Sore ini tampaknya kota Jogja kurang bersahabat dengan banyak orang. Di luar
tampak suasana kota yang mendung berselimutkan rintik-rintik hujan yang
turun. Tapi tidak untukku, aku terlebih menyukai keadaan seperti ini.
Namaku Alisa, aku mahasiswi kedokteran di salah satu universitas negeri di Jogja. Aku yang duduk di sebelah jendela ditemani laptop apple
kesayanganku di atas meja di sudut cafe Djendelo Coffe. Pandanganku
sibuk melihat pengunjung yang silih berganti memasuki cafe ini hingga
seorang pelayan datang membawakan pesananku. Coklat panas dengan sedikit
gula, ya itulah yang menjadi menu favoritku di cafe ini.
Aku sedang online di laptopku sesekali melihat handphoneku yang sepi tanpa ada tanda
sms ataupun telepon yang masuk. Aku menyadari bahwa hujan di luar sudah
reda, tak sengaja aku yang berada di sebelah jendela menoleh keluar,
aku melihat sesuatu yang membuatku tersenyum “sudah lama hal ini tak
kulihat bersamanya” gumamku dalam hati. Lengkungannya yang begitu indah
dengan warna-warni yang merangkulnya membuatku ingat pada seseorang,
orang yang sejak lama aku rindukan.
Rendy itulah namanya, Rendy
adalah seseorang mungkin dulunya teman terdekatku. Dulu aku kurang
menyukai hujan bahkan aku merasa begitu takut ketika hujan lebat. Tapi
Rendy orang yang tak jarang berada jauh dariku selalu bisa menunjukan pelangi
setelah turunya hujan padaku. Semenjak Rendy hadir di hari-hariku
pelangi adalah hal indah yang mempunyai arti tersendiri untukku dan
Rendy. Tak sedikit pelangi yang ku saksikan bersamanya. Aku mengenal
Rendy saat aku masih berseragam putih-biru. Saat itu aku pindah ke
sekolah Rendy di Jakarta, disana aku tinggal bersama om dan tanteku,
karena papaku harus melanjutkan kuliah strata tiganya di Jerman dan itu
membuatnya harus tinggal disana untuk beberapa waktu.
Rendy cowok putih, dengan senyum
manis di bibirnya saat itu duduk sendiri di tepi jendela, teman
sebangkunya sudah pindah ke Makassar sebulan sebelum aku datang, karena
di kelas ini hanya Rendy yang duduk sendiri, jadi guru menyuruhku untuk
duduk di sampingnya.
“hay”. Sapa Rendy dengan ramah.
“hay juga”. Jawabku membalasnya.
“Rendy”. Lanjutnya mengulurkan tangan.
“Alisa”. Jawabku dengan senyum.
Semenjak perkenalan itu, Rendy begitu baik padaku, dia ramah, tidak sombong, juga sangat perhatian. Setelah lama mengenal Rendy, aku dan Rendy begitu akrab. Banyak hal yang aku bagikan padanya begitu juga dia tak ada yang ditutupi dariku.
Hari-hariku bersama Rendy terasa
sangat menyenangkan. Hampir setiap hari selalu ada kegiatan yang kita
lakukan bersama makan bareng, jalan bareng, belajar bareng, nonton
bareng dan anything else. Semua terasa sangat indah, Rendy bisa jadi
sahabat, teman curhat, kakak yang bawel, adik yang nyebelin, bahkan
lawan disaat kita beda pendapat. Hingga terkadang tak sedikit dari orang
yang melihat kedekatan kami mengira kalau aku dan Rendy pacaran.
Tiga tahun menjadi sahabat Rendy,
membuat aku tau semua tentang Rendy, ini tak membuatku ragu untuk
menjadi pacarnya saat dia mengungkapkan persaannya padaku. Hanya saja
aku sedikit mengkhawatirkan hubungan persahabatan kami. Aku bahkan tak
rela jika harus kehilangan orang seperti Rendy hanya karena cinta.
Hari-hari indahku bersama Rendy
menjadi lebih indah, setelah menjadi pacarku dia selalu ingin tahu aku
lagi ngapain?, aku lagi dimana?, aku lagi sama siapa? Awalnya aku anggap
biasa-biasa saja dan aku cukup menyukai hal itu, tapi lama-kelamaan aku
mulai merasa bosan dengan perhatian Rendy yang begitu berlebihan.
Aku nggak tahu kenapa, kapan,
dimana dan bagaimana hal ini bisa terjadi. Kini aku mendapati aku dan
Rendy sudah tidak seperti dulu lagi. Semenjak hubungan kami berakhir,
Rendy berubah drastis padaku. Kami seperti orang asing yang tak saling
kenal. aku yang tak tahu apa yang harus aku lakukan dengan sikap Rendy
yang sekarang hanya bisa diam dan bersikap biasa-biasa saja melihat
Rendy yang begitu cuek padaku. Mungkin Rendy butuh waktu buat
menyesuaikan keadaan seperti dulu lagi fikirku. Tapi aku salah selang
waktu yang cukup lama sikap Rendy semakin tak mengenalku. Awalnya aku
fikir, aku bisa dengan mudah melupakan Rendy, aku bahkan hanya acuh tak
acuh melihat Rendy yang semakin menjauhiku. Namun hal ini tak bisa lama
kupertahankan. Melihat senyum manis Rendy yang kini bukan miliku
membuatku begitu merindukannya, tingakah lucunya membuatku merindukan
semua tawa yang selalu dilukiskannya untukku, aku rindu saat menyaksikan
indahnya pelangi bersamanya, dan yang paling aku rindukan saat rendi
berusaha menghibur kesedihanku “kamu jangan sedih lagi ya, ingat ada
pelangi setelah turunya hujan” kata-kata ini masih tergambar jelas di
telingaku. Kalimat sakti inilah yang dapat merubahku dari seseorang yang
membenci hujan menjadi seseorang yang tersenyum saat hujan demi
menunggu pelangi setelahnya. Tapi, semenjak Rendy pergi sulit rasanya
bagiku untuk menemukan pelangi itu. Pelangi indah yang dulunya sering
kutemukan bersama Rendy kini seolah menjauh mengikuti jejak pemilik
pelangi bagiku itu.
Tak hanya sikap Rendy yang
berubah, hari-hari indahku juga seakan enggan mendekatiku. Sepertinya
Rendy juga telah mencuri semua senyumanku tanpa menyisakan sedikitpun
untukku.
Bosan, bosan dan bosan itulah hal
yang kini menemaniku sebagai pengganti Rendy. Tapi hal ini sebisa
mungkin aku sembunyikan dari orang-orang di sekitarku termasuk Rendy,
padahal aku sangat ingin Rendy tahu kalau aku begitu merindukan
kehadirannya.
Tiba saatnya pembagian surat
kelulusan, aku yang berada di kelas XII IPA merasa sangat bahagia,
karena aku mendapatkan nilai tertinggi di sekolahku, namun kesedihan
juga tak urung ikut menemaniku. Setelah ini aku akan balik ke Jogja
karena papa dan mamaku juga sudah tinggal kembali di Jogja. Yang aku
fikirkan bagaimana bisa aku bertemu dengan Rendy lagi, aku bahkan tak
tahu kemana Rendy akan melanjutkan kuliahnya setelah ini, tapi yang aku
ingat Rendy dulu pernah cerita ke aku kalau dia akan melanjutkan
kuliahnya di Inggris.
Tepuk tangan dari teman-temanku
menghiasi suasana. Aku memperhatikan Rendy yang duduk di sebelah kananku
setelah tiga orang lainnya tepat di sampingku. Rendy yang mendengarkan
apa yang disampaikan kepala sekolah juga ikut bertepuk tangan untukku.
Dia menoleh ke arahku dan mendapati aku yang sedang memperhatikannya
hanya tersenyum manis padaku, senyuman manis untukku yang telah lama ku
rindukan akhirnya ku dapati juga.
Ucapan selamat pun kian
meramaikan telingaku, aku hanya membalasnya dengan senyuman dan ucapan
terima kasih. Setelah acara selesai, aku berada di parkiran untuk
menunggu papaku yang masih berbincang-bincang dengan orangtua murid
lainnya. “Kemana Rendy? Tak inginkah dia berbagi kebahagian bersamaku”
fikirku dalam hati sambil mataku sibuk mencari sosok lelaki putih tinggi itu dan aku hanya menunduk ketika mataku tak mendapatkan orang yang aku cari.
“hay Alisa, selamat ya!”.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara yang begitu aku kenal sambil
mengulurkan tangannya padaku. Aku menoleh dan ternyata dugaanku tak
salah, dia adalah Rendy orang yang selama setahun terakhir ini tak
pernah bicara satu katapun padaku.
“Eh Rendy, iya makasi ya Rend”. Jawabku gugup karena sedikit terkejut dengan kehadirannya.
“Sama-sama Sa, aku duluan ya”. Ucap Rendy dengan senyum manisnya sembari melangkah meninggalkanku.
Aku hanya terdiam memperhatikan langkah kaki
Rendy yang menjauh meninggalkanku. Semula aku pikir aku bisa bicara
banyak padanya, tak sedikit pertanyaan yang ingin aku ajukan untuknya,
juga banyak yang ingin aku ceritakan padanya. Namun aku salah, bahkan
berbicara sekedar melepas penat hatiku tanpa Rendy selama ini saja aku
tak bisa, dan aku menyadari Rendy yang sekarang bukan Rendy milikku
dulu.
Seminggu setelah perpisahan sekolah, ini adalah minggu sore dan mungkin minggu terakhir aku berada di Jakarta,
kota yang banyak mengukir kenangan untukku, karena besok pagi aku akan
pulang ke Jogja untuk melanjutkan kuliahku dan tinggal disana. Jam
menunjukan pukul 16.00 namun di luar sudah tampak seperti malam. Suasana
hujanlah yang membuat suasana kota seperti ini. aku baru saja selesai
membereskan semua barang yang akan aku bawa besok.
Lights will guide you home
And ignite your bones
And i will to try fix you
And high up above or down below
when youre too in love to let it go
but if you never try you’ll never know
just what you’re worth
Suara hanphone mengagetkan aku yang melamun memperhatikan rintik-rintik
hujan yang jatuh dari lantai atas. Ringtone ini terdengar sangat ramah
di telingaku, bagaimana tidak ini adalah lagu favorit aku dan Rendy dan
lagu inilah yang selalu menjadi ringtone handphoneku selama tiga tahun
terakhir ini. Dengan segera aku mengambil handphoneku yang berdering di
atas meja belajarku. Aku terkejut saat melihat layar handphoneku dengan
nomor tanpa nama memanggilku, tapi nomor ini sangat tidak asing bagiku,
aku yakin ini adalah nomor Rendy, aku masih sangat hafal dengan nomor
handphonenya.
“Halo kitting, kamu apa kabar?” hah jantung serasa berdetak 40 kali
lebih cepat mendengar sapaan ramah itu, Leonardo Davinci pun mungkin
takkan bisa melukiskan indahnya perasaanku saat itu. Rendy memang sering
memanggilku dengan sapaan seperti itu karena rambutku yang ikal
bergelombang dia memanggilku kitting dan aku selalu protes karena ikal
bergelombang bukan berarti keriting, namun aku tak ingin protes saat
ini, aku malah ingin mendengarkan dia memanggilku seperti itu lagi.
“halo Ren, baik kamu apa kabar?” aku berusaha tenang, aku tak ingin Rendy tahu betapa bahagia hatiku.
“Baik juga sa, kamu mengenalku?” tanyanya seakan mengintropeksiku.
“Enggak mungkin lah, aku bisa ngelupain suara kamu, lagian siapa lagi
yang manggil aku kitting selain kamu, kamu tumben nelpon, ada apa?” aku
mencoba menanyakan tujuannya menghubungiku sebelum rasa geer ku semakin
bertambah.
“nggak ada apa-apa kok, aku cuma pengen minta maaf sama kamu karena
sikap aku yang cuek sama kamu selama ini, sekaligus mau pamitan, besok
aku berangkat ke Inggris buat ngejar cita-cita aku, semoga masih ada
pelangi yang menunggu kita untuk menjumpainya kembali di lain waktu”.
Hah jantungku yang tadinya berdetak empat puluh kali lebih cepat kini
seakan terhenti tak mau lagi berdetak. Aku yang mendengar ucapan Rendy
tak bisa berkata apa-apa, hanya air mata yang mampu mewakili perasaanku.
Rendy yang tak mendengar sepatah kata dariku pun hanya diam, aku yakin dia bisa merasakan tangisanku.
“maafin aku udah buat kamu sedih sa, kamu jaga diri baik-baik ya, dan
jangan sedih lagi, kamu ingat masih ada pelangi setelah turunnya hujan,
aku sayang kamu sa” lanjut Rendy dan kemudian mematikan telponya tanpa
memberikan kesempatan aku untuk bicara, pun jika aku diberi kesempatan
bicara aku tak akan bisa bicara. Aku hanya bisa teridam, air mataku
terus menetes membasahi pipiku seakan ingin mengalahkan lebatnya hujan
di luar. Sejak saat itu nomor handphone Rendy tak pernah lagi aktif.
Senin pagi, aku duduk sendiri di
Airport karena orangtuaku telah pergi ke Jogja dua hari lalu. Aku hanya
termangun sendiri sambil sesekali melihat handphoneku, pikiranku masih
bimbang, tak tau kemana arahnya. Aku masih saja mengingat Rendy dan aku
sangat berharap bisa bertemu Rendy disini. Mataku yang berkaca nampaknya
tak mampu lagi aku sembunyikan, lagi-lagi tetes air mata dengan begitu
mudahnya keluar menyirami pipiku. Aku menundukan pandanganku dan
menghela nafas panjang, tiba-tiba seorang mengulurkan sapu tangan
untukku. aku menemukan aroma yang begitu sangat aku kenal dari sapu
tangan ini. “Ini parfum favoritku yang pernah aku beri untuk Rendy dulu”
gumamku dalam hati, aroma parfum ini begitu menenangkanku, aku merasa
seolah ada Rendy di sampingku. Aku mengangkat pandanganku dan apakah aku
bermimpi orang penyebab tangisku ada di depanku dengan senyumnya
indahnya seakan tak berdosa dia hanya tertawa kecil sembari mengusapkan
sapu tangan ke pipiku dan berkata “kamu cengeng” aku tak memperdulikan
ejekannya aku memeluknya erat tak ingin dia pergi lagi dariku.
“maaf mbak, pesawat akan segara berangkat” seseorang penumpang membangunkanku dari tidur.
Tak kutemukan sosok Rendy saat
aku membuka mata, aku bingung dengan apa yang terjadi apakah aku hanya
bermimpi? aku menoleh ke arah tas kecilku dan aku menemukan sapu tangan
kecil persis seperti yang diberikan Rendy tadi dengan inisial R yang ada
di pojok kiri bawah sapu tangan itu, di sebelah sapu tangan itu
terdapat kertas kecil berwarna-warni seperti pelangi dengan tulisan
“kamu tak perlu sedih dan merasa kesepian lagi, pelangi telah aku
tugaskan untuk menemani kamu dan mewarnai hari-hari kamu menjadi lebih
indah” Aku tersenyum membaca surat kecil itu, hatiku terasa lebih lega
sekarang, aku yakin apa yang terjadi tadi bukanlah mimpi, dan aku
percaya pelangi masih bersamaku dan akan setia menemaniku.
“hay sa, maaf ya aku telat” ucap
seorang cowok yang membuyarkan lamuananku, cowok putih tinggi yang
sangat mirip dengan Rendy. Namanya Bara, dia adalah seniorku di kampus,
dia mahasiswa kedokteran semester 7, dialah orang yang membuatku
menunggu 30 menit di cafe ini sendiri, dan dia adalah pacarku.
Rindu Pelangi
06.15 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar