilah ajalku.
“Haa, loo! I..buu? Ibb, bbu ma, ssih di, ssana kan?” suaraku terbata-bata.
“Iya nak ada apa?” suara Ibu terdengar cemas.
“A, a, aakkkuu ttii, tiipp suu, raattku untuk Nad, ddaa ya. Sam, pa, ikan ma, affkkuu padanya ka, rreennaa tellah memm, buat, dii, a kec, kecc, eewaa.” Suaraku semakin terbata-bata.
“Iya Nak. Pasti, pasti akan Ibu sampaikan.” Suara Ibu terdengar bercampur tangis.
“Ibb, uu jagg, ggaa Tan, tti y, aa? Se, sel, lammatt ting, ggaa, ll”
“Kamu ngomong apa sih nak? Jangan bikin Ibu semakin cemas” kata Ibu sedih.
“Assala, muuk, aa,laai, kumm” suaraku sudah terputus. Mata yang terasa amat berat serta nafas yang tersisa hitungan detik, menjadi detik-detik terakhir bagiku untuk menatap dunia ini. Masih dalam posisi terpejam, kurasakan tubuhku menjadi sangat ringan hingga bisa terbang. Baru beberapa detik mata ini terpejam, kini kulihat tubuhku telah terbujur kaku terbalut selimut. Mungkin ini yang dinamakan berbeda alam.
Kulihat beberapa sanak saudara telah bermandikan air mata di sekeliling jasadku. Termasuk Ayah dan Ibu. Derasnya cucuran air mata yang mengalir seakan belum merelakan kepergianku. Namun anehnya, sedari tadi belum kudapati sosok adikku. Aku tak mengerti kemana perginya ia. Tiba-tiba sesosok wanita memasuki rumah dan memeluk erat tubuhku. Aku tak tahu siapakah sebenarnya dia. Kerudung yang membungkus kepalanya, membuatku tak dapat melihat wajahnya. Yang kutahu, ia terlihat sangat kehilangan. Berulang kali ia memeluk dan menangis di atas jazadku. Lalu diikuti oleh satu perempuan lagi yang segera duduk di samping jazadku. Dan baru kuketahui bahwa mereka adalah Nada serta adikku.
Dengan perintah dari adikku, Nada membuka secarik kertas serta sebuah buku yang masih terlipat rapi di samping tubuhku. Digenggamnya tanganku yang mulai mendingin, dan diciumnya beberapa kali. Wajah Nada nampak amat sedih. Tak bisa ia tutupi lagi kesedihan yang amat mendalam tersebut. Dengan perlahan, dibukanya surat dariku. Dengan nafas yang sedikit tersengal tangis, ia baca perlahan surat serta ucapan terakhirku untuknya.
Untuk mantan kekasihku,
Nada
Nad, maafkan aku ya. Karena selama aku menjadi kekasihmu, aku tak bisa menjadi sosok yang kau inginkan. Aku tidak bisa menjadi kuat, bahkan hanya untuk melindungimu saja aku tak mampu. Maafkan aku, karena aku hanya bisa menjadi seorang penulis. Tapi hanya lewat tulisan inilah aku mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya. Bahwa, aku masih mencintaimu. Meskipun kutahu, kau terlalu istimewa bagiku. Dan kutahu juga bahwa saat kau membaca suratku ini, semuanya telah terlambat. Hari ini mungkin menjadi hari-hari terakhir dalam hidupku. Atau bahkan ini akan menjadi perpisahan terakhir kita. Meskipun kini kita bukanlah seorang kekasih lagi, tapi aku ingin kau menyimpan buku ini. Buku yang akan mengingatkanmu tentang perjalanan cinta kita yang terukir indah di dalamnya.
Cerpen yang mengisahkan perjalanan cinta kita mulai saat kita pertama bertemu, saat-saat kita menebar canda tawa, duduk berdua di cafe, bahkan sampai saat kita menikah dan hidup bahagia bersama kelak. Meskipun hidup bahagia bersamamu kini hanya bisa menjadi impian, namun aku tetap bahagia bisa bertemu dengan bidadariku. Aku ucapkan terima kasihku karena kamu telah menemaniku hingga di akhir hayatku ini. Dan aku juga berterima kasih karena kamu telah memaafkan kesalahanku. Kini aku dapat beristirahat dengan tenang. Selamat tinggal cintaku. I miss you.
Tertanda
M. Awan Bimantara
“Tidaaakkk!!!.. Bangun Awan!, bangun! Aku sudah disini, sekarang kamu bangun!!! Ini aku, Nada. Kekasihmu” suara Nada diiringi tangis terdengar sangat keras.
“Percuma Nad, ini sudah terlambat. Semoga Tuhan mempertemukan kita di alam yang lebih kekal.”


–END–

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Rindu Tapi Malu

Rintik-rintik hujan menerjang atap rumah, mengalir di sela atap, jatuh menghujam ke tanah kering mereking. Mengalir ke tanah terdalam. Tanaman anggrek dan melati gembira-ria menyambutnya, namun Rahma sangat sedih. Hatinya tertusuk sembilu, jantungnya sendat, aliran darahnya terasa mengalir lambat. Rahma mengingat kekasihnya, Aris. Ingin sekali Rahma memeluknya, mendekapnya, dan bercanda dengannya. Tapi kini terlambat sudah, Aris sudah pergi jauh. Memang penyesalan tidak akan berada di depan kejadian, dan begitulah teorinya. Rumah Rahma tampak sepi, hanya ada kucing kuning yang menemaninya hari itu, dibunyikannya musik pada komputernya, lagu mellow. Ya, seperti suasana hati Rahma. Sangat mellow. Biasanya, selalu ada saja kenangan Rahma bersama Aris setiap harinya. Saling mengirim pesan pendek, menelpon atau bahkan Aris berkunjung ke rumah Rahma, namun kini semuanya sudah berakhir. Waktu tak akan bisa diputar ulang.

Awal pertemuan mereka. Rahma mengikuti Orentasi Studi Pengenalan Kampus (OSPEK), di awal masa kuliahnya. Aris sebagai pengelola kegiatan kala itu. Pepatah lama, “Dari mata turun ke hati” telah menghipnotis mereka berdua. Rahma suka sekali curi pandang kepada Aris, di sela-sela kegiatan. Ketika Aris sedang sibuk mengurusi junior-juniornya, termasuk Rahma. Aris juga sudah merasakan kimistri saat memandang Rahma, ada perasaan yang kuat dalam dirinya, sulit untuk didefinisikannya ke dalam tulisan ataupun kata-kata. Di pantai, tempat dimana upacara penutupan OSPEK dilaksanakan. Aris menghampiri Rahma, disaat yang tepat. Rahma sedang duduk sendiri menunggu temannya mengambil makanan. Aris mendekat perlahan memulai obrolan ringan. Untuk mengakrabkan diri kepada sang pujaan hatinya.
“Rahma,” ucap Aris memulai. Perasaan gugup menyerang tubuhnya. Rahma juga, ia tak mengerti maksud Aris kali ini. Ada apa tiba-tiba Aris begitu serius.
“Ya, Kak.” Jawab Rahma.
“Dalam hidup ini, apa yang kamu takutkan menghilang darimu?” Tanya Aris mencoba serius. Aris dikenal dengan selera humornya yang tinggi, jarang sekali ia serius. Kecuali saat ia bermain catur saja. Walau ia suka Humor, namun ia sangat tegas, berani dan cerdas. Ia juga dipercaya sebagai Ketua Pengelola kegiatan OSPEK saat itu.
“Kasih sayang seorang Ibu,” jawab Rahma pelan.
“Kenapa?” Tanya Aris lagi.
“Ibu sangat berarti bagi semua anak di dunia, tanpa ibu tentu tidak ada yang namanya anak. Dan surga itu di telapak kaki Ibu, bukan?. Ketika hilang kasih sayang seorang Ibu, maka menjauhlah ridho Allah kepada kita.” Jelas Rahma. Aris diam sejenak sambil mengangguk membenarkan kata-kata Rahma. Ia merenung, otaknya berputas cepat, membangun strategi bagaimana untuk mengarahkan obrolan sesuai dengan yang direncanakannya.
“Kalau kakak? Apa yang diharapkan tidak boleh hilang.” Rahma balik bertanya.
“Cinta,” jawab Aris singkat. Rahma terkejut dalam hatinya, bertanya-tanya apakah alasan yang diberikan Aris akan jawaban itu.
“Cinta?”
“Ya, Cinta.”
“Dapatkan beri Rahma alasannya, Kak?”
“Karena aku cinta kepadamu, Rahma.”
“({})” Rahma terpaku, tidak berkata apa-apa, mukanya merah malu. Hatinya berbunga, musim semi menghibur dalam sanubarinya.
“Apakah sebuah kesalahan jika aku mencintaimu, Rahma?” Rahma menggeleng sambil membenarkan posisi simpuhnya yang sedikit salah. Bukan posisi duduknya yang salah, tapi dirinyalah yang salah tingkah.
“Rahma, Aku mencintaimu.” Aris mengulang kata-katanya. Rahma menggangguk pelan. Tersungging senyum di bibirnya, senyum simpul yang termanis sengaja dipajang demi Aris di hadapannya.

Rahma selalu bahagia bersama Aris, mereka sepertinya sudah dipertemukan oleh tuhan untuk bersama. Rencana kedepan, mereka melanjutkan kepelaminan setelah selepas kuliah Aris nanti. Rahma kini belajar di semester awal, sedangkan Aris menginjak semester delapan. Hanya menunggu penulisan skiripsinya selesai, dan kemudian diujiankan lalu diwisudakan. Hari-hari mereka menyenangkan, tidak pernah putus komunikasi. Walau jarak rumah mereka sangat jauh, namun hati mereka dekat. “Jauh di mata dekat di hati” begitulah pribahasa kala jatuh cinta.

Aris tinggal bersama Ibunya, ditemani dua orang adik perempuannya. Ira, duduk di bangku kelas empat SD dan Mia, sudah kelas satu SMP. Demi penghidupan mereka, Aris membatu ibunya menjajakan kue tiap paginya. Malam hari, Ibu dan Aris tidak tidur lebih cepat. Karena harus mengaduk adonan kue untuk di masak kala subuh, jika dimasak sebelum pukul sepuluh atau sebelas malam, Kue yang dijual pada pagi harinya kurang enak. Karena sudah dingin. Dengan hidup mandiri, Aris belajar menempuh hari dengan ketabahan dan kesabaran, walau keluarga mereka sederhana. Mereka tetap bersyukur, sebab masih banyak orang di luar sana yang lebih buruk keadaanya dari pada mereka.

Berkenalan dengan Rahma, telah menambah warna dalam hidup Aris. Rahma dengan latar belakang keluarga berkecukupan tidak pernah sedikitpun merendahkan Aris di hadapannya. Rahma selalu bergaul dengan semua orang tanpa pilih kasih. Ia senang sekali membatu teman-temannya. Rahma hidup lengkap dengan Ayah dan Ibunya, sedangkan kakak-kakaknya sudah menikah dan meninggalkan rumah untuk hidup bersama suami-suami mereka. Rahma dengan karakter pemalu, dan sopan santun yang tinggi. Ia menjadi anak yang disenangi orang-orang yang memandangnya, jilbab panjang kembang selalu menutupi paras ayunya dan memancarkan aura wanita muslimah. Hubungan Rahma bersama Aris sudah sangat dekat, baik keluarga Rahma maupun keluarga Aris sudah saling suka dan menyetujui hubungan mereka.

Akhir-akhir ini, Aris sering sakit kepala. Sepertinya Ia kurang sehat. Ibunya terpaksa menjajakan Kue ditemani adik bungsunya, Ira. Entah apa yang menyerang kesehatan Aris, mereka tidak begitu mengerti akan hal itu. Mungkin Ia terlalu giat bekerja hingga tidak memperhatikan keadaannya. Ibunya, Ny Tati, sangat khawatir akan keadaan Aris, sering Ia membujuk anaknya untuk berkunjung ke Puskesmas terdekat demi mengecek kondisi kesehatannya. Menurut pak Mantri, Aris tidak apa-apa hanya saja kelelahan dan kurang istirahat. Aris memang tidak pernah berlama-lama terbaring di kasur, memanjakan penyakitnya. Ia terus berusaha untuk kuat, meski Ia terlihat sangat rapuh.

Aris kembali dengan aktivitasnya, menjual kue bersama Ibu, kuliah dan membantu adik-adiknya mengerjakan tugas. Pagi itu, Aris kambuh lagi, kini dadanya terasa sesak, napasnya sendat, perutnya terasa penuh. Ny Tati sangat terkejut melihat kejadian yang menimpa anak sulungnya itu.
“Aris, Aris, kamu kenapa” Tanya Ny Tati tergesa-gesa dan memandang anaknya dengan tatapan sendu. Raut mukanya mengerut, garis-garis tua itu mengalir di belahan parasnya.
Aris tidak bisa berkata-kata, suaranya tersangkut di kerongkongan. Ia hanya memegang dadanya, mengatur napas dengan sendirinya, namun itu sangat sulit baginya. Ny Tati menyuruh Mia untuk memanggil Pak Ali; tetangnga sebelah yang merupakan tabib di wilayah kediaman mereka. Bergegas Pak Ali menghampiri Ny Tati dan Aris yang masih terbaring depan ibunya. Segera Pak Ali, memberikan bacaan mantra kepada sebuah botol berisi air. Kemudian ia menyodorkannya kepada Ny Tati untuk diminumkan pada Aris. Bukan sulap bukan sihir, bukan pula mengada-ngada, beberapa menit selepas meminum air dari Pak Ali, Aris sedikit membaik, Ia sudah dapat memulai kata-kata penjelasan keadaannya kepada Ibunya.
“Aris sudah tidak apa-apa bu” ucap aris pelan.
“Syukurlah, Nak” tanggap Ny Tati.

Setelah Aris bangkit dari sakit mendadaknya pagi itu, Ibunya mengajak Aris menuju Rumah Sakit, demi mengetahui jelas penyakit Aris. Dengan bantuan tenaga medis dan peralatan yang lengkap pada rumah sakit, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Aris di diagnosis mengidap mag yang sudah parah, lambungnya telah menipis dan dipenuhi luka. Aris seseorang yang sangat disiplin namun dibalik itu Ia memiliki kebiasaan jelek, yaitu menunda makannya hingga pekerjaannya selesai.

Rahma merupakan teman, sahabat sekaligus kekasih buat Aris. Mereka sangat akur nan bahagia. Dengan sikap malu-malu Rahma, Ia tampak sebagai sosok wanita anggun di mata Aris. Wanita memang harus banyak malunya, jika terlalu agresif, tentu mengurangi keanggunannya. Aris seorang humoris, Ia mampu membuat Rahma selalu tersenyum dan tertawa, walau sering juga Rahma mengeluh, kapan pacarnya itu serius. Untuk melihat wajah masing-masing, Aris harus menuju ke rumah Rahma atau bertemu Rahma di kampus. Pacaran mereka tidak seperti masa kini; mingguan berdua, shopping berdua, ngampus berdua. Tidak ada hari mingguan bersama kekasih bagi Aris. Namun dibalik itu, Rahma sangat memahami keadaan Aris. Komunikasi terus mereka lakukan walau jarak mereka jauh. Bertukar pesan singkat atau telpon-telponan sudah menjadi obat mujarab bagi pertahanan hubungan mereka.

“Rahma, Aku rindu padamu.” Ungkap Aris di balik ponselnya. Ia benar-benar rindu kekasihnya. Seminggu ini Ia tidak dapat ke kampus atau ke rumah Rahma untuk melihat dan berjumpa dengannya. Ia berharap ungkapan yang sama juga keluar dari bibir tipis Rahma. Namun, Rahma tidak pernah mengucapkan kalimat itu. Ia sangat menjaga kata-katanya, Ia juga sangat malu mengungkap perasaannya. Mungkin beberapa wanita memang seperti Rahma, malu mengungkapkan, padahal mereka ingin mengatakannya.
“Iya, kak. Bagaimana keadaanmu?” jawab Rahma. Ia tidak mengungkapkan perasaan rindunya. Ia ingin Aris mengetahui tanpa Ia mengungkapkannya. Ya, Aris memang sangat paham akan perasaan itu, namun Ia ingin lidah lentik itu yang mengucapkannya, untuknya.
“Kini Aku sedikit membaik” singkat Aris. Menjawab pertanyaan Rahma, yang mengalihkan dari tema awal pembicaraannya. Aris tidak ambil pusing, Ia ikut saja alur yang dibuat Rahma, karena Ia sangat mencintai kekasihnya, Ia ingin Rahma merasa aman jika berada dekat dengannya.
“Kabarmu, bagaimana. Rahma?” sambung Aris.
“Alhamdulillah juga sangat baik, kak.”
Obrolan mereka sangat lugas dan menyenangkan, walaupun jarang sekali membahas tentang perasaan masing-masing. Mereka tidak mengalami gangguan yang serius dalam hubungan asmara. Mereka saling memahami keadaan masing-masing, saling percaya, itulah pondasi yang kokoh, yang mereka bangun demi berdirinya istana cinta mereka.

Sebulan lagi Aris akan melaksanakan ujian skiripsi. Di rumahnya, Saat Ia sedang menilik ulang hasil penelitiannya, Aris tiba-tiba pingsan. Ibunya yang sibuk di dapur baru mengetahuinya setengah jam kemudian saat memasuki kamar Aris, wajah tuanya terkaget melihat tubuh anaknya tergeletak di lantai dekat kursi belajarnya. Adik-adiknya sedang tidak di rumah, masih di sekolah. Pikiran Ny Tati meronta, apa yang akan dilakukannya, otaknya menempuh jalan buntu, raut khawatir jelas terpampang di mukanya. Seketika Ia mengangkat pelan tubuh Aris, menggesernya mendekati kasur tempat tidur. Cukup lama Aris pingsan. Ny Tati terpaku, duduk di sebelah Aris menunggunya tersadar. Karena Ia yakin anaknya belum meninggal, sebab terasa masih sangat hangat tubuhnya ketika Ia menyentuhya tadi.
“Ya Allah, apa gerangan yang terjadi pada anakku?” batinnya.

Satu jam Ny Tati ditemani suasana hening, pikirannya melayang jauh, meloncat luar pintu, mencari-cari jawaban, kapan anaknya terbangun. Aris mulai mendapatkan kembali ingatanya, matanya terbuka, suara paraunya menyapa ibunya, Ny Tati.
“Aris tidak apa-apa, Bu.” Nada rendah keluar dari bibirnya yang masih kelihatan bergetir.
“Sudahlah, Nak. Istirahat saja dulu,” jawab Ny Tati sambil menyodorkan segelas air putih kepada Aris.
Sepulang adik-adiknya dari sekolah, Ny Tati mengajak Aris dan yang lainnya menuju RSUD, untuk mengecek kembali kesehatan Aris. Aris masih belum bisa bangkit, perlu dibopong untuk berdiri ataupun berjalan. Ira dan Mia disuruh ibunya mencari bantuan tetangga untuk mengantarkan Aris ke Rumah sakit. Setelah didiagnosa dokter, Aris diputuskan untuk dirawat inapkan hingga kesehatannya kembali normal.

Rahma mendapat kabar melalui pesan singkat dari Ira, adik Aris. Bergegas Ia menuju rumah sakit. Dalam perjalannan, suasana hatinya gundah gulana, ingatannya terbang ke angan mencari kabar tentang sakitnya sang pujaan hati. Ia tidak pernah membayangkan penyakit Aris begitu parah. Ia teringat akan pamannya yang meninggal satu tahun silam, karena lambungnya bocor. Namun pikiran itu segera Ia tepis. Ia berharap Tuhan memberikan kesembuhan kepada kekasihnya itu. Pintu ruang inap melati terbuka, Rahma melihat Ny Tati, Ira, dan Mia duduk menemani Aris yang terbaring tanpa daya, hanya senyum ketegaran yang tersungging di bibirnya ketika melihat Rahma mendekat kepadanya.

Satu hari setelah diianapkan, Rahma mendapat kembali kabar bahwa kesehatan Aris menurun drastis, padahal kemarin terlihat Ia sudah membaik. Rahma bersama ayah dan ibunya bergegas menuju rumah sakit.
Di ruang perawatan tampak Ny Tati dengan wajah kusut, raut kekhawatiran jelas tergaris di wajahnya. Keluarga Rahma dan Aris mengelilingi tempat tidurnya. Aris tersenyum kepada semuanya, senyum demi menyenangi hati yang melihatnya. Jelas senyum itu terlukis bahwa Ia ingin tampak kuat dan akan sembuh, namun terlihat Aris begitu memaksakannya.

Ny Tati menggenggam tangan Aris, kesedihan tidak dapat ditutupinya. Air matanya tumpah perlahan mengalir di pipinya. Aris berusaha mengangkat tangannya, namun Ia tidak kuasa dan tangannya kembali terjatuh ke tempat tidur.
“Maafkan Aris, Bu. Aris sudah menyusahkan ibu, seharusnya hari ini kita masih bisa menjajakan kue, Mia dan Ira juga masih bersekolah. Maafkan Aris, Bu.” Suaranya begitu lemah, Air mata Ny Tati mengalir deras. Tidak berkata apa-apa, Ia hanya mencium kening anaknya itu, dan terus terisak-isak dalam tangis.

Ayah Rahma bersandar di tembok, Ibunya memengang bahu Ny Tati, mengisyaratkan agar selalu tegar menghapi keadaan ini. Mia dan Ira yang berdiri di hadapan abangnya juga mundur bersandar di tembok. Nampak mereka begitu galau melihat keadaan Aris.

Aris menatap Rahma, kembali Ia mencoba tersenyum. Namun tidak sempurna. Rahma mendekatinya dan membalas senyuman Aris. Mata Rahma terasa memanas menahan tangis. “Rahma, maafkan aku yang telah membuatmu khawatir. Sungguh aku sangat merindukanmu.” Nada suara Aris nyaris tidak terdengar. Rahma hanya mengangguk, tidak sanggup berkata walau sepatah pun. Aliran air matanya mulai deras. Aris kembali mencoba menghapusnya, namun gagal. Tangannya tidak bisa menuju wajah Rahma dan terjatuh kembali di tempat tidur. Rahma tidak mengerti maksud Aris, Ia hanya diam. Ayahnya mengangguk. Kemudian Rahma mencium kening Aris.

Aris menatap semuanya satu persatu yang mengelilinya. Saat menatap Rahma, Ia berhenti lama. Matanya seakan menjelaskan sesuatu, namun Rahma tidak dapat meraba maksudnya. Kemudian Aris menutup matanya dan senyum menghiasi bibirnya. Rahma mengira Aris kelelahan setelah berbicara banyak dan tidur. Namun ternyata Aris menutup matanya untuk selama-lamanya. Rahma mengetahuinya setelah Ny Tati histeris dan pingsan.
“Innalilahi wainnalillahi rojiun” lafaz itu keluar dari mulut semua yang berada di ruangan itu. Terlihat sebuah tarikan napas terakhir Aris dan senyum tetap terpajang di bibir keringnya.

Ibu Rahma, Mia dan Ira sibuk mengurusi Ny Tati yang pingsan. Ayah Rahma keluar ruangan, mengabari kepada staf Rumah sakit akan berita duka itu. Rahma tertunduk menangis. Tangis semuanya pecah menyaksikan Aris kembali kepada-Nya. Kelihatannya Tuhan lebih sayang kepadanya dibanding dengan yang lainnya. Tuhan tidak ingin melihat Aris menderita lebih lama lagi menanggung sakit yang dideritanya.

Kerinduan dan kesepian kini menjadi sahabat Rahma di hari-harinya. Kadang Ia mengenang kisahnya bersama Aris, saat memandang senyumnya di kegiatan OSPEK, saat Ia menyapa Rahma, ketika Aris menatapnya di ruang perawatan. Rahma sangat merindukan kekasihnya itu, “Aku sangat merindukanmu Rahma,” ucapan itu masih sangat melekat pada pikiran Rahma. Ingin sekali Ia membalas ucapan itu. Namun waktu tidak akan pernah kembali, Ia menyesal tidak pernah mengunggapkan perasaan sesungguhnya kepada Aris, Ia egois. Ingin selalu di pahami oleh Aris, namun Ia tidak mengerti perasaan Aris. Kini Rahma hanya bisa berdoa. Semoga Aris berada disini-Nya dengan damai. Semoga dosa-dosanya diampuni.
“Kak Aris, Rahma juga merindukanmu.” Rahma membatin, air matanya mengalir membasahi pipinya.
“Kenapa Aku harus malu megungkapkan perasaanku padanya, padahal aku sangat mencintainya. Kak Aris, maafkan Rahma. Ya, Robb… Ampunilah dosa-dosaku”.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cinta Yang Tak Terbalas

Siang itu siswa kelas XI dan XII sibuk mendaftar untuk study tour lokal. Dan kebetulan aku pendaftar paling terakhir. Aku kira aku siswa kelas XI sendiri yang berada di bis kelas XII, ternyata tidak, ada Nuliadi, Mardi dan Prastyo. Ya aku cewek sendiri untuk yang kelas XI di dalam bis itu. Awalnya aku sama sekali tidak mengenal dia (Nuliadi). Untuk bicara pun kami tidak pernah, padahal kelas kami berdampingan.
Setelah selesai study tour aku melihat daftar nama pembimbing di mading, sama sekali tak ku sangka aku satu pembimbing dengannya. Tapi aku bersikap biasa saja karena aku tidak begitu dekat dengannya. Berjalannya waktu aku pun diam-diam memperhatikannya. Dan ternyata ada yang berbeda di dalam hatiku. Tapi aku selalu memendam apa yang ku rasakan, hingga aku mulai dekat dengannya karena urusan karya tulis. Waktu demi waktu kita lalui, aku selalu memberinya semangat untuk menyelesaikan karya tulis tersebut walaupun dia agak malas mengerjakannya. Tiada hari aku selalu mengingatkannya, sampai-sampai satu kelasnya pun hafal jika aku pergi ke kelas nya “pasti bahas karya tulis”. Setiap saat aku membantunya untuk mengerjakan karya tulis tersebut sampai-sampai aku membuatkannya Latar belakang. Iya aku lakukan itu tulus karena aku sayang dengannya. Tapi apa setelah aku rela-rela membantunya dia sama sekali tidak memperdulikan karya tulisnya malah mementingkan futsal. Hingga akhirnya aku marah dan kesal terhadapnya. aku diamkan dia aku tidak perduli mau selesai atau tidak karya tulisnya, tapi sebenernya itu bohong besar semarah apapun aku, aku masih tetap memperdulikannya. Hingga karya tulisnya selesai sampai bab pembahasan.
Pagi itu aku sengaja main ke kelasnya untuk menemui sahabat ku yang bernama puspita, ya sebenarnya alasan untuk melihat dia hehehe. Tapi apa yang ku dapat ternyata dia sedang duduk berdua dengan teman sekelasnya yang bernama wulan. Hatiku sempat hancur saat itu tapi aku mau berfikir positif saja, mungkin hanya ngobrol biasa. Sampai ku cari tau semuanya lewat sahabat aku, dan ternyata mereka sedang dalam proses pendekatan, hatiku benar-benar hancur aku benar-benar merasa sakit hati, tak bisakah sedikitpun dia peka terhadap perasaan ku .
Waktu semakin berlalu, seminggu aku tak mendapat kabar darinya dan aku pun sengaja tidak mau mencari kabar tentangnya.
Ujian Nasional pun berlangsung, aku dan teman-temanku duduk di depan mushola sambil belajar, saat mataku menatap ke depan tempat wudhu ketemui wajah yang tak asing. iya dialah nuliadi yang sedang bersama wulan, hatiku benar-benar hancur aku hanya bisa mengungkapkan semuanya kepada sahabat ku andita, dia satu-satu nya orang yang mengetahui bahwa aku menyayangi nuliadi. dia memberiku semangat “udah ma, kita masih ujian, fikirin ujian dulu jangan fikirin dia, semangat ya” aku cuma membalasnya dengan senyuman.
Ujian nasional pun telah berakhir dan seluruh kelas XII dipersilahkan untuk kumpul dulu di lapangan upacara. Aku berdiri di sebelah andita sahabatku sambil mataku melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari nuliadi tapi apa yang ku dapat kehancuran dia berdiri di samping wulan dengan mesra berdua. Mataku tak mampu menahan rasa sakit itu hingga air mata pun menetes. lalu aku pindah ke tempat yang tak dapat melihatnya.
Berminggu-minggu aku tidak kesekolah, ya karena sudah tidak ada yang perlu ku selesaikan jadi aku tidak ke sekolah. Selama itu aku tidak bertemu dengannya, hingga saat ada acara di sekolah aku dan tiga sahabatku ke sekolah untuk refreshing. Sesampai disana kami malah jenuh, acaranya tidak begitu meriah dan biasa saja. Sahabat-sahabatku mengajakku pergi untuk melihat pameran, ya sudah aku ikut saja, Tapi disana aku malah melihat nuliadi sedang bermesraan dengan wulan tanpa pikir panjang aku langsung berlari dan menangis dan sahabatku andita mengikutiku , Dia berkata “Jangan begitu ma, nanti mereka curiga sama kamu”, aku hanya bisa menangis dan mengatakan “sakit ngeliat mereka berdua seperti itu an”. Dan kemudian aku memutuskan untuk pulang daripada aku harus merasakan kekecewaan.
Hari demi hari ku lewati sendiri di rumah dan tibalah waktunya pengumuman. Tepat pada waktu itu seluruh siswa kelas XII masuk ke dalam kelas masing-masing untuk dibagikan amplop kelulusan. Setelah kami buka bersama amplop itu ternyata kami lulus semua rasa bahagia sangat ku rasakan hari itu, akhirnya aku bisa menyelesaikan sekolah ku di SMA. Saat di perjalanan pulang aku melihatnya duduk di depan TU bersama wulan, ternyata dia belum diberi amplop kelulusan karena karya tulisnya belum selesai, saat aku melewatinya dia tersenyum manis kepada ku, tapi aku membalasnya dengan senyuman sinis padahal dalam hati aku sangat mengharapkannya.
Setelah kelulusan itu tak lagi ku dengar kabar dari dirinya, ku kirim message pun tak di balas olehnya. Dari sini ku berusaha untuk melupakannya, mungkin memang dia tercipta bukan untuk aku. Aku bahagia pernah menyayanginya walaupun harus sesakit ini aku menyayanginya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Seharusnya Tuhanku, Bukan Kamu!

Jemari tangan Aisyah masih menari di atas tuts-tuts piano tua itu. Menebarkan jutaan nada yang berdenting halus memukau jiwa. Dia masih asyik memanjakan hasratnya, terbelenggu dalam lantunan melody yang terangkai merdu. Dia masih sibuk disana, menghabiskan waktu untuk bermain alat musik kegemarannya.
Nampaknya lantunan melody piano berhasil memenangkan pendengarannya. Aisyah kini tak menyadari handphone nya telah ribut berkicau cukup lama. Setelah cukup puas bermain, Aisyah lalu memilih untuk menyudahi konser kecilnya. Betapa lelah otot-otot serta jemari mungil itu. Sambil berelaksasi, dia memalingkan wajah dan seketika menyadari bahwa dirinya baru saja mendapatkan mini heart attack.
Dengan segera dia beranjak dari kursi kecil itu. Diraihnya sebuah handphone yang sedari tadi terkapar dan teracuhkan di atas sofa. Dengan hati penuh kecemasan, Aisyah membuka gadget mungilnya dan mendapati beberapa unread messages serta missed calls dari Nanda sang kekasih. Kini perasaannya semakin tak tenang.
Benar saja, semua pesan yang dibaca dengan perasaan was-was dan takut itu kini menjelaskan secara terang benderang. Seperti biasanya, Nanda mulai berkicau panjang lebar, marah-marah dan banyak meletakkan tanda seru di setiap kalimat yang dituliskannya.
Ya, Aisyah tak begitu terkejut mendapati dirinya dibantai habis-habisan dengan kalimat yang tidak enak. Dia tau betul sifat pacarnya itu, yang selalu marah-marah jika smsya lambat dibalas, telponnya tak kunjung diangkat, mention twitter tenggelam, atau jika Aisyah sedang sibuk melakukan sesuatu sehingga dianggap tidak perhatian dan melupakannya. Memang ini terlihat sangat complicated, tetapi gadis ini masih bersabar. Telapak tangannya lalu diusapkan lembut di dada. Dia tidak mau ikut-ikutan tersulut emosi. Ya, setidaknya hanya untuk mendinginkan suasana kala itu. Tidak ada guna berkelahi, pikirnya.
Jalan raya itu kini semakin ramai. Berisikan insan yang hendak kembali ke rumah setelah lelah beraktivitas seharian. Tergambar jelas pergulatan antara mobil dan motor kala itu. Saling bersaing menebarkan polusi udara dimana-mana.
Nanda mulai mengerutkan dahinya. Berulang kali menerobos pandang ke arah luar dari balik kaca jendela sebuah cafĂ©. Dia memang sengaja memilih tempat di pojokan, tepat menghadap kaca jendela berukuran sekitar 3×2 meter yang berornamen kupu-kupu. Satu-satunya alasan yaitu karena tempat itu dirasa sangat strategis untuk segera menangkap bayangan orang yang ditunggunya jika telah tiba nanti. Berulang kali Nanda mengganti posisi duduk sembari meremas-remas jemarinya dengan gelisah. Memang hal menyebalkan apalagi yang sedang dilakukannya selain menunggu Aisyah?
Tak berapa lama kemudian sang gadis yang ditunggupun akhirnya datang. Tersirat jelas raut wajah Aisyah yang gelisah, jauh lebih gelisah daripada sosok di hadapannya itu. Dia tau pasti Nanda akan marah dan ngomel-ngomel lagi.
“Kenapa lama sekali sih!” Nanda memulai pembicaraan dengan nada ketus. Tentu saja itu bukan cara memulai pembicaraan yang baik, apalagi kepada seorang wanita.
“A-aku baru pulang kuliah” Dengan gugup Aisyah lalu mengambil tempat tepat di depannya.
“Bukannya kamu sudah keluar dari setengah jam yang lalu? Naik taksi kesini butuh waktu selama itu ya?” Nanda berbicara seolah menyudutkan posisi gadis yang sedang duduk tepat di hadapannya.
“Ya kamu sabar dong. Kan aku pulang juga gak langsung buru-buru naik taksi” Aisyah berusaha menjelaskan dengan tenang.
“Iya, kan masih asyik cerita dengan teman-teman cowok kamu hahaha” Nanda mulai menyindir lagi. “Tega banget ya, sudah tau kita udah janjian ketemu, eh kamu malah sengaja biarin aku nunggu lama”
“Ya ampun Nanda, bukan begitu. Ah mau dijelasin kayak apa juga pasti kamu tetap bakal marah dan gak percaya kan. Ya udah maaf” Gadis itu tertunduk, mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Dia sungguh kecewa dengan sikap pacarnya barusan.
Aisyah kini menjadi serba salah. Dia kebingungan merangkai kata untuk menjelaskan semuanya. Karena dia tau apapun dan bagaimanapun penjelasan yang diberikan, ujung-ujungnya dia tetap akan menjadi kambing hitam yang selalu terpojokkan dan tidak memiliki hak untuk membela diri. Mengapa semua menjadi serumit ini?
“Ya udahlah kita lupain aja masalah itu. Yang penting sekarang kamu sudah datang” Seperti ada sedikit cahaya di mata Aisyah ketika mendengarnya. Akhirnya Nanda sudah tidak mempermasalahkan hal tadi lagi. Gadis bermata cokelat itu kini bisa sedikit bernapas lega.
“sekarang ini aku mau certain ke kamu tentang temen kerja aku di kantor. Dia itu sangat menyebalkan!” Nanda seperti robot yang sudah disetting untuk selalu marah. Baru saja satu masalah terselesaikan kini ada saja masalah baru yang muncul. Aisyah tau hal apa yang harus dilakukannya sehabis ini. Seperti biasa dia hanya harus ‘mematung’. Ya, layaknya boneka yang hanya disuruh diam mendengarkan keluh kesah si pemilik tanpa berucap apapun. Seperti mainan pelampiasan emosi.
Tentu saja mood Aisyah jadi berubah total. Dia capek-capek pulang kuliah hanya untuk mendengarkan cerita gak penting cowok itu? Aisyah tertunduk lagi, matanya sayu. Sabar Aisyah, sabar saja dulu. Batin Aisyah menjerit-jerit. Nanda ternyata cukup peka dalam melihat perubahan mimik wajah kekasihnya. Tetapi bukan hanya itu, perhatiannya kini lebih tertuju pada kedua kelopak mata Aisyah.
“Hey tunggu dulu, apa itu di mata kamu?” Nanda mulai memicingkan kedua bola matanya.
“Apa? Oh ini eye liner. Memangnya kenapa?”
“Kamu kok tumben pakai kayak gituan? Aku gak suka, gak natural! Gak usah ikut-ikutan teman-teman kamu yang dandanannya menor! Jangan-jangan kamu mau memikat hati cowok lain!” Nanda melipat kedua tangannya, melotot hingga kedua bola matanya hampir melompat keluar beserta saraf-saraf yang timbul di dahinya. Wajahnya nampak sangat merah seperti tomat yang sudah matang.
“Ya Ampun, apa-apaan sih kamu ini. Aku pakai ginian aja kamu sampai mikirnya negative kayak gitu? Kamu tega sekali ngomong seperti itu. Kamu gak pernah mikir perasaanku Nanda!” Seketika Aisyah shock. Seperti ada papan kayu besar yang menumbuk dadanya. Lagi-lagi dia salah, selalu salah.
“Sudahlah Nanda. Jika kita lanjutkan perbincangan ini, akan ada ratusan lagi topik perkelahian baru yang kita mulai. Lebih baik aku pulang saja sekarang”
Aisyah langsung berpaling tanpa menunggu jawaban dari lelaki yang nampak geram di belakangnya. Dia memilih untuk tidak menggubris setiap pandangan mata orang-orang sekitar yang melihat ke arah mereka berdua. Apalagi menggubris cerocosan penuh amarah sang kekasih. Sungguh tak penting lagi. Saat itu pikirannya hanya satu, pulang.
Aisyah kini mendapati dirinya sedang duduk di kursi belakang sebuah angkot tua yang penuh sesak. Irama lagu rock anak muda jaman sekarang sedang ramai bersenandung memekan telinga. Namun jauh di dalam sana, di hati Aisyah, dia sedang kesepian. Pikirannya campur aduk. Dia masih tidak habis pikir dengan sikap orang yang disebutnya sebagai kekasih itu. Yang seharusnya mendukungnya dalam berbagai hal, termasuk kuliah. Tetapi kenyataannya tidak. Dia kini menjadi lebih risau ketika teringat akan ujian blok yang harus dihadapinya besok. Namun karena pertemuan tak berarti tadi, waktu belajar dan pikirannya harus tersita. Otaknya kini sudah lelah. Batinnya terselimuti oleh gundah.
Sore itu awan mulai bergeser merebut posisi matahari. Menutupi bola api raksasa sehingga menaburkan eksotika warna jingga di langit. Ah, efek tyndal memang selalu cantik. Tergambar jelas lukisan Tuhan yang mampu mempesona setiap pasang bola mata. Subhanallah, Sunggu indah ciptaanMu ya Rabb, Tuhan semesta alam.
Terdengar pelan suara langkah kaki Aisyah yang menginjak kerikil-kerikil kecil sepanjang menelusuri sebuah jalan setapak menuju tempat untuk pulang, rumah. Dia sedang galau. Seperti sesuatu yang teramat berat sedang ditopang batinnya. Beribu kali segala pikiran-pikiran buruk coba dihempaskan, tetapi nyatanya tak bisa. Segala hal buruk yang terjadi telah sukses menggerogoti semua memorinya hingga habis sudah segala yang baik di sana.
Dia menjadi lebih sakit hati ketika mengingat saat dirinya dituduh selingkuh dengan teman sekelasnya hanya karena terpaksa menerima ajakan temannya untuk diantar pulang. Menerima tawaran itu bukan tanpa alasan. Saat itu semua tugas kelompok baru saja terselesaikan di saat hari telah cukup larut dan akan bahaya jika dia naik taksi sendiri malam-malam. Sekalian juga rumah mereka searah. Tetapi Nanda dengan segala keegoisannya tetap tak mau mengerti. Selalu saja begini.
Aisyah lalu tersadar dari lamunan masa lalu itu. Dia secara refleks menggoreskan lekukan tipis di pipi yang disebut senyum. Senyuman itu palsu, tercurah dari dalam hati yang lebam dan membiru. Ini untuk kesekian kali dia pulang dari bertemu kekasih dalam keadaan berkelahi.
Baru saja dia sampai di depan rumah dan hendak memegang daun pintu yang berlapis logam alumunium, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara adzan dari arah barat. Seketika cairan hangat berwarna bening di pelupuk matanya tumpah, tak mampu terbendung. Tidak, kali ini Aisyah tak kuat lagi.
“Ya Allah, aku lelah dengan semua ini. Aku ingin pulang. Aku ingin kembali kepadaMu. Aku telah pergi terlalu jauh, semakin jauh dariMu” dia kini menjerit dalam hati yang merana. Namun hanya isak tangis yang mampu terdengar pelan karena berusaha ditahan.
Sejujur tubuhnya terasa lemas. Kepalanya pusing, telapak tangannya terasa dingin. Dia lalu mengambil beberapa langkah gontai menuju kamar mandi.
Gemericik air mulai terdengar. Air wudhu itu kini mengalir membasahi tubuh Aisyah. Kening yang lama tak mencium sajadah kini mulai sujud menyembah Allah. Di saat seperti ini tubuhnya terasa kaku. Dirinya terasa bagaikan debu.
Ya Tuhanku, aku bukan siapa-siapa di mataMu. Bisikan itu terdengar jauh dari dalam hatinya. Ya, suara hati yang sekian lama tak pernah berucap. Dia kini bercerita, mengadu, berkeluh kesah kepada Tuhan-nya, Allah. Sajadah itu kini mulai basah karena air mata Aisyah yang tumpah. Dia kini terisak, menangis, tersedu-sedu.
Segala memori silam seperti terputar kembali. Flashback tentang semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Dia kembali teringat di masa saat Nanda belum membubuhkan benih-benih yang disebut cinta. Dia teringat saat dirinya bebas bergaul dengan siapa saja. Dia teringat saat warna merah muda dan film Barbie menjadi kesukaannya. Walaupun itu terlalu kekanak-kanakan. Bukan seperti dirinya saat ini yang ‘terpaksa’ menyukai warna biru dan segala jenis film action yang menurutnya sama sekali tak ada bagus-bagusnya. Dia juga teringat saat IPK di atas 3 selalu menjadi nilai akhir di setiap semesternya. Tetapi sekarang? Nilainya sungguh merosot tajam. Semua hal baik dimasa lalu harus dibiarkan padam hanya demi sesosok lelaki tampan.
Aisyah kini menangis sejadi-jadinya ketika mengingat semua hal buruk yang menimpa hidupnya. Jadi ini salah siapa? Dia kini menyadari bahwa kehadiran Nanda hanya akan memperburuk keadaan, hanya akan menghambat masa depan. Bahkan dialah tersangka dari semua ini. Aisyah menyadari ini tak sebanding. Antara apa yang dia berikan dan yang justru dia dapatkan.
Tiba-tiba suara hatinya terdengar. Berontak, menjerit dalam diam. “Aku harus berubah! Aku harus kembali seperti Aisyah yang dulu” dan saat itu, di satu waktu, Allah masih setia mendengarkannya mengadu.
“Apa yang pantas aku pertahankan dari pacar posesif kayak gitu? Aku merasa bodoh sekali selama ini. Mau dijadikan manekin yang harus selalu patuh dengan segala perintah. Padahal dia sama sekali tidak menyumbangkan hal baik dalam hidupku. Hanya cinta semu yang justru menghanyutkan. Hanya menggantungkan asa yang kini remuk tak berbentuk”
Aisyah seperti sedang menasehati diri sendiri. Menyadari apa yang selama ini dilakukannya salah. Menyadari bahwa cinta bukan semata mengikuti kemauan si dia. bukan juga menjadi orang lain dan rela kehilangan jati diri.
“Aku harus berubah. Layaknya sebuah ulat yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Kenangan-kenangan masa indahku yang sempat terkubur harus aku gali kembali. Jati diri yang sempat hilang harus aku raih lagi. Masa lalu yang kelam bersama lelaki itu harus segera aku tinggalkan. Karena cinta seharusnya saling mendukung, bukan semata mengikuti kemauan salah satu pihak dan mengekang yang lainnya. Sama sekali bukan simbiosis parasitisme melainkan mutualisme” seperti mendapat semangat baru. Kini Aisyah tau bahwa dirinya yang dulu telah kembali, bahkan bermetamorfosis menjadi pribadi yang lebih kuat dan tegar untuk memperbaiki diri dan belajar dari masa lalu yang kelabu. Tekad Aisyah sudah bulat. Hubungan yang selama ini telah dijalin bersama Nanda akan segera dia putuskan esok. Tak perlu lagi membuang waktu untuk lelaki yang tak bisa menghargai perempuan yang mencintainya. Jangan biarkan cinta membodohimu.
Ketika kamu merasa tak ada seorangpun yang mau mendengarkanmu
Sesungguhnya Allah adalah tempat terbaik untuk mengadu
Ketika kamu merasa tak ada lagi tempat untuk pulang
Sesungguhnya Allah akan selalu senang menerima dirimu untuk kembali datang
Ketika kamu merasa masalah sangat menyiksa
Sesungguhnya Allah akan selalu menjamah setiap doa hambaNya
Bagi mereka yang mau menengadahkan tangan, mengikhlaskan jiwa, untuk mendekatkan diri pada sang Pencipta.
Kedua telapak tangan Aisyah yang sedari tadi menengadah ke langit tuk memohon kepada sang Khaliq, mulai diusapkan ke wajah sambil berkata ‘amin’.
Dia tau, kini pemikirannya telah kembali jernih. Perempuan itu lalu tersenyum bahagia dan berterima kasih kepada Tuhan-nya, Allah SWT, sang maha penyayang atas segalanya. Dia sekarang merasa jauh lebih tenang.
Seharusnya pinta Tuhanmu-lah yang selalu kamu turuti. Bukan malah kekasih duniawi yang diijinkanNya untuk mengisi hidupmu saat ini. Ingatlah ungkapan klise yang mengatakan ‘Pacarmu belum tentu Jodohmu’

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS