Diberdayakan oleh Blogger.

Karena Mencintai Ataupun Dicintai Tidak Pernah Memuaskan

Sepanjang siang itu cahaya matahari menerobos masuk lewat celah tirai, berusaha curi-curi untuk menyilaukan mataku. Tapi saat itu aku berusaha tetap tenang, karena ada Diana duduk di depanku. Sosok perempuan yang anggun, penuh pengertian, manis dan ramah. Selera humornya juga bagus… Dia juga cerdas dan terampil. Seorang wanita karir yang menyenangkan! Dia teman di fakultas yang sama denganku dulu. Kami lulus bareng sekitar 6 tahun yang lalu.
“Ada apa, rob?” dia bertanya sambil menyungging senyum. Tetap saja manis, seperti yang kukenal.
“Aku kaget dapet undangan itu..” kataku berusaha tenang.
“Ada apa? kenapa kaget? apa kamu menginginkan aku menikah nanti 20 tahun lagi?” kemudian Diana tergelak.
Bukan itu masalahnya…
Dulu, saat kuliah… Aku dan Diana dekat sekali. Tapi, saat itu aku sudah punya pacar, namanya Ifa. Aku dan Ifa saat itu berpacaran hampir 2 tahun. Hanya saja saat itu aku memacarinya karena tidak tega untuk memutuskannya. Aku sudah lama hilang rasa terhadap Ifa, tapi setiap kali kuminta putus Ifa selalu merengek sambil menangis.
Aku tidak pernah melakukan apapun untuknya, bahkan mencumbunya saja tidak pernah!!
Diana yang tahu ceritaku itu, perlahan dekat denganku. Dia anaknya ceplas-ceplos. Dia memarahiku karena sudah bersikap begitu pada Ifa.
Saat itu Diana juga sudah punya pacar.
Kukira aku mendekati Diana hanya karena aku ingin berbagi cerita. Tapi… lama kelamaan, aku tersihir oleh pesonannya. Dia bukan perempuan sembarangan, bukan seperti kebanyakan di luar sana.
Di saat semua orang tertawa terbahak-bahak melihat sitkom populer saat itu, dia justru tidak tertarik menontonnya. Di saat semua temannya ribut belajar dandan, dia sibuk belajar memasak.
Di saat semua perempuan sibuk memikirkan jodoh dan pernikahan, dia justru mendapatkan beasiswa S2 ke luar negeri.
“Kamu sama Ifa gimana, rob??” Diana memecah lamunanku. “Eh, oh.. Yah, sudah lama kutinggal dia.”
“Hmm.. Kok tega? padahal kan dari dulu kamu nggak tegaan..” Tanyanya.
“Aku capek, din. Aku capek dicintai kayak begitu.”
Diana mendengus pelan, sambil menatapku dia berkata,
“Manusia itu lucu, ya? Satu-satunya makhluk yang nggak akan ada puasnya ya manusia. Ada yang ngerasa capek dicintai, di sisi lain ada juga yang udah capek mencintai..”
“Maksud kamu Ifa? Dia masih sering cari aku, din..”
Diana menarik badannya dari depanku, “Ifa? Siapa bilang? Aku cerita diri aku, kok..” Dia berucap dengan nada kesal. Kami terdiam. Karena aku nggak paham apa yang dimaksud Diana barusan.
“Dulu, aku sempat berharap kamu bakal putusin Ifa. Aku berharap begitu karena aku peduli sama kalian. Kalian berdua itu bodoh!! Nggak ada logika yang bisa dipake sama kalian. Aku sama sekali nggak salut dengan Ifa karena dia bisa bertahun-tahun mencintai kamu yang dingin begitu. Dan aku juga nggak ngerasa tertegun sama kebodohanmu yang nahan diri buat nggak mutusin Ifa!”
“Terus?” tanyaku.
“Aku dengan usahaku, berusaha menarik perhatianmu. Berusaha menyadarkan kamu, betapa kalau pacaran itu harus suka sama suka. Aku berharap kamu tersadar dan akhirnya memilih aku. Tapi…”
“Tunggu!! apa, din? Kamu berharap aku milih kamu??!” Kataku terperanjat.
“Ayolah, rob! kamu itu bodoh apa gimana, sih? Sudah jelas lah! Aku belain deketin kamu, padahal posisimu sedang ada pacar dan aku ada pacar. Menurutmu?”
Aku terdiam.
“Buat apa kamu bilang itu hari ini, din? Minggu depan kamu nikah..” Kataku pelan.
“Nggak apa, aku cuma pingin kamu tahu aja, sih. Sekalian nyadarin kamu, kalau kamu harus buat keputusan kamu sendiri. Semua keputusan punya risiko, nggak semua orang bisa kamu senangkan sama keputusan kamu. Apapun risikonya, jalani saja. Hadapi saja! jangan takut..” “Andai dulu kamu lebih memilih meninggalkan Ifa, mungkin undangan ini bukan bertuliskan nama Doni di sini, tapi nama kamu, rob..” Ucap Diana.
Kami tenggelam lagi dalam diam. aku menatap wajah Diana, dia sama sekali tidak nampak sedih. Dia datar saja. Tidak ingin menangis atau menahan amarah atau apalah itu…
“Perasaanmu hari ini ke aku gimana, din?”
“Biasa. Hanya kasihan. Sekarang kamu kehilangan Ifa, kamu harus berani ambil keputusan untuk pergi darinya dan mencari sosok yang paling pantas buat kamu.” Katanya mantap.
“Sosok itu ya kamu, din. Alasan kenapa aku bisa meninggalkan Ifa hari ini, karena kamu. Aku selalu nunggu kamu kembali..”
“Yakin? Aku 3 tahun di Inggris dan kamu sama sekali nggak kasih kabar ke aku, kamu bilang itu MENUNGGU?! FB ada, Skype ada, Line ada! Apa usahamu?” dia mulai naik pitam.
“Maaf, din..” Kataku.
“Kamu dari dulu juga cuma bisa bilang maaf, rob. Kalau maaf bisa menyelesaikan semuanya, penjara nggak bakal ada. Polisi pasti di PHK semua karena mereka gak ada kerjaan, pengadilan pasti sudah diruntuhkan! Tolonglah dirimu sendiri, rob. Sungguh, tidak akan ada yang bisa kalau bukan kamu sendiri..”
“Ada, itu kamu, Din..” Kataku lagi. “Kamu yakin akan menikah dengan Doni? dia nggak sesempurna mantan kamu!”
“Yakin. Aku belum pernah seyakin ini sama orang.” Jawabnya tegas.
“Dia nggak ganteng, dia nggak kaya, din.” Kataku lagi. “Aku belum pernah bertemu dengan orang yang bisa mencintaiku sebagaimana Doni mencintai aku. Dia mencintai masa laluku, hari ini dan dia akan bersamaku sampai seterusnya. Dia tidak hanya mencintai aku, dia juga peduli pada keluarga dan adik-adikku juga orangtuaku.”
Aku tertunduk lesu mendengar penuturannya..
“Rob, kamu bahkan nggak pernah serius mencintai aku. Kamu bahkan nggak pernah berusaha menjaga perasaanku ataupun Ifa. Kamu hanya mementingkan egomu. Kamu juga nggak pernah mendekatkan diri ke keluargaku. Apakah itu alasan untukku mempertahankan kamu? Apakah itu alasan aku harus menikah denganmu?”
“Aku akan berubah demi kamu, Diana.”
“Berubahlah demi dirimu. Minggu depan datanglah ke acaraku. Acara ini seumur hidup sekali, tidak akan ada lagi pesta pernikahanku yang kedua. Kalau besok kamu tidak datang, maka datanglah saat peti matiku akan ditutup.” Diana bangkit sambil menyodorkan undangan ke depan cangkir kopiku. Kemudian dia berbalik dan pergi meninggalkan cafe.

Aku berlari menuju ruang ICU. Aku baru saja dapat kabar kalau Diana masuk rumah sakit karena kankernya sudah masuk stadium lanjut.
Di depan ICU ada Doni, suami Diana selama 12 tahun ini. Dia terduduk lemas begitu saja.
“Don, mana Diana?” Tanyaku.
“Eh, elo, rob.. Dia di dalem. Belum sadar dia.” Kata Doni lemas.
“Kamu brengsek, don!! Berapa tahun kamu hidup sama dia, kenapa kamu nggak ngertiin dia?! Harusnya kamu tahu kalau dia sakit, don!! Dia bukan tipe perempuan yang hobi mengeluh! dia suka menyembunyikan semuanya!!! Harusnya kamu tahuuu!!” Kucengkeram kerah baju Doni.
“Elo ngomongin apa, rob? gue selalu nemenin dia di waktu dia check up! ngapain elo marah ke gue? Lo kira gue penyebab Diana sakit?” Doni mendorong badanku sampai aku terjungkal.
“Tenangin otak elo, rob! gila lo! Lo kira elo Tuhan? Elo ngaku sahabat Diana, tapi selama 12 tahun elo nggak pernah dateng ke rumah! Elo bahkan nggak ngerti apa yang udah Diana lalui!” Doni masuk ruang ICU meninggalkanku.
Aku selama satu jam duduk terpekur sendirian di depan ICU. Tidak lama Doni keluar, dia memanggilku, menyuruhku masuk karena Diana memanggilku.
Aku melihat Diana terbaring lemah di balik selimut biru itu. Sorot matanya nampak kuyu…
Kuhampiri perlahan, lalu kudengar dia menyebut, “Hai, Rob..”
Aku berusaha tersenyum, meski aku tidak ingin tersenyum karena aku miris melihat badan Diana yang nampak kurus sekali.
“Aku mau denger ceritamu selama ini. Kita lama sekali nggak ketemu..” Ucapnya. “Apa yang aku ceritakan? Aku pengangguran, aku nggak menikah.. Aku hidup sesuka hatiku.” kataku.
“Ceritakan semuanya, mumpung aku masih bisa mendengarkan ceritamu, rob..” Kata Diana dengan lirih.
Sambil kutahan rasa pedihku, aku mulai bercerita, “Ibuku meninggal beberapa bulan setelah pernikahanmu. Kakak- kakakku akhirnya pindah ke luar kota, dan aku hanya tinggal dengan Ayahku. Ayah sering ke luar dan jarang pulang. Kukira Ayah cari perempuan lain, tidak tahunya, sekitar setengah tahun kemudian aku menemukan Ayah di panti penampungan tuna wisma. Ayah sudah pikun, bahkan tidak ingat aku sama sekali..”
“Lalu, rob?”
“Ifa menikah setahun setelah pernikahanmu. Aku akhirnya jual rumahku itu, uangnya aku tabung, sebagian kuambil untuk beli rumah kecil, cukup hanya untuk aku sendiri. setiap bulan aku juga rutin menyambangi Ayah. Tapi setahun lalu Ayah meninggal. Tinggal aku sendirian. Bener kata kamu, din.. Harusnya aku merubah nasibku sendiri.” ucapku.
“Lalu? Yang terjadi?” Tanya Diana.
“Aku masih tidak bisa merubah apapun. Aku mau kamu sehat, biar kamu bisa memarahi aku lagi.”
“Hahah..” Diana tertawa kecil. “Aku bahagia bisa hidup di dunia ini, rob. Meski cuma bentar, nggak masalah. Aku bisa menemukan kebahagiaan, kesedihan.. Aku bisa tertawa, tapi juga bisa marah. Aku bisa bertemu pangeran seperti Doni yang menyelamatkan aku.. Dan aku bisa bertemu kamu yang memberiku banyak pelajaran. Sudah cukup itu saja..”
“Tapi, kamu masih muda, anak-anakmu masih kecil, diin.” Kataku.
“Cintaku pada mereka sangat besar. Aku jamin mereka pasti akan mendapatkan cinta yang lebih besar dari orang di sekitarku.”
Kugenggam tangan Diana, dan aku benar-benar merasa hancur. Tidak seharusnya aku tidak membuat keputusan sejak dulu.
Aku bahkan membiarkan orang yang paling kucintai pergi sia-sia. Aku mencintai Diana, bahkan sampai dia menikah, sampai hari ini…
Di saat aku butuh seseorang di sampingku, yang terlintas dalam benakku hanya Diana, bukan Ifa!
Di saat aku bahagia, aku berharap ada Diana di sampingku, turut tertawa bahagia juga.

Tiga hari aku tidak tidur, begadang bergantian bersama Doni untuk menjaga Diana.
Mataku sampai cowong, aku bahkan tidak bisa tidur barang 5 menit pun!
Pagi tadi Diana tidur untuk selama-lamanya… Dan siang ini dia dimakamkan.
Aku akhirnya duduk sendirian di masjid dekat rumah Diana.
Aku mengeluarkan sebotol obat tidur yang baru saja kubeli.
Aku mengantuk, kepalaku terasa pusing, tapi aku tidak bisa tidur. Aku mengambil beberapa butir, dan kuminum sekaligus..
Kusandarkan punggungku di pilar masjid, sambil terus berdoa untuk Diana. Sesekali harapan konyol juga terlintas, berharap Diana ada di sampingku dan tersenyum seperti biasanya. Memanggil namaku seperti saat kami berkuliah dulu, bercanda denganku seperti anak kecil…
“Hey, rob! Jangan tidur di masjid..” Ah! benar sekali, Diana membangunkanku. “Ayo, kita pergi dari sini.” Dia menggandeng tanganku. Aku pun berdiri ikut bersamanya.
“Mau kemana, din?” tanyaku. “Kemana aja, asal sama Robi, kan?” Dia tersenyum menggoda.

Doni yang akan menunaikan sholat Dhuhur selepas prosesi pemakaman Diana, kaget melihat kerumunan orang di Masjid dekat rumahnya. Dia menerobos gerombolan orang untuk melihat apa yang ada di balik keramaian itu. Wajahnya melongo, nafasnya tercekat dan lidahnya tertekuk kaku melihat pemandangan yang ada di depannya.
“Ya ampun, Robi… Kenapa elo ngelakuin ini?” Doni berlutut memeriksa badan Robi yang sudah dingin.
Di samping badan Robi ada sebotol pil obat tidur yang tercecer. Dari wajahnya yang pucat, Robi menyunggingkan senyum yang tulus.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar