Diberdayakan oleh Blogger.

Rindu Tapi Malu

Rintik-rintik hujan menerjang atap rumah, mengalir di sela atap, jatuh menghujam ke tanah kering mereking. Mengalir ke tanah terdalam. Tanaman anggrek dan melati gembira-ria menyambutnya, namun Rahma sangat sedih. Hatinya tertusuk sembilu, jantungnya sendat, aliran darahnya terasa mengalir lambat. Rahma mengingat kekasihnya, Aris. Ingin sekali Rahma memeluknya, mendekapnya, dan bercanda dengannya. Tapi kini terlambat sudah, Aris sudah pergi jauh. Memang penyesalan tidak akan berada di depan kejadian, dan begitulah teorinya. Rumah Rahma tampak sepi, hanya ada kucing kuning yang menemaninya hari itu, dibunyikannya musik pada komputernya, lagu mellow. Ya, seperti suasana hati Rahma. Sangat mellow. Biasanya, selalu ada saja kenangan Rahma bersama Aris setiap harinya. Saling mengirim pesan pendek, menelpon atau bahkan Aris berkunjung ke rumah Rahma, namun kini semuanya sudah berakhir. Waktu tak akan bisa diputar ulang.

Awal pertemuan mereka. Rahma mengikuti Orentasi Studi Pengenalan Kampus (OSPEK), di awal masa kuliahnya. Aris sebagai pengelola kegiatan kala itu. Pepatah lama, “Dari mata turun ke hati” telah menghipnotis mereka berdua. Rahma suka sekali curi pandang kepada Aris, di sela-sela kegiatan. Ketika Aris sedang sibuk mengurusi junior-juniornya, termasuk Rahma. Aris juga sudah merasakan kimistri saat memandang Rahma, ada perasaan yang kuat dalam dirinya, sulit untuk didefinisikannya ke dalam tulisan ataupun kata-kata. Di pantai, tempat dimana upacara penutupan OSPEK dilaksanakan. Aris menghampiri Rahma, disaat yang tepat. Rahma sedang duduk sendiri menunggu temannya mengambil makanan. Aris mendekat perlahan memulai obrolan ringan. Untuk mengakrabkan diri kepada sang pujaan hatinya.
“Rahma,” ucap Aris memulai. Perasaan gugup menyerang tubuhnya. Rahma juga, ia tak mengerti maksud Aris kali ini. Ada apa tiba-tiba Aris begitu serius.
“Ya, Kak.” Jawab Rahma.
“Dalam hidup ini, apa yang kamu takutkan menghilang darimu?” Tanya Aris mencoba serius. Aris dikenal dengan selera humornya yang tinggi, jarang sekali ia serius. Kecuali saat ia bermain catur saja. Walau ia suka Humor, namun ia sangat tegas, berani dan cerdas. Ia juga dipercaya sebagai Ketua Pengelola kegiatan OSPEK saat itu.
“Kasih sayang seorang Ibu,” jawab Rahma pelan.
“Kenapa?” Tanya Aris lagi.
“Ibu sangat berarti bagi semua anak di dunia, tanpa ibu tentu tidak ada yang namanya anak. Dan surga itu di telapak kaki Ibu, bukan?. Ketika hilang kasih sayang seorang Ibu, maka menjauhlah ridho Allah kepada kita.” Jelas Rahma. Aris diam sejenak sambil mengangguk membenarkan kata-kata Rahma. Ia merenung, otaknya berputas cepat, membangun strategi bagaimana untuk mengarahkan obrolan sesuai dengan yang direncanakannya.
“Kalau kakak? Apa yang diharapkan tidak boleh hilang.” Rahma balik bertanya.
“Cinta,” jawab Aris singkat. Rahma terkejut dalam hatinya, bertanya-tanya apakah alasan yang diberikan Aris akan jawaban itu.
“Cinta?”
“Ya, Cinta.”
“Dapatkan beri Rahma alasannya, Kak?”
“Karena aku cinta kepadamu, Rahma.”
“({})” Rahma terpaku, tidak berkata apa-apa, mukanya merah malu. Hatinya berbunga, musim semi menghibur dalam sanubarinya.
“Apakah sebuah kesalahan jika aku mencintaimu, Rahma?” Rahma menggeleng sambil membenarkan posisi simpuhnya yang sedikit salah. Bukan posisi duduknya yang salah, tapi dirinyalah yang salah tingkah.
“Rahma, Aku mencintaimu.” Aris mengulang kata-katanya. Rahma menggangguk pelan. Tersungging senyum di bibirnya, senyum simpul yang termanis sengaja dipajang demi Aris di hadapannya.

Rahma selalu bahagia bersama Aris, mereka sepertinya sudah dipertemukan oleh tuhan untuk bersama. Rencana kedepan, mereka melanjutkan kepelaminan setelah selepas kuliah Aris nanti. Rahma kini belajar di semester awal, sedangkan Aris menginjak semester delapan. Hanya menunggu penulisan skiripsinya selesai, dan kemudian diujiankan lalu diwisudakan. Hari-hari mereka menyenangkan, tidak pernah putus komunikasi. Walau jarak rumah mereka sangat jauh, namun hati mereka dekat. “Jauh di mata dekat di hati” begitulah pribahasa kala jatuh cinta.

Aris tinggal bersama Ibunya, ditemani dua orang adik perempuannya. Ira, duduk di bangku kelas empat SD dan Mia, sudah kelas satu SMP. Demi penghidupan mereka, Aris membatu ibunya menjajakan kue tiap paginya. Malam hari, Ibu dan Aris tidak tidur lebih cepat. Karena harus mengaduk adonan kue untuk di masak kala subuh, jika dimasak sebelum pukul sepuluh atau sebelas malam, Kue yang dijual pada pagi harinya kurang enak. Karena sudah dingin. Dengan hidup mandiri, Aris belajar menempuh hari dengan ketabahan dan kesabaran, walau keluarga mereka sederhana. Mereka tetap bersyukur, sebab masih banyak orang di luar sana yang lebih buruk keadaanya dari pada mereka.

Berkenalan dengan Rahma, telah menambah warna dalam hidup Aris. Rahma dengan latar belakang keluarga berkecukupan tidak pernah sedikitpun merendahkan Aris di hadapannya. Rahma selalu bergaul dengan semua orang tanpa pilih kasih. Ia senang sekali membatu teman-temannya. Rahma hidup lengkap dengan Ayah dan Ibunya, sedangkan kakak-kakaknya sudah menikah dan meninggalkan rumah untuk hidup bersama suami-suami mereka. Rahma dengan karakter pemalu, dan sopan santun yang tinggi. Ia menjadi anak yang disenangi orang-orang yang memandangnya, jilbab panjang kembang selalu menutupi paras ayunya dan memancarkan aura wanita muslimah. Hubungan Rahma bersama Aris sudah sangat dekat, baik keluarga Rahma maupun keluarga Aris sudah saling suka dan menyetujui hubungan mereka.

Akhir-akhir ini, Aris sering sakit kepala. Sepertinya Ia kurang sehat. Ibunya terpaksa menjajakan Kue ditemani adik bungsunya, Ira. Entah apa yang menyerang kesehatan Aris, mereka tidak begitu mengerti akan hal itu. Mungkin Ia terlalu giat bekerja hingga tidak memperhatikan keadaannya. Ibunya, Ny Tati, sangat khawatir akan keadaan Aris, sering Ia membujuk anaknya untuk berkunjung ke Puskesmas terdekat demi mengecek kondisi kesehatannya. Menurut pak Mantri, Aris tidak apa-apa hanya saja kelelahan dan kurang istirahat. Aris memang tidak pernah berlama-lama terbaring di kasur, memanjakan penyakitnya. Ia terus berusaha untuk kuat, meski Ia terlihat sangat rapuh.

Aris kembali dengan aktivitasnya, menjual kue bersama Ibu, kuliah dan membantu adik-adiknya mengerjakan tugas. Pagi itu, Aris kambuh lagi, kini dadanya terasa sesak, napasnya sendat, perutnya terasa penuh. Ny Tati sangat terkejut melihat kejadian yang menimpa anak sulungnya itu.
“Aris, Aris, kamu kenapa” Tanya Ny Tati tergesa-gesa dan memandang anaknya dengan tatapan sendu. Raut mukanya mengerut, garis-garis tua itu mengalir di belahan parasnya.
Aris tidak bisa berkata-kata, suaranya tersangkut di kerongkongan. Ia hanya memegang dadanya, mengatur napas dengan sendirinya, namun itu sangat sulit baginya. Ny Tati menyuruh Mia untuk memanggil Pak Ali; tetangnga sebelah yang merupakan tabib di wilayah kediaman mereka. Bergegas Pak Ali menghampiri Ny Tati dan Aris yang masih terbaring depan ibunya. Segera Pak Ali, memberikan bacaan mantra kepada sebuah botol berisi air. Kemudian ia menyodorkannya kepada Ny Tati untuk diminumkan pada Aris. Bukan sulap bukan sihir, bukan pula mengada-ngada, beberapa menit selepas meminum air dari Pak Ali, Aris sedikit membaik, Ia sudah dapat memulai kata-kata penjelasan keadaannya kepada Ibunya.
“Aris sudah tidak apa-apa bu” ucap aris pelan.
“Syukurlah, Nak” tanggap Ny Tati.

Setelah Aris bangkit dari sakit mendadaknya pagi itu, Ibunya mengajak Aris menuju Rumah Sakit, demi mengetahui jelas penyakit Aris. Dengan bantuan tenaga medis dan peralatan yang lengkap pada rumah sakit, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Aris di diagnosis mengidap mag yang sudah parah, lambungnya telah menipis dan dipenuhi luka. Aris seseorang yang sangat disiplin namun dibalik itu Ia memiliki kebiasaan jelek, yaitu menunda makannya hingga pekerjaannya selesai.

Rahma merupakan teman, sahabat sekaligus kekasih buat Aris. Mereka sangat akur nan bahagia. Dengan sikap malu-malu Rahma, Ia tampak sebagai sosok wanita anggun di mata Aris. Wanita memang harus banyak malunya, jika terlalu agresif, tentu mengurangi keanggunannya. Aris seorang humoris, Ia mampu membuat Rahma selalu tersenyum dan tertawa, walau sering juga Rahma mengeluh, kapan pacarnya itu serius. Untuk melihat wajah masing-masing, Aris harus menuju ke rumah Rahma atau bertemu Rahma di kampus. Pacaran mereka tidak seperti masa kini; mingguan berdua, shopping berdua, ngampus berdua. Tidak ada hari mingguan bersama kekasih bagi Aris. Namun dibalik itu, Rahma sangat memahami keadaan Aris. Komunikasi terus mereka lakukan walau jarak mereka jauh. Bertukar pesan singkat atau telpon-telponan sudah menjadi obat mujarab bagi pertahanan hubungan mereka.

“Rahma, Aku rindu padamu.” Ungkap Aris di balik ponselnya. Ia benar-benar rindu kekasihnya. Seminggu ini Ia tidak dapat ke kampus atau ke rumah Rahma untuk melihat dan berjumpa dengannya. Ia berharap ungkapan yang sama juga keluar dari bibir tipis Rahma. Namun, Rahma tidak pernah mengucapkan kalimat itu. Ia sangat menjaga kata-katanya, Ia juga sangat malu mengungkap perasaannya. Mungkin beberapa wanita memang seperti Rahma, malu mengungkapkan, padahal mereka ingin mengatakannya.
“Iya, kak. Bagaimana keadaanmu?” jawab Rahma. Ia tidak mengungkapkan perasaan rindunya. Ia ingin Aris mengetahui tanpa Ia mengungkapkannya. Ya, Aris memang sangat paham akan perasaan itu, namun Ia ingin lidah lentik itu yang mengucapkannya, untuknya.
“Kini Aku sedikit membaik” singkat Aris. Menjawab pertanyaan Rahma, yang mengalihkan dari tema awal pembicaraannya. Aris tidak ambil pusing, Ia ikut saja alur yang dibuat Rahma, karena Ia sangat mencintai kekasihnya, Ia ingin Rahma merasa aman jika berada dekat dengannya.
“Kabarmu, bagaimana. Rahma?” sambung Aris.
“Alhamdulillah juga sangat baik, kak.”
Obrolan mereka sangat lugas dan menyenangkan, walaupun jarang sekali membahas tentang perasaan masing-masing. Mereka tidak mengalami gangguan yang serius dalam hubungan asmara. Mereka saling memahami keadaan masing-masing, saling percaya, itulah pondasi yang kokoh, yang mereka bangun demi berdirinya istana cinta mereka.

Sebulan lagi Aris akan melaksanakan ujian skiripsi. Di rumahnya, Saat Ia sedang menilik ulang hasil penelitiannya, Aris tiba-tiba pingsan. Ibunya yang sibuk di dapur baru mengetahuinya setengah jam kemudian saat memasuki kamar Aris, wajah tuanya terkaget melihat tubuh anaknya tergeletak di lantai dekat kursi belajarnya. Adik-adiknya sedang tidak di rumah, masih di sekolah. Pikiran Ny Tati meronta, apa yang akan dilakukannya, otaknya menempuh jalan buntu, raut khawatir jelas terpampang di mukanya. Seketika Ia mengangkat pelan tubuh Aris, menggesernya mendekati kasur tempat tidur. Cukup lama Aris pingsan. Ny Tati terpaku, duduk di sebelah Aris menunggunya tersadar. Karena Ia yakin anaknya belum meninggal, sebab terasa masih sangat hangat tubuhnya ketika Ia menyentuhya tadi.
“Ya Allah, apa gerangan yang terjadi pada anakku?” batinnya.

Satu jam Ny Tati ditemani suasana hening, pikirannya melayang jauh, meloncat luar pintu, mencari-cari jawaban, kapan anaknya terbangun. Aris mulai mendapatkan kembali ingatanya, matanya terbuka, suara paraunya menyapa ibunya, Ny Tati.
“Aris tidak apa-apa, Bu.” Nada rendah keluar dari bibirnya yang masih kelihatan bergetir.
“Sudahlah, Nak. Istirahat saja dulu,” jawab Ny Tati sambil menyodorkan segelas air putih kepada Aris.
Sepulang adik-adiknya dari sekolah, Ny Tati mengajak Aris dan yang lainnya menuju RSUD, untuk mengecek kembali kesehatan Aris. Aris masih belum bisa bangkit, perlu dibopong untuk berdiri ataupun berjalan. Ira dan Mia disuruh ibunya mencari bantuan tetangga untuk mengantarkan Aris ke Rumah sakit. Setelah didiagnosa dokter, Aris diputuskan untuk dirawat inapkan hingga kesehatannya kembali normal.

Rahma mendapat kabar melalui pesan singkat dari Ira, adik Aris. Bergegas Ia menuju rumah sakit. Dalam perjalannan, suasana hatinya gundah gulana, ingatannya terbang ke angan mencari kabar tentang sakitnya sang pujaan hati. Ia tidak pernah membayangkan penyakit Aris begitu parah. Ia teringat akan pamannya yang meninggal satu tahun silam, karena lambungnya bocor. Namun pikiran itu segera Ia tepis. Ia berharap Tuhan memberikan kesembuhan kepada kekasihnya itu. Pintu ruang inap melati terbuka, Rahma melihat Ny Tati, Ira, dan Mia duduk menemani Aris yang terbaring tanpa daya, hanya senyum ketegaran yang tersungging di bibirnya ketika melihat Rahma mendekat kepadanya.

Satu hari setelah diianapkan, Rahma mendapat kembali kabar bahwa kesehatan Aris menurun drastis, padahal kemarin terlihat Ia sudah membaik. Rahma bersama ayah dan ibunya bergegas menuju rumah sakit.
Di ruang perawatan tampak Ny Tati dengan wajah kusut, raut kekhawatiran jelas tergaris di wajahnya. Keluarga Rahma dan Aris mengelilingi tempat tidurnya. Aris tersenyum kepada semuanya, senyum demi menyenangi hati yang melihatnya. Jelas senyum itu terlukis bahwa Ia ingin tampak kuat dan akan sembuh, namun terlihat Aris begitu memaksakannya.

Ny Tati menggenggam tangan Aris, kesedihan tidak dapat ditutupinya. Air matanya tumpah perlahan mengalir di pipinya. Aris berusaha mengangkat tangannya, namun Ia tidak kuasa dan tangannya kembali terjatuh ke tempat tidur.
“Maafkan Aris, Bu. Aris sudah menyusahkan ibu, seharusnya hari ini kita masih bisa menjajakan kue, Mia dan Ira juga masih bersekolah. Maafkan Aris, Bu.” Suaranya begitu lemah, Air mata Ny Tati mengalir deras. Tidak berkata apa-apa, Ia hanya mencium kening anaknya itu, dan terus terisak-isak dalam tangis.

Ayah Rahma bersandar di tembok, Ibunya memengang bahu Ny Tati, mengisyaratkan agar selalu tegar menghapi keadaan ini. Mia dan Ira yang berdiri di hadapan abangnya juga mundur bersandar di tembok. Nampak mereka begitu galau melihat keadaan Aris.

Aris menatap Rahma, kembali Ia mencoba tersenyum. Namun tidak sempurna. Rahma mendekatinya dan membalas senyuman Aris. Mata Rahma terasa memanas menahan tangis. “Rahma, maafkan aku yang telah membuatmu khawatir. Sungguh aku sangat merindukanmu.” Nada suara Aris nyaris tidak terdengar. Rahma hanya mengangguk, tidak sanggup berkata walau sepatah pun. Aliran air matanya mulai deras. Aris kembali mencoba menghapusnya, namun gagal. Tangannya tidak bisa menuju wajah Rahma dan terjatuh kembali di tempat tidur. Rahma tidak mengerti maksud Aris, Ia hanya diam. Ayahnya mengangguk. Kemudian Rahma mencium kening Aris.

Aris menatap semuanya satu persatu yang mengelilinya. Saat menatap Rahma, Ia berhenti lama. Matanya seakan menjelaskan sesuatu, namun Rahma tidak dapat meraba maksudnya. Kemudian Aris menutup matanya dan senyum menghiasi bibirnya. Rahma mengira Aris kelelahan setelah berbicara banyak dan tidur. Namun ternyata Aris menutup matanya untuk selama-lamanya. Rahma mengetahuinya setelah Ny Tati histeris dan pingsan.
“Innalilahi wainnalillahi rojiun” lafaz itu keluar dari mulut semua yang berada di ruangan itu. Terlihat sebuah tarikan napas terakhir Aris dan senyum tetap terpajang di bibir keringnya.

Ibu Rahma, Mia dan Ira sibuk mengurusi Ny Tati yang pingsan. Ayah Rahma keluar ruangan, mengabari kepada staf Rumah sakit akan berita duka itu. Rahma tertunduk menangis. Tangis semuanya pecah menyaksikan Aris kembali kepada-Nya. Kelihatannya Tuhan lebih sayang kepadanya dibanding dengan yang lainnya. Tuhan tidak ingin melihat Aris menderita lebih lama lagi menanggung sakit yang dideritanya.

Kerinduan dan kesepian kini menjadi sahabat Rahma di hari-harinya. Kadang Ia mengenang kisahnya bersama Aris, saat memandang senyumnya di kegiatan OSPEK, saat Ia menyapa Rahma, ketika Aris menatapnya di ruang perawatan. Rahma sangat merindukan kekasihnya itu, “Aku sangat merindukanmu Rahma,” ucapan itu masih sangat melekat pada pikiran Rahma. Ingin sekali Ia membalas ucapan itu. Namun waktu tidak akan pernah kembali, Ia menyesal tidak pernah mengunggapkan perasaan sesungguhnya kepada Aris, Ia egois. Ingin selalu di pahami oleh Aris, namun Ia tidak mengerti perasaan Aris. Kini Rahma hanya bisa berdoa. Semoga Aris berada disini-Nya dengan damai. Semoga dosa-dosanya diampuni.
“Kak Aris, Rahma juga merindukanmu.” Rahma membatin, air matanya mengalir membasahi pipinya.
“Kenapa Aku harus malu megungkapkan perasaanku padanya, padahal aku sangat mencintainya. Kak Aris, maafkan Rahma. Ya, Robb… Ampunilah dosa-dosaku”.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar