Diberdayakan oleh Blogger.

Saksi Bisu Cinta Aisyah

Kubuka pintu di kamar, kemudian aku masuk dan membuka jendela kamarku. Berharap, suamiku akan bangun tatkala sinar matahari masuk melalui sela-sela dedaunan dan menembus ke dalam ruangan melalui jendela yang kubuka. Aku merasa ada kesejukan yang menerpa tubuhku, seperti kesejukan tadi malam saat aku bercinta dengan suamiku.
Aku menoleh ke belakang, kulihat suamiku beralih posisi menyamping menatapku. Tapi, ia juga belum membuka matanya. Aku tahu, ia sangat lelah. Tapi, pagi ini ia harus bangun untuk siap-siap pergi bekerja. Aku setiap hari bangun pagi, menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah sebelum aku berangkat untuk mengajar. Pelan-pelan aku menggoyangkan tubuhnya agar ia terbangun, tapi ia tetap tertidur pulas. Aku pun menunduk, dan mendekatkan wajahku di hadapannya. Aku berbicara dengan pelan “Bi.. bangun. Ini sudah pagi. Umi sudah siapkan sarapan.” Kataku membangunkannya. Ia pun membuka matanya, dan tersenyum padaku. Kemudian ia mencium keningku.
Karena aku tahu suamiku sudah membuka matanya, aku pun berharap ia akan bangun dan segera ke kamar mandi. Oleh karena itu, aku pun beranjak dari tempat tidur dan bergegas ke meja makan. Saat aku berbalik untuk menutup pintu, ternyata ia belum beranjak dari tempat tidur juga. Aku pun kembali mendekatinya, kucium pipinya dan kusibakkan selimut yang menutupi tubuh kekarnya yang tidak memakai kaos. Ia pun tersenyum menatapku dan aku pun hanya menggelengkan kepala sembari membalas senyumannya.
“Masa, kamu lupa mi. Kalau abi belum dibangunkan dengan cara seperti itu. Pasti belum bangun.” Katanya menggodaku. “Jangan menggoda, cepetan mandi. Nanti telat..” kataku mengingatkan.
Rumah tanggaku sudah berjalan dua tahun. Aku sangat menyayangi dan mencintai suamiku. Sebagaimana ia menyayangi dan mencintaku. Kami jarang sekali bertengkar atau saling diam dalam waktu yang lama. Karena ia sangat dewasa, ia merasa sedetik bertengkar, sama saja kita akan kehilangan kemesraan selama semenit. Oleh karena itu, kami selalu berusaha menyelesaikan apa pun masalah yang menimpa kami.
Aku bekerja sebagai pengajar di SMK, aku mengajar mata pelajaran Akuntansi. Aku juga dipercaya oleh kepala sekolah untuk mengisi acara curhatan di stasiun radio di sekolahan. Tak jarang, anak-anak malah lebih senang curhat dengan saya dari pada curhat dengan guru BK di sekolahan. Karena setiap curhatan anak-anak dengan saya, pasti saya akan memberikan solusi dan yang pasti saya akan memutarkan sebuah lagu yang sesuai dengan kondisi mereka. Suasana curhatan yang seperti inilah, yang mungkin membuat anak-anak nyaman dengan saya. Untuk urusan yang lebih bersifat privasi, biasanya mereka akan menemui saya sendiri saat jam kosong, atau saat istirahat.
Satu hal yang membuat saya masih merasa gundah, resah dan sedih. Kata-kata ibu mertua yang selalu mengusik hatiku. Membuatku tidak tenang dan selalu berfikir. “Kapan istrimu hamil? pernikahanmu sudah berjalan dua tahun, tapi ia belum hamil juga. Ibu dengar, ia mengisi acara di stasiun radio tempat ia mengajar. Tambah sibuk dia sekarang. Tapi masih bisa ngurus rumah sama suami, kan?” tanya mertuaku. Aku hanya diam mendengarkan percakapan mereka di ruang tamu. Minuman dan kue yang aku siapkan sudah tertata rapi di atas nampan. Tinggal menyuguhkan. Tapi rasanya, kakiku berat untuk melangkah, tatkala aku mendengar kata-kata ibu.
“Anak adalah titipan Allah, bu. Mungkin kita belum mendapatkan amanah untuk diberikan seorang anak. Aku dan Ais juga sudah berusaha. Tapi Allah lah yang menentukannya. Kalau kita belum dipercaya untuk mempunyai seorang anak. Kita sebagai manusia bisa apa, bu?” Kata suamiku. Aku merasa ada angin segar yang berhembus di hatiku. Sejuk. Aku tahu, suamiku pasti memahami dan mau mengerti aku. Bukan hanya ibu. Aku sebagai seorang istri juga menginkan dan mendambakan seorang anak.
“Iya, bu. Apa yang dikatakan Fauzan itu ada benarnya. Kita berusaha saja. Kita bantu dengan do’a. Karena Allah yng menentukan. Ibu jangan pernah memberikan beban bagi Ais dan Fauzan. Karena itu akan mengganggu pikiran mereka.” Kata ayah menenangkan ibu. “Sebentar lagi, Fauzan pasti akan mempunyai seorang anak. Kita harus yakin. Iya kan, zan?” ayah menepuk punggung fauzan dengan tersenyum. Fauzan hanya tersenyum membalasnya.
Aku merasa lega. Ada dua malaikat yang menolongku dari tuntutan ibu yang selalu menyudutkanku. Seolah-olah, hal itu disebabkan olehku. Aku juga selalu berusaha istirahat cukup, berusaha untuk tidak memikirkan masalah-masalah muridku agar aku tidak stres. Aku sudah melakukannya. Abi pun juga sudah berusaha. Ais mohon, bu. Jangan sudutkan Ais seperti itu. Terlebih di depan ayah dan suamiku.

“Aku bingung dengan sikap ibu, bi. Semua istri pasti menginginkan seorang anak, termasuk aku.” Kataku dengan muka yang sedikit cemberut. “Sudahlah, jangan dipikirkan apa yang dikatakan ibu. Kita harus yakin, seperti yang dikatakan ayah.” Kata suamiku menenangkanku. “Aku tak enak dengan ibu, aku seperti istri yang..” kata-kataku terputus karena suamiku menutup mulutku dengan ujung jarinya. Kemudian ia memelukku. “Abi yakin, mi. Allah akan memberikan kita seorang anak. Tidak lama lagi.” Aku beringsut untuk mempererat pelukannya. Aku merasa nyaman, lega.
“Kemarin, aku bertemu dengan Dimas.” Kataku. “Dimana?” tanyanya. “Di sekolah.” Jawabku. “Dia bekerja sebagai penyiar, menggantikan ibu Maya.” Kataku menjelaskan. Tiba-tiba ia melepaskan pelukannya terhadapku.
Konflik dengan ibu, belum terselesaikan. Sekarang aku ditambah konflik dengan suamiku. Lelaki yang dulu pernah aku sukai, sebelum aku kenal dengan suamiku, hadir dalam kehidupanku. Dan lebih parahnya, ia bekerja sebagai penyiar di stasiun radio sekolah. Dan saat suamiku menjemputku usai mengisi acara curhatan, ia melihat Dimas ada di sana. Aku melihat setumpuk kecemburuan dalam hatinya. Saat aku masuk ke dalam mobil, ia tidak berkata sepatah kata pun. Ia tak menatapku sedikit pun, tatapannya hanya tertuju pada jalan yang ada di depan.
Sesampai di rumah pun, sikapnya masih dingin terhadapku. Semua kata-kata ku, dianggap angin yang berhembus. Aku mencoba bertanya, ia hanya diam dan pergi meninggalkanku. Aku tahu ia sangat cemburu denganku. Bahkan sebelum aku menikah dengannya, dulu Dimas pernah satu kampus denganku, ia juga menunjukkan sikap cemburunya. Tapi, kenapa sekarang aku tidak bisa meredam kecemburuannya. Aku sangat bingung dengan sikapnya terhadapku. Semua masalah selalu kita bicarakan, kenapa sekarang seperti ini. ‘Ada apa? Apa sebenarnya yang terjadi, kenapa begini?’ tanyaku dalam hati dengan mata berkaca-kaca, saat aku duduk di depan televisi.
Inilah puncak kemarahan suamiku. Saat aku menuruni tangga, secara tidak sengaja, aku terjerat baju gamisku. Hingga kakiku tekilir. Dimas yang berada di belakangku pun mencoba membantuku untuk berdiri. “Kamu tidak apa apa, Ais? Lain kali hati-hati.” Katanya mengingatkan. Tangannya ingin meraih tubuh dan ingin memegang kakiku yang terkilir. Tapi aku menolaknya. Karena aku tahu, Fauzan muncul dari tangga bagian bawah.
Aku tak ingin menambah kecemburuannya terhadapku, dan menambah masalah dalam rumah tanggaku. Dengan kaki yang terasa sakit, Fauzan membantuku berjalan menuruni anak tangga. Dan Dimas, ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya diam saat melihat kami pergi.
Sesampainya di rumah, sikap Fauzan semakin dingin. Aku melihat kecemburuan, dan kemarahan. Aku semakin takut, mencoba menebak apa yang akan terjadi padaku. Saat keluar dari mobil, ia membiarkanku berjalan sendiri ke dalam rumah. Aku hanya bisa diam, berjalan sendiri, dengan menahan sakit di sendi-sendi kakiku.
Malamnya, entah kenapa kakiku menjadi berat. Aku menelonjorkannya di atas kursi. Dan mengoleskan minyak dengan memberikan sedikit pijatan. Suamiku belum keluar juga dari kamar. Sejak sore tidak keluar juga. Ia tidur di kamar, lelah atau karena marah denganku. Aku sangat bingung. Sepertinya ia marah.
“Bi, kenapa kita harus berdiam seperti ini, aku sudah tidak tahan dengan sikap abi terhadapku.” Aku berkata dengan berat, antara takut dan menahan sesak dan air mata yang sudah penuh di pelupuk mata. Ingin mengucur deras. Aku setia denganmu bi, aku tak mungkin mengkhianatimu. Aku tidak pernah menyimpan perasaan apa pun terhadap Dimas. Aku hanya mencintaimu, bi. Suamiku.” Kataku yang sedikit terputus karena merasakan sakit di tenggorokan, dan mengambil napas dalam-dalam.
“jangan diamkan aku seperti ini, bi. Aku tak sanggup mendapat perlakuan seperti ini. Kenapa kita tidak bicara baik-baik. Kenapa harus diam dengan menahan sakit. Aku harus mengadu dengan siapa? Kalau bukan denganmu. Sedangkan kamu sendiri mengacuhkanku.” Lagi-lagi kataku terhenti, karena harus menelan ludah, dan menahan sakit di tenggorokan. Air mata mengucur dengan deras. Aku merangkak di atas tempat tidur dan mencium kening suamiku. Aku tahu matanya terpejam. Tapi aku tahu, tidak dengan hatinya. “Aku mencintaimu bi” aku beranjak dari tempat tidur dan memilih untuk tidur di kursi, di depan televisi.
Aku tak ingin isakan tangisku mengganggu istirahatnya. Ia sangat lelah bekerja seharian. Aku menangis dengan leluasa, tersedu-sedu. Sesak, menusuk ulu hati, kepalaku terasa pening. Sendi-sendi kaki terasa sakit, merayap hingga sekujur tubuhku. Hidung tersumbat, air mata terus mengucur tak tertahankan.
Aku mebaringkan tubuhku, perlahan-lahan kuangkat kakiku yang sakit. Berharap, dinginnya malam tidak ikut menambah kesedihanku. Perlahan-lahan aku memejamkan mata. Berharap, rasa kantuk yang menyergapku bisa membuatku tertidur dan melupakan kesediahanku barang seejenak.
Keesokan hirinya, aku mendapati diriku tertidur di atas kasur. Mungkin, semalam Fauzan membopongku ke kamar. Entah kenapa, aku merasa sikapnya sedikit demi sedikit akan kembali membaik. “Aku tak suka kamu dekat dengan Dimas. Kamu sekarang sudah hidup denganku. Lagian, kenapa dia ada disana?” tanyanya yang sama sekali tak menatapku.
“Dimas bekerja di sana, bi. Dia mengisi acara di stasiun radio di sekolahan tempat umi mengajar. Umi dengar, kepala sekolah yang menerima lamarannya.” Aku menjelaskan. Aku sedikit mendapatkan ketenangan bisa berbicara dengan suamiku. Aku berharap masalah ini bisa terselesaikan. “Dimas melamar, karena dia tahu kamu mengisi acara di sana. Agar dia bisa dekat denganmu. Mengenang masa lalu kalian.” Kata-katanya begitu menyakitkan untuk didengar.
“Itu masa lalu, dan aku tak pernah mengingatnya kembali. Aku sudah cukup tersakiti. Aku sekarang sudah berkeluarga, apa lagi yang aku cari bi? Aku sudah hidup dengan mu, suamiku, orang yang sangat aku cintai. Aku ingin bahagia membina keluargaku. Dengan mu bi.” Kataku dengan mata berkaca-kaca.
“Lalu, bagaimana dengan kiriman bunga mawar yang selalu dikirim setiap hari ke rumah kita? Apa mungkin itu dari dimas?” tanyanya yang belum juga menatapku. Ia pun beranjak dari meja makan. Seketika air mata keluar dengan deras dari mataku. Aku hanya diam dan membiarkan air mata itu keluar. Berharap aku bisa merasakan kelegaan, setelah aku menahannya. Terasa sesak, dan mengganjal di tenggorokan. Sakit.
“Aku tidak menyimpan perasaan apa pun terhadap Dimas, bi.” Kataku dengan air mata yamg menuruni pipi. Aku sudah tidak tahan dengan sikapnya. Aku sangat mencintainya. Kenapa dia tidak percaya juga. Ia pergi meninggalkanku, tanpa salam. Dan sejak masalah ini muncul, saat berangkat kerja pun, ia hanya mengucapkan salam dan pergi begitu saja. Tak ada legi kecupan lembut yang di daratkan di dahiku.
‘Aku sangat merindukanmu bi..’ jeritan hatiku saat ia pergi, aku hanya mengamati punggungnya. Berharap ia kembali dan memelukku.
Aku melihat kalender yang menempel di dinding. Satu minggu lagi adalah ulang tahun pernikahanku. Tepat hari senin. ‘Akankah keadaannya masih seperti ni, bi?’ tanyaku dalam hati.
Senin ini, bertepatan dengan ulang tahun pernikahanku. Aku sengaja pergi sendiri mengambil bunga mawar di toko bunga. Biasanya, orang toko yang akan mengirimkannya ke rumah. Yah.., bunga yang abi kira dikirim Dimas untukku. Padahal, bunga itu adalah pesananku. Yang kemudian aku titipkan ke satpam, tempat abi bekerja. Kemudian aku menyuruh satpam itu memberikannya. Bunga yang menjadi saksi bisu. Karena ia tak bisa mengatakan pada abi, bahwa ia bukan dari Dimas.
Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan. Sejak kemarin, aku merasa tubuhku lemas. Setiap aku menelan makanan, perutku terasa mual. Ingin muntah. Wajahku terlihat pucat. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk cuti mengajar. Aku pun memeriksakan diri ke rumah sakit. Betapa senangnya, ketika dokter mengatakan bahwa aku hamil.
Aku pun bergegas pergi ke kantor tempat abi bekerja. Aku ingin memberikan kabar gembira ini. Setangkai bunga mawar ada di genggaman tangan kiriku. Hatiku berbunga-bunga, karena tidak hanya aku dan abi yang bahagia. Tetapi, kedua orangtuaku dan juga kedua mertuaku akan senang mendengar kabar ini.
Sesampainya di seberang jalan, aku melihat abi berada di halaman depan. Ia berjalan dengan sebuah kotak berwarna ungu di tangan kanannya. Karena aku sangat senang, ingin sekali menghampirinya dan memeluknya, dan memberitahukan kabar gembira ini.
Aku pun menyeberang jalan tanpa melihat kendaraan yang lalu lalang. Aku sangat diliputi rasa bahagia, hingga mengabaikan nyawaku, bahkan janin yang ada di dalam rahimku. Janin yang sangat dinanti-nanti kehadirannya oleh semua orang. Termasuk ibu mertuaku.
Sebuah benda keras menghantam kaki kiriku. Hingga tubuhku terpental. Aku terkulai lemas di jalan, kepalaku terbentur. Aku tak sadar dengan apa yang terjadi denganku. Tiba-tiba aku tertidur. Tak merasakan sakit apa pun. Sakitnya baru terasa saat aku terbaring di jalan. Dadaku sesak, semua badan seperti tertusuk-tusuk karena sakit akibat hantaman. Ada tangan yang meraih tubuhku, menyangga leherku bagian bawah. Diletakkan tubuhku di pangkuannya. Ia memeluku erat-erat, ia kecup keningku. Aku merasakan tetesan air matanya yang jatuh di lenganku.
Sebuah kotak berwarna ungu dijatuhkan begitu saja oleh suamiku. Hingga cincin di dalamnya menggelinding entah kemana. Dan sebuah bunga mawar tergeletak di sampingku. Sebuah cincin yang ingin dihadiahkan suamiku, di hari ulang tahun pernikahan kita. Tapi sayang, kini aku sudah pergi jauh meninggalkannya.
Mungkin rasa sesal menyelimuti hati suamiku. Teringat akan sikapnya kemarin terhadapku. Tetapi, aku berharap kata maafnya akan mengiringi kepergianku. Agar aku merasakan ketenangan di kehidupanku yang baru. Aku sangat senang, karena aku dapat pergi dengan membawa pelukan dan kecupan hangatnya. Yang beberapa hari ini tak ku dapatkan darinya.
Selesai

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar