Rinjani berjalan menyusuri
kegelapan malam. Rintik hujan menemani perjalanannya, payung transparan
menjadi selimutnya. Hanya sendiri, sendiri dan sendiri, hanya rinai
hujanlah yang menemani. Tubuh mungilnya mengigil kedinginan. Namun
apakah dia mengeluh?. Tidak!!! .Dia terus berjalan, seakan hujan adalah
teman terbaiknya.
“Hei, kau sedang apa disini?” seorang laki-laki berjaket biru menghampirinya “Kau tidak kedinginan?”.
“Rian? buat apa kamu kesini?” jawab rinjani dingin.
“Ada sedikit urusan…” balas rian berbohong, sebenarnya sedari tadi rian menguntitinya “Kau terlihat tidak baik?! Apakah ada masalah?”
“Hmmm seperti biasa…”
“Sabar ya, kamu harus kuat…”
“Sudah sekitar 364 kali kau mengatakan itu padaku, Tapi tak apa. Terimakasih…”
“Kau Mengingatnya? Bahkan aku yang mengucapkannya saja tidak tahu berapa
kali aku mengucapkan kalimat itu padamu…” rian menggaruk kepalanya tanda ia malu.
“Hahaha kalau satu kali lagi kamu mengucapkan kalimat itu mungkin setara dengan jumlah hari dalam satu tahun…”
“Satu tahun?” Rian berpikir keras “Benar juga ya, satu tahun ada 365
hari. Berarti tinggal satu kali lagi aku mengucapkan kalimat itu padamu
untuk sampai 365…”
“Begitulah, tapi aku sungguh tak menginginkan kalimat itu lagi walau
begitu ketika aku mendengar kalimat itu pasti aku mendapat alasan untuk
tetap hidup”
“Memangnya kau ingin sekali mati?”
“Tidak!! Maksudku semangat untuk tetap menjalani hari-hari yang tidak
pernah absen dengan suara yang menggelegar seperti petir di rumah…”
“Oh iya kalau aku nanti mengatakan kalimat itu untuk ke 365. Aku boleh ya minta satu permintaan buat kamu…?”
“Karena kamu sahabatku, aku gak bakal menolak!!”
“Asiikk. Kita ke cafĂ© itu dulu saja!!” ajak rian.
“Baiklah, tapi kamu yang teraktir!”
“Oke sip!!!”
Alunan lagu ‘It will rain’ dari Bruno mars,
bersatu-padu dengan suara rintik hujan yang membuat suasana ini membuat
rian galau saja. Tepat di depannya seorang sahabat yang dicintainya
sedang terpuruk karena masalah di rumahnya. Tapi rian tidak mampu
melakukan apapun untuk membantu rinjani. ‘Membuat rinjani tersenyum’
itulah yang sekarang bisa rian lakukan.
“Ngelihatin muka aku terus nih? cantik ya?!!” Ucap rinjani lalu meminum the hangat pesanannya.
“Iya kamu itu cantik!! sampai-sampai aku gak bisa bedain antara kamu
sama bidadari kahyangan!!” Gombal rian dengan wajah yang masih terpesona
dengan kecantikan yang dimiliki rinjani.
Rinjani tertawa geli mendengar itu “Kamu ini ya? Sahabatmu sendiri kamu gombal?!!”
“Yah, habisnya kamu cantik banget sih…” ucap rian keceplosan. Rinjani
menatap rian dengan berusaha menebak apa yang di pikirkan rian.
Sementara rian mencoba mentransfer apa yang dipikirkannya melalui
tatapan muka pada rinjani.
“Kamu sakit perut?” Tanya rinjani lalu menghancurkan segala yang sedang dipikirkan rian.
“Sakit perut? Masa tatapan aku yang penuh cinta dibilang sakit perut” Pikir rian, sambil masih membisu.
“Atau pingin pipis?”
“Gila ini orang, udah lama sahabatan kok belum kenal kayak giamana karakter aku?” Pikir rian sambil mengeleng-geleng.
Rinjani mencoba menebak-nebak apa yang coba rian sampaikan kepadanya
melalui tatapan mata “Ngantuk”, “Laper”, “Sakit”, “Senang”, “Sedih”,
“Mar…”.
“Stop!!! Kamu gak ngerti aku ya…?!!” Potong rian yang lelah mendengar tebakan rinjani.
“Trus apa dong rian?”
“Cinta!!!” dengan kesal rian segera pergi meninggalkan kafe itu.
“Rian tunggu!!!”
Hujan semakin deras seakan tahu bagaimana perasaan rian yang merasakan
‘cinta’ namun dikira sedang ‘sakit perut’. Apakah wajah rian yang
terlihat seperti itu (sakit perut) atau memang rinjani yang tidak tahu
dengan perasaan cinta?.
“Rian tunggu!! Aku minta maaf untuk yang tadi…” Teriak rinjani.
Rian segera menghentikan langkahnya, berharap rinjani tahu bahwa ia
sedang merasakan cinta, dan perempuan yang dicintainya itu adalah
Rinjani.
“Kamu lagi jatuh cinta kan?”
“Iya”. “Semoga rinjani ngomong kalau orang yang aku cinta itu dia” harap Rian dalam-dalam.
“Sama siapa? Siti?!!”
“Bukan!!!”
“Terus siapa?!!” rinjani berlari mendekat ke arah rian.
“Kamu!!!” Ucap rian, namun sayang sebuah mobil melaju kencang dan suara petir, sampai-sampai bisa meredam teriakan rian.
“Siapa?” rinjani penasaran.
“Ahhk tau ahh, mending pulang aja!!!”
Rian masih menunggu hari ke 365
itu, tapi dalam lubuk hatinya ia tidak ingin hari itu datang, karena ia
tidak ingin rinjani menangis dan berjalan tanpa tujuan, serta hidup
dengan ketidaktenangan. Masih menunggu tapi tak mau hari itu datang,
seperti ‘Mencintai namun tidak ingin dicintai. Sungguh ironis namun
itulah sebuah jalan hidup, yang mungkin harus dijalani rian.
Hari ke-365
06.32 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar